Rabu, 25 Mei 2016

Pemikiran TGH Zainuddin Abdul Madjid Tentang Pendidikan



BAB I
PENDAHLUAN
A.    Tujuan makalah
1.      mengetahuai pemikiran Syaikh Zainuddin yang diterapkan dalam lembaga pendidikan pesantren yang diasuhnya. Penulis akan menelusuri   sejauh mana faktor keluarga, pendidikan, lingkungan, situasi sosial, politik mempengaruhi pemikirannya. 
2.      Mengetahui bagaimana pemikiran Syaikh Zainu ddin tentang pendi dikan pesantren sebagai salah satu bentuk perwujudan dari pemikirannya.
B.     Rumusan masalah
1.      Biografi TGKH Zainuddin Abdul Madjid
2.      Pendidikan TGKH Zainuddin Abdul Madjid
3.      Pemikiran TGKH Zainuddin Abdul Madjid tentang pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddi Abdul Majid dilahirkan di Kampung Bermi Pancor Lombok Timur pada tanggal 17 Rabi’ul Awal 1315 H, nama kecil beliau adalah Muhammad Syaggaf dan berganti nama menjadi Haji Muhammad Zainuddin setelah menunaikan setelah menunaikan ibadah haji. Yang mengganti nama beliau adalah ayah beliau sendiri, yaitu Tuan Guru Haji Abdul Majid[1]. Penamaan Muhammad Saggaf memiliki cerita yang cukup unik. Tiga hari menjelang kelahirannya, ayahnya didatangi oleh dua orang wali yang berasal dari Hadlramaut dan Maghrabi. Kedua wali tersebut secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni Saqqaf. Keduanya berpesan kepada Tuan Guru Kyai Haji Abdul Majid, jika mempunyai anak, agar diberi nama Saqqaf, seperti nama mereka berdua.
Disamping  itu, terdapat keunikan lain seputar kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang dibawa oleh seorang wali, bernama Syeikh Ahmad Rifa’I yang juga berasal dari Maghrabi. Ia menemui Tuan Guru Haji Abdul Majid menjelang kelahiran putranya. Syekh Ahmad Rifa’I berkata kepada Tuan Guru Haji Abdul Majid “Akan segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang akan menjadi ulama’ besar”
Dengan adanya keunikan-keunikan yang terjadi menjelang kelahiran putranya yang kemudian dimamakan Muhammad Saggaf, Tuan Guru Haji Abdul Majid dan istrinya merasa senang dan gembira karena kelahiran puteranya disambut dan dinantikan oleh para ulama dan para wali-wali Allah.
Beliau adalah anak bungsu yang lahir dari perkawinan antara Tuan Guru Haji Abdul Majid dengan seorang wanita shalihah yang berasal dari desa Kelayu Lombok Timur, yang bernama Inaq Syam dan lebih dikenal dengan nama Hajjah Halimatus Sya’diyah. Beliau memiliki saudara kandung sebanyak lima orang, diantaranya yaitu: Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajjah Masyithah.
Sejak kecil beliau terkenal sangat jujur dan cerdas. Kerena itu, tidak mengherankan kalau ayah bundanya memberikan perhatian khusus dan meumpahkan kecintaan serta kasih sayang demikian besar kepada beliau. Ketiaka beliau melawat ke tanah suci Makkah Al Mukarramah untuk melanjutkan studi, ayah bundanya ikut mengantar ke tannah suci. Ayahandanyalah yang mencarikan beliau guru, tempat beliau pertama kali belajar di Masjidil Haram, bahkan ibundanya, Hajjah Halimatus Sya’diyah ikut mukim di tanah suci mengasuh dan mendampingi beliau sampai ibundanya yang tercinta itu berpulang ke rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Mu’alla Makkah.
Nama Muhammad Saggaf masih disandangnya sampai ia berangkat ke tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya. Setelah menunaikan ibadah haji, nama Muhammad Saggaf diganti menjadi Haji Muhammad Zainuddin oleh ayahnya sendiri sebagaimana  yang tertera pada paragfaf di atas dan sejak saat itu nama beliau berubah menjadi Haji Muhammad Zainuddin.
Tentang silsilah keturunan beliau yang lengkap tidak dapat dikemukakan secara utuh dikarenakan dokumen dan catatan silsilah keturunan beliau ikut terbakar ketika rumah orang tua  beliau mengalami kebakaran. Namun yang jelas beliau terlahir dari keturunan keluarga yang terpandang dan garis keturunan terpandang pula yaitu keturunan Selaparang. Selaparang adalah nama Kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Pulau Lombok.
Tuan Guru Kyai haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid selama hayatnya telah menikah sebanyak tujuh kali. Dari ketujuh perembuan yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendapinginya sampai wafat, ada yang wafat terlebih dahulu semasih ia hidup dan ada yang diceraikannya setelah beberapa bulan menikah. Disamping itu, ketujuh perempuan yang telah dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari keluarga biasa, ada pula yang berlatar belakang bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajjah Baiq Siti Zahriyah Makhtar, berasal dari desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Adapun nama-nama perempuan yang pernah dinikahi oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, adalah: Satu, Chasanah; Dua, Hajjah Siti Fatmah; Tiga, Hajjah Raihan; Empat, Hajjah Siti Jauhariyah; Lima, Hajjah Siti Rahmatullah; Enam, Hajjah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar; Tujuh, Hajjah Adniyah.
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid Sulit sekali memperoleh keturunan, sehingga beliau pernah dianggap mandul padahal beliau sendiri sangat mengiginkan keturunan yang akan melanjutkan perjuangan beliau untuk mengembangkan dan menegakkan ajaran-ajaran Islam. Dan pada akhirnya beliau dianugrahkan dua orang anak dari istri yang berbeda yaitu:
  1. Hajjah Siti Rauhun dari Ummi Jauhariyah
  2. Hajjah Siti Raihanun dari Ummi Rahmatullah
Karena dengan hanya memiliki dua orang anak tersebut beliau kerap dipanggil dengan sebutan Abu Rauhun wa Raihanun[2].
B.     Pendidikan  TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
Perjalanan Tuan Giru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam menuntut ilmu pengetahuan diawali dengan pendidikan yang di lakukan di dalam lingkungan keluarga, yakni dengan belajar mengaj yaitu membaca Al-Qur’an dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Majid. Pendidikan yang diberikan oleh ayahnya tersebut dimulai semenjak beliau berusia 5 tahun dan kemudian memasuki pendidikan formal semenjak berusia 9 tahun. Sekolah formal yang beliau mesuki adalah sekolah umu yang pada saat itu disebut dengan Sekolah Rakyat Negara (Sekolah Gubernemen) di Selong Lombok Timur. Di sekolah tersebut beliau belajar selama 4 tahun hingga tahun 1919 M.
Setelah menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang lelbih luas lagi pada beberapa kyai local saat itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin dan Tuan Guru Haji Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Haji Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai local ini, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajari ilmu-ilmu gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Syarf.
Pola pengajaran yang dilakukan oleh kyai-kyai lokal ini masih bersifat klasik. Yaitu masih menggunakan system halaqoh, yang dalam pembelajarannya murid-murid duduk bersila dan sang guru memberi pengajaran dengan membacakan kitab yang dipelajari kemudian para murid masing-masing mebacanya saling bergantian satu persatu.
Pada saat ini system pengajaran seperti ini sering digunakan pada pondok pesantren yang berbasis salafi. Berhubung pada saat itu sangat janrang ditemukan system pengajaran yang bersifat klasikal atau menggunakan kelas-kelas sehingga para murid duduk di atas bangku dan sang guru mengajarkan menggunakan papan tulis sebagai media pengajaran. Apalagi pada saat itu berbeda dengan zaman yang dialami saat ini, yaitu pada saat itu apabila seorang murid ingin mempelajari suatu ilmu apalagi ilmu agama mesti ke rumah sang guru untuk meminta kepada guru tersebut untuk mengajarinya tentang ilmu pengetahuan yang ia miliki. Namun pada saat ini sangatlah berbeda apabila seorang murid ingin menuntut ilmu, meka hanya tinggal meminta pada orang tuannya untuk memasukkannya pada pondok pesantren dan kemudian mendalami tentang ilmu agama dan berbagai macamnya didalamnya.
Selanjutnya Muhammad Noor dan kawan-kawan dalam buku Visi Kebangsaan Relijius lebih jauh mengungkapkan bahwa Bagi Tuan Guru Haji Syarafuddin, Muhammad Saggaf merupakan murid yang istimewa. Keistimewaan tersebut mendorong gurunya untuk membebaskannya dari membanntu gurunya bekerja di sawah. Pada saat itu murid-murid yang mengaji di rumah seorang tuan guru tidak dipungut bayaran. Sebagai gantinya, mereka dihariskan berkerja disawah tuan guru tersebut. Berbeda dengan Muhammad Saggaf, karena keinginan kuat ayahnya agar ia menjadi murid yang pandai, ayahnya sanggup dengan membayar dengan 200 ikat padi setahun (sekitar 2 ton padi/gabah), sebagai ganti kewajiban bekerja disawah. Maksud ayahnya dengan kesediaan ini adalah agar anaknya tidak terganggu aktivitas belajarnya, sehingga ia berkonsentrasi pada pelajarannya[3].
Dua tahun setelah terjadinya huru hara tersebut, TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd muda berkenalan dengan seseorang yang bernama Hajji Mawardī dari Jakarta. Dari perkenalannya itu ia diajak masuk belajar di madrasah al-Shaulatiyah, yang saat itu dipimpin oleh Syaīkh Salīm Rahmatullāh. Pada hari pertama masuknya ia bertemu dengan Syaīkh Hasan Muhammād al-Masysyāth.
Madrasah al-Shaulatiyah adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam pendidikan di Arab Saudi. Madrasah ini sangat legendaris, gaungnya telah menggema di seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia. TGKH. Muhammad Zainuddin masuk Madrasah al-Shaulatiyah pada tahun 1345 H (1927 M) yang waktu dipimpin (Mudir/Direktur), Syaikh Salim Rahmatullah yang merupakan cucu pendiri Madrasah al-Shaulatiyah. Sudah menjadi tradisi bahwa setiap thullab yang masuk di Madrasah Al-Shaulatiyah harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang cocok bagi thullab. Demikian pula dengan TGKH. Muhammad Zainuddin, juga ditest terlebih dahulu. Secara kebetulan diuji langsung oleh Direktur al-Shaulatiyah sendiri, Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath.
Hasil test menentukan di kelas 3. mendengar keputusan itu, TGKH. Muhammad Zainuddin minta diperkenankan masuk kelas 2 dengan alasan ingin mendalam mata pelajaran ilmu Nahwu dan Sharaf. Semula Syaikh Hasan bersikeras agar TGKH. Muhammad Zainuddin masuk kelas 3, tetapi pada akhirnya melunak dan mengabulkan permohonan untuk masuk kelas 2 dan sejak itu TGKH. Muhammad Zainuddin secara resmi masuk Madrasah al-Shaulatiyah mulai dari kelas 2. Prestasi akademiknya sangat istimewa. Dia berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Dengan kecerdasan yang luar biasa, TGKH. Muhammad Zainuddin berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 6 tahun, padahal normalnya adalah 9 tahun. Dari kelas 2, diloncatkan ke kelas 4, kemudian loncat kelas lagi dari kelas 4 ke kelas 6, kemudian pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8 dan 9.
Sahabat sekelas TGKH. Muhammad Zainuddin bernama Syaikh Zakaria Abdullah Bila, mengakui kejeniusannya dan mengatakan: Syaikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di kelasku, karena kejeniusannya yang tinggi dan luar biasa dan saya sungguh menyadari hal ini. Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, dan kawan sekelasku dan saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi pada waktu saya bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah Al-Shaulatiyah Mekah.
Predikat istimewa ini disertai pula dengan perlakuan istimewa dari Madrasah Al-Shaulatiyah. Ijazahnya ditulis langsung oleh ahli khat terkenal di Mekah, yaitu Al-Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul dari direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Prestasi istimewa itu memerlukan pengorbanan, ibu yang selalu mendampingi selama belajar di Madrasah al-Shaulatiyah berpulang ke rahmatullah di Mekah. Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyelesaikan studi di Madrasah al-Shaulatiyah pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H dengan predikat "mumtaz" (Summa Cumlaude).
Setelah tamat dari Madrasah al-Shaulatiyah, tidak langsung pulang ke Lombok, tetapi bermukim lagi di Mekah selama dua tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar, yaitu Haji Muhammad Faisal. Waktu dua tahun itu dimanfaatkan untuk belajar antara lain belajar ilmu fiqh kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani. Dengan demikian, waktu belajar yang ditempuh selama di Tanah Suci Mekah adalah 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Ini berarti selama di Mekah sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.
Setelah selesai menuntut ilmu di Mekah dan kembali ke tanah air, TGKH. Muhammad Zainuddin langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok, sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya 'Tuan Guru Bajang'. Semula, pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama dan selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan santri (murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941[4].

C.     Konsep Pemikiran TGKH Muhammad Zainuddin Abdl Madjid Tentang Pendidikan Islam.
Bagi Syaikh Zainuddin, mengembangkan Islam melalui lembaga pendidikan adalah ”fardu ‘ain” dan mendidik masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan adalah tugas yang mu lia. Karena  melalui pendidikan akan lahir manusia yang mampu mengembangkan diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya. Atau dengan kata lain, mendidik  manusia berarti telah ikut andil dalam mencerdaskan bangsa sehingga  terbentuk manusia yang berperadaban. Dengan demikian lahirlah manusia yang kreatif, inopatif, produktif, berakhlak al-karimah dan bertaqwa kepada Allah SWT[5].
Menurut syaikh Zainuddin mengenai pondok pesantren yaitu terungkap di wasiat beliau yang menyatakan:
NWDI dan NBDI mu
Jalan menuju ke langit ilmu
Terus ke bulan sampai bertemu
Sinar yang lima nyinari penjuru[6]
Merujuk pada ungkapan syaikh Zainuddin dalam sya`irnya di atas, maka pengertian pesantren yaitu, suatu lembaga tempat menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan seting-tingginya, dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama islam sehingga menyampaikan anak didik pada kebahagiaan dunia dan akhirat[7].
Selanjutnya, saikh zainuddin merumuskan tujuan pendidikan islam, sepeti pakar pendidikan islam yang lainnya yang tetap berpegang pada al-quran dan hadits. Tampaknya ia ia di pengaruhi oleh bagaimana pemahamannya terhadap firman Allah SWT hakikat penciptaan manusia dan fungsinya sebagai hamba Allah di muka bumi[8].
Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.
Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut[9].
Selanjutnya, metode pendidikan dan pengajaran yang di pakai suaikh zainuddin di antaranya menggunakan metode nuqoba`, diskusi, penugasan,qiro`ah, ceramah,, tanya jawab, menghafal, bimbingan dan latihan retorika (pidato)., menterjemahkan, dialog, pengabdian, pengulangan, evaluasi, dan lain sebagainya.
Metode yang di terapkan syaikh zainuddin terkesan humanis, demokratis, dan penuh kebijaksanaan. Dengan demikian, seorang guru tidak bersikap otoriter dan diktator yaitu guru tidak bisa memaksakan kehendak dan kemauannya terhadap anak didiknya.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut kami pemikiran TGKH.M Zainuddin abdul madjid terhadap pendidikan tidak terlepas dari pengalaman beliau bergugru di ulama-ulama besar yang ada di mekah, dan juga tidak terlepas dari pandangan beliau terhadap masyarakat lombok pada masa itu, pandanga beliau terhadap materi, komponen, bahan ajar di pendidikan pondok pesantren menyamakan pendapat para tokoh pakar pendidikan lainnya.
Karakter pendidik dan yang di didik di cetak oleh beliau lewat pemikiran-pemikiran beliau, bagaimana menjadi guru dan murid yang baik. Pemikiran beliau sangan relevan atau sejalan dengan masyarakat lombok kala itu seperti yang terlihat beliau mewujudkan semua itu dengan membuat pondok pesantren besar dan organisasi terbesr di pulau lombok.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan, baik dari segi isi maupun cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat berharap ada kritikan dan saran yang sifatnya untuk membangun. Terakhir penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis begitu juga pembaca.


DAFTAR ISI
Adawiyah muazzatun, pendidikan pesantren menurut pemikiran TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, (NTB:Al-Haramain lombok) 2015
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Zainuddin_Abdul_Madjid html.( di akses pada hari rabu 20 april 2016).
Muhammad noor, habib muslihan, harfin muhammd zuhdi, visi kebangsaan religius: refleksi pemikiran dan perjuangan TGKH muhammad zainuddin abdul madjid,(jakarta: logos wacana ilmu), 2004
Tuan guru kiyai haji muhammad zainuddin abdul madjid, wasiat renungan masa pengalaman baru, (pancor. Toko kita, 1995)


[2] Muhammad noor, habib muslihan, harfin muhammd zuhdi, visi kebangsaan religius: refleksi pemikiran dan perjuangan TGKH muhammad zainuddin abdul madjid,(jakarta: logos wacana ilmu), 2004 hal 127
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Zainuddin_Abdul_Madjid html.( di akses pada hari rabu 20 april 2016)
[5] Adawiyah muazzatun, pendidikan pesantren menurut pemikiran TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, (NTB:Al-Haramain lombok)... hal 3
[6] Tuan guru kiyai haji muhammad zainuddin abdul madjid, wasiat renungan masa pengalaman baru, (pancor. Toko kita, 1995)
[7] Adawiyah muazzatun, pendidikan pesantren menurut...... 120
[8] Ibid...124
[9] https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren html (di akses pada hari rabu 20 april 2016)

0 komentar:

Posting Komentar