This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 13 Januari 2017

Makalah "KEMITRAAN DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM"

KEMITRAAN DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

A.    Latar Belakang
Perubahan paradigma dalam hal hubungan keluarga, sekolah dan masyarakat terjadi seiring perubahan yang terjadi di dunia pendidikan sebagai akibat dari berubahnya norma dan pranata masyarakat sebagai akibat dari perubahan zaman. Globalisasi, dengan revolusi informasi dan teknologinya, membuat dunia serasa semakin kecil. Batasan waktu dan ruang hamper tidak ada lagi. Arus informasi mengalir bebas dari satu belahan bumi ke belahan bumi lainnya.

                      Perubahan dan perkembangan ini menggeser paradigma lama dalam hal hubungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Dalam paradigma lama, keluarga, sekolah dan masyarakat dianggap sebagai institusi yang terpisah-pisah. Oleh karena itu, masyarakat ikut campur tangan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Apalagi sampai masuk ke wilayah kewenangan professional guru. Sebaliknya, dewasa ini dalam batas-batas tertentu, anggapan semacam itu tidak lagi berlaku. Keluarga berhak mengetahui apasaja yang diajarkan kepada anak. Dengan metode apa anak diajar. Disinilah hubungan antara keluarga dan sekolah mulai terjalin. Masyarakat pun berhak mengetahui apa yang terjadi di sekolah, bisa memberikan sumbang saran untuk peningkatan mutu pendidikan. Dari sinilah terjadi hubungan resiprokal saling mengisi dan saling member antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Hubungan resiprokal ini selanjutnya berkembang menjadi hubungan kemitraan. Kemitraan perlu ditumbuhkan, dikembangkan dan dipelihara karena aadanya masalah dan tantangan yang dihadapi dalam upaya untuk memberikan pendidikan berkualitas prima.

Kompleksitas masalah yang melingkupi dunia pendidikan sebagai akibat dari perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat membuat tidak ada satu pihak pun yang bisa memahami dan menyelesaikan masalah yang ada seorang diri. Tidak ada lagi single fighter yang bisa mengatasi semua masalah yang ada. Pergeseran peran utama pemerintah dan swasta sebagai pemasok utama ke masyarakat membuat kemitraan semakin nyata urgensinya. Pemerintah dan swasta tidak bisa lagi berperan sebagai satu-satunya yang menyediakan, menyelenggarakan dan mengawasi keberlangsungan pendidikan karena keterbatasan sumber-sumber daya yang dimiliki.[1]
                        Kemitraan adalah solusi untuk mengatasi masalah kelangkaan dan distribusi sumberdaya di semua pihak. Kemitraan memungkinkan terjadinya sinergi untuk mencapai tujuan bersama. Ketika kita, pada satu sisi mengharapkan tersedianya pendidikan dengan kualitas prima sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, mustahil kalau kita, keluarga dan masyarakat, hanya menumpukan beban di pundak sekolah dan penyelenggara persekolahan. Tuntutan akan tersedianya pendidikan berkualitas prima baru bisa dipenuhi manakala terjadi hubungan resiprokal aktif interaktif antara sekolah, keluarga dan masyarakat dalam konteks pemberdayaan.

Dalam konteks masa kini, partisipasi keluarga dan masyarakat dalam pendidikan tidak bisa lagi dipandang hanya sebatas kewajiban. Partisipasi masyarakat kini adalah hak. Karena sifatnya adalah hak, maka masyarakat seharusnya menuntut dirinya untuk menjalankan haknya dengan melibatkan diri dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Hubungan resiprokal sekolah, keluarga dan masyrakat diwujudkan dalam banyak hal. Ada yang bersinggungan langsung dengan proses pendidikan di sekolah. Ada yang tidak bersinggungan langsung dengan proses pendidikan di sekolah. Salah satu aplikasi bentuk kemitraan adalah komite sekolah. 

B.     Pengertian Kemitraan
Secara etimologis, kata atau istilah kemitraan adalah kata turunan dari kata dasar mitra. Mitra, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya teman, sahabat, kawan kerja. Visualsynonim, kamus online memberikan definisi yang sangat bagus mengenai kemitraan. Kemitraan diartikan sebagai hubungan kooperatif antara orang atau kelompok orang yang sepakat untuk berbagi tanggung jawab untuk mencapai tujuan tertentu yang sudah ditetapkan.


                 Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dalam modul pemberdayaan Komite Sekolah menjelaskan bahwa yang dimaksud kemitraan dalam konteks hubungan resiprokal antara sekolah, keluarga dan masyarakat kemitraan bukan sekedar sekumpulan aturan main yang tertulis dan formal atau suatu kontrak kerja melainkan lebih menunjukkan perilaku hubungan yang bersifat intim antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak saling membantu untuk mencapai tujuan bersama.

                        Dari definisi-definisi diatas kita bisa mengetahui bahwa hakikat kemitraan adalah adanya keinginan untuk berbagi tanggungjawab yang diwujudkan melalui perilaku hubungan dimana semua pihak yang terlibat saling bantu-membantu untuk mencapai tujuan bersama. Dalam kemitraan yang berlaku adalah prinsip egaliter. Masing-masing pihak yang bermitra memiliki posisi dan tanggung jawab yang sama. Hubungan atasan-bawahan tidak berlaku dalam konteks kemitraan. Masing-masing menjalankan fungsi dan perannya sesuai dengan tugas dan batas-batas wewenang yang dimiliki.

                                    Selain berkaitan dengan fungsi dan peran masing-masing dalam kemitraan, dalam kemitraan tercakup dimensi kepentingan yang dijadikan andalan. Model kemitraan mengandalkan pada kepentingan pribadi orangtua dan anggota masyarakat yang mau tidak mau membuat mereka berpartisipasi dalam aktifitas yang berkaitan dengan sekolah. Kemitraan memandang semua pihak yang memiliki kepentingan terhadap sekolah merupakan pihak yang dapat didayagunakan dan mampu membantu sekolah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam kemitraan. Grant (1979:128) mengingatkan bahwa kemitraan tidak boleh mengabaikan prinsip akuntabilitas dan kemandirian. Dalam hal menumbuhkan kemandirian, secara eksplisit Grant menganjurkan agar setelah terbentuknya kelompok kemitraan masing-masing anggota harus menjaga kentralan khususnya dalam segi politik.

C.    Konsep Kemitraan
Konsep kemitraan sekolah adalah lembaga mandiri yang dibentuk berrdasarkan prakarsa masyarakat yang peduli pendidikan, bukan didasarkan pada arahan atau instruksi dari lembaga pemerintahan dengan menganut prinsip transparan, akuntabel, dan demokratis. Kebijakan tentang pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebenarnya bukan hanya lahir secara intern dari Departemen Pendidikan Nasional, melainkan justru lahir dari Bappenas, dalam bentuk UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 – 2004. Amanat UU itulah yang kemudian ditindaklanjuti oleh Mendiknas dengan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. eksistensi dan posisi Komite Sekolah menjadi semakin kokoh karena adanya payung hukum Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tersebut kemudian diakomodasi ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya dalam Pasal 56.

Komite Sekolah adalah lembaga mandiri sebagai wadah yang memiliki kekuatan hukum untuk menampung dan mewujudkan partisipasi keluarga dan masyarakat dalam pendidikan. Namun demikian, perlu dipahami apa sebenarnya makna dari Komite Sekolah sebagai lembaga mandiri dan dari segi apa saja dia mandiri. Untuk menjelaskan hal ini, Suparlan, dalam artikel yang dimuat di blog mengatakan bahwa kemandirian ini sama sekali tidak terkait dengan anggaran atau subsidi. Kemandirian Komite Sekolah sebenarnya terkait dengan dua hal penting. Pertama, terkait dengan status dan kedudukan Komite Sekolah itu sendiri. Dia tidak menjadi subordinasi (bawahan) dari lembaga lain, khususnya dari lembaga birokrasi.

Yang penting kedua adalah pelaksanaan peran dan fungsinya, yang sudah barang tentu tidak sama atau tidak tumpang tindih dengan peran dan fungsi lembaga lain. Dengan demikian, peran dan fungsi Komite Sekolah tidak dapat didekte oleh lembaga lain. Dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil masyrakat, komite tidak berada di bawah kendali sekolah ataupun kepala sekolah. Sebagai lembaga perwakilan masyarakat Komite Sekolah merupakan dan menjadi jembatan antara keluarga, masyarakat dan sekolah. Tugas yang dilakukan komite adalah tugas koordinatif dan pengawasan.

Namun demikian, pada beberapa kasus, komite sekolah tidak bisa mendudukkan peran dan fungsinya dalam pelaksanaan tugas sehingga bertindak sebagai atasan sekolah. Komite berusaha mengendalikan dan turut campur terlalu dalam pada persoalan-persoalan teknis profesional bidang pendidikan.

           Sebaliknya, ada komite yang terlalu lemah sehingga dia hanya diperankan sebagai subordinasi sekolah atau kepala sekolah. Hal ini terjadi karena, selain tidak mengerti tugas dan fungsinya, perekrutan anggota komite ditentukan oleh kepala sekolah. Kepala sekolah yang menentukan siapa saja yang “layak” duduk sebagai anggota komite karena kepentingan tertentu. Pada kondisi semacam ini, komite sekolah hanya berfungsi tak ubahnya sebagai “tukang stempel” kebijakan yang dibuat oleh sekolah.

Kelemahan dan ketimpangan seperti ini merupakan sebuah keprihatinan yang harus segera diupayakan pemecahannya meskipun hal ini sifatnya kasuistis. Ketika Komite Sekolah berada di bawah kendali atau menjadi bawahan sekolah atau kepala sekolah, sebenarnya saat itu juga partispasi dann kemitraan antara sekolah, keluarga dan masyarakat tidak pernah terjadi. Meskipun secara de facto dan de jure komite sekolah ada. Hubungan resiprokal interaktif tidak pernah terwujud. Keterwakilan orangtua dan masyarakat tidak pernah terlaksana.

D.    Model Kemitraan
Kemitraan dalam suatu lembaga banyak sekali,sehingga banyak di atur oleh pemerintah baik itu aturan berupa UU dan bisa di buat langsung oleh suatu lembaga yang mengaturnya,tergantung dengan kondisi yang ada dalam lembaga itu sendiri, disini di jelaskan tentang kemitran dalam kerjasama dan kemitraan dalam pembangunan.
1.      Kemitraan Dalam Kerjasama
Kemitraan dalam opersionalnya merupakan sebuah kerjasama antara orang atau kelompok orang yang berkomitmen untuk berbagi tanggungjawab untuk mencapai satu tujuan bersama-pendidikan yang bermutu bagi semua, terutama bagi golongan masyarakat miskin. Dalam kerjsama misalkan, terdapat berbagi jenjang:
a.       Jaringan (networking): berbagi informasi yang dapat membantu mitra untuk bekerja lebih baik.[2]
b.      Koordinasi (coordination): berbagi informasi, melakukan penyesuaian agar dapat mengakomodasi yang lain supaya tidak saling konflik.
c.       Kooperasi (cooperation): berbagi informasi, melakukan penyesuaian agar dapat mengakomodasi yang lain dan secara nyata ada beberapa aspek pekerjaan yang menjadi tanggungjawab masing-masing.
d.      Kolaborasi (collaboration): berbagi informasi, melakukan penyesuaian agar dapat mengakomodasi yang lain, beberapa aspek dari pekerjaan menjadi tanggung jawab masing-masing sesuai bidang keahlian dan akhirnya berbagi hasil bersama.
2.      Kemitraan Dalam Pembangunan
Pembangunan dalam suatu lembaga sangat di perlukan sehingga harus di perhatikan dengan baik,baik itu dalam kekompakan dengan anggota kerja yang lain dan seterusnya, Kemitraan dalam pembangunan diimplementasikan dengan berbagai macam prinsip, di anataranya:
a.       Partisipasi/Participation: Semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk menyatakan pendapat, memutuskan hal-hal yang menyangkut nasibnya dan bertanggung jawab atas semua keputusan yang telah diseakati bersama.
b.      Akseptasi/Acceptable: saling menerima dengan apa adanya dalam kesetaraan. Masing-masing memiliki fungsinya sendiri-sendiri.
c.       Komunikasi/Communication: masing-masing pihak harus mau dan mampu mengkomunikasikan dirinya serta rencana kerjanya sehingga dapat dikoordinasikan dan disinergikan.
d.      Percaya/Trust: saling mempercayai dan dapat dipercaya untuk membina kerjasama. Di sini transparansi menjadi tuntutan dan tidak bisa ditawar.
e.       Berbagi/Share: semua yang terlibat dalam kemitraan harus mampu membagikan diri dan miliknya (waktu,”harta” dan kemampuan) untuk mencapai tujuan bersama.
[3]Implementasi di atas dalam kemitraan tidak serta merta menghilangkan masalah atau potensi masalah selama berjalannya proses dan hubungan kemitraan. Masalah akan selalu ada sebagai bagian dari dinamika zaman dan keadaan yang ada. Selain itu, para pelaku kemitraan yang adalah manusia-manusia yang memiliki keunikan dan dinamis itu sendiri sebenarnya merupakan potensi masalah. Perbedaan latar belakang, nilai-nilai, pengalaman hidup yang dimiliki bisa menimbulkan gesekan dengan sesama mitra. Namun demikian, implementasi ini akan sangat membantu tidak hanya meminimalisir potensi konflik tetapi juga membuat kemitraan bisa berjalan sesuai yang diharapkan dan menghasilkan sesuatu yang baik mutu pendidikan yang tinggi.

E. Kontribusi Keilmuan (Pendapat Pemakalah)
Komite Sekolah sebagai lembaga mandiri yang dibentuk atas dasar inisiatif masyarakat memiliki peran dan fungsi sangat penting dalam pendidikan. Ia adalah bentuk partisipasi langsung sekaligus menjadi wadah bagi keluarga dan masyarakat untuk berpartispasi dalam upaya penyediaan layanan pendidikan dengan berkualitas tinggi bagi semua terutama untuk golongan misikin. Kedudukan sekolah, keluarga dan masyarakat yang dilembagakan dalam Komiite Sekolah adalah sama. Artinya, tidak ada pola hubungan kerja atasan-bawahan. Yang ada adalah mitra yang sama-sama memiliki komitmen dan tanggung jawab bersama untuk menentukan tujuan bersama. Dalam pola kemitraan yang sifatnya sukarela tetapi sekaligus hak, prinsip yang  diterapkan adalah prinsip egaliter.
Kesetaraan dalam kemitraan diimplementasikan dalam prinsip yang telah di jelaskan di atas dimana setiap orang memiliki partisipasi sesuai dengan kemampuannya, satu sama lain bisa saling
menerima, yang bisa saling mengomunikasikan diri dan rencanya, direkatkan oleh rasa saling percaya juga kemauan untuk saling berbagi kemampuan, waktu dan “harta” untuk mencapai tujuan bersama.

1.      Daftar Pustaka

              Abdul Jawwad. 2003. Menjadi Manajer Sukses. Jakarta: Era Intermedia.
Baharuddin dan Umiarso. 2012. Kepemimpinan Pendidikan Islam, antara Teori dan Praktik.  Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Departemen Agama RI. 2011. Al-Alquran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka Al- Hidayah. Banten: Kalim.
Hamka. 1980. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Kayo, Khatib Pahlawan. 2005. Kepemimpinan Islam dan Da’wah. Jakarta: Amzah.
Multitama comunication 2007 The Power of Leader: Potret Kepemimpinan Islam yang Diteladani dan Dinantikan. Akbar Media Eka Sarana.
Pambayun, Ellys Lestari. 2012. Communication Quotient. Kecerdasan Komunikasi dalam Pendekatan Emosional dan Spiritual. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Qomar, Mujamil. 2008. Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
Rosyadi, Dusi dkk. (Penerjemah). 2008. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam.





             [1] Abdul Jawwad. 2003. Menjadi Manajer Sukses. Jakarta: Era Intermedia.
Baharuddin dan Umiarso. 2012. Kepemimpinan Pendidikan Islam, antara Teori dan Praktik.  Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

[2] Kayo, Khatib Pahlawan. 2005. Kepemimpinan Islam dan Da’wah. Jakarta: Amzah.
Multitama comunication 2007 The Power of Leader: Potret Kepemimpinan Islam yang Diteladani dan Dinantikan. Akbar Media Eka Sarana.

[3] Pambayun, Ellys Lestari. 2012. Communication Quotient. Kecerdasan Komunikasi dalam Pendekatan Emosional dan Spiritual. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Qomar, Mujamil. 2008. Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
Rosyadi, Dusi dkk. (Penerjemah). 2008. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam.




Makalah "Teori Pembelajaran Prilaku"

BAB 1
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang

Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu.  Belajar tidak hanya sekedar memetakan pengetahuan atau informasi yang disampaikan.  Namun bagaimana melibatkan individu secara aktif  membuat atau pun merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi suatu pengalamaan yang bermanfaat bagi pribadinya.
Teori adalah seperangkat azaz yang tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata dinyatakan oleh McKeachie dalam grendel 1991 : 5 (Hamzah Uno, 2006:4).  Sedangkan Hamzah (2003:26) menyatakan bahwa teori merupakan seperangkat preposisi yang didalamnya memuat tentang ide, konsep, prosedur dan prinsip yang terdiri dari satu atau lebih variable yang saling berhubungan satu sama lainnya dan dapat dipelajari, dianalisis dan diuji serta dibuktikan kebenarannya. Dari dua pendapat diatas Teori adalah seperangkat azaz tentang kejadian-kejadian yang didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip yang dapat dipelajari, dianalisis dan diuji kebenarannya.  Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari teori belajar prilaku?
2.      Apa saja macam macam teori blajar prilaku?
3.      Apa saja implementasi dari teori teori blajar prilaku?
C.      Tujuan
1.      Agar bisa mengetahui maksud dari teori blajar prilaku
2.      Supaya bisa mengetahui macam macam dari teori blajar
3.      Agar bisa mengimplementasikan teori blajar prilaku

BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Teori Belajar Perilaku
Teori-Teori yang Terkandung di Dalam Teori Belajar Perilaku (Behavioristik)
         Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan olehGage} dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagaihasil dari pengalaman. Aliran ini menekankan padaterbentuknya perilaku yang tampak  Teori behavioristik dengan model hubungan sebagai hasil belajar. stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagaiindividu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu denganmenggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata.Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikanpenguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
        Tokoh-tokoh behaviorisme yang sangat terkemuka adalah Ivan Petrovitch Pavlov, Edward Thorndike, dan B.F Skinner. Berikut ini adalah ide-ide mereka secara garis besar.
Teori
 Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning Theory) dari PavlovIvan Petrovitch Pavlov (1849-1936), memperkenalkan teorinya yang dikenal dengan nama Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning). Teori ini dikembangkan melalui eksperimen Pavlov dengan menggunakan air liur anjing yang dapat dilihat melalui kulit luarnya. Sebuah kapsul dipasang di pipinya untuk mengukur aliran air liurnya. Laboratorium diatur sedemikian rupa sehingga bubuk daging dapat diisi pada panci di hadapan anjing tersebut dengan remote control. Pengeluaran air liur direkam secara otomatis. Pada tahap awal (sebelum pengkondisian), lampu dinyalakan. Anjing terlihat bergerak sedikit tetapi tidak mengeluarkan air liur. Kemudian, kepada anjing tersebut diberikan serbuk daging dan sambil makan terlihat air liur anjing tersebut keluar. Serbuk daging disebut stimulus tidak terkondisi (ST) dan air liur disebut respon tidak terkondisi (RT). Terjadinya respon ini bukan karena proses belajar tetapi karena insting anjing.
   Beberapa
 hokum yang berkaitan dengan teori klasikal (classical conditioning theory) dari Pavlov (Atkinson, 1997) adalah sebagai berikut.
1)   Pemerolehan
      Pemberian stimulus yang tidak terkondisi (ST) bersama-sama dengan stimulus terkondisi (SD) disebut percobaan (trial) dan periode selama organisme belajar mengasosiasikan kedua stimuli disebut sebagai “pemerolehan pengkondisian” (acquisition stage of conditioning). Interval waktu penyajian ST dan SD dapat saja berbeda. Melalui penyajian ST dan SD ini akan mengakibatkan terbentuknya respon terkondisi (RD). Dengan terbentuknya RD yang memang diharapkan maka dapat dikatakan bahwa seseorang telah belajar. Pembentukan RD ini pada umumya bersifat gradual. Makin banyak (sering) diberikan ST dan SD akan mengakibatkan RD yang dibentuk makin mantap. Sampai pada suatu saat tanpa diberikan ST,
 tetap akan terbentuk RD yang diharapkan.
 
2)   Pemunahan
 (Extinction)
      Bila perilaku terkondisi tidak diteruskan (dikuatkan) atau bila stimulus tidak terkondisi (ST) berulang-ulang tidak diberikan, maka respon terkondisi (RD) kadarnya makin menurun dan akhirnya dapat menghilang sama sekali. Pengulangan stimulus terkondisi (SD) tanpa penguatan (ST) ini disebut pemunahan (extinction), yakni proses hilangnya respon yang diharapkan. Jika diberikan ST kembali maka RD yang telah hilang dapat muncul kembali (spontaneous
 recovery) dalam waktu yang relative singkat.

3)   Generalisasi
      Bila respon terkondisi (RD) diperoleh sebagai tanggapan atas suatu stimulus tertentu, maka stimulus lain yang sejenis (serupa), akan menyebabkan terjadinya RD tersebut. Makin serupa stimulus baru tersebut dengan stimulus aslinya, makin tinggi pula kemungkinan terjadinya RD tersebut. Prinsip ini disebut sebagai generalisasi (generalization). Prinsip ini menerangkan akan adanya kemampuan untuk bereaksi pada situasi baru sepanjang stimulus serupa
 dengan stimulus yang dikenal.

4)   Diskriminasi
      Diskriminasi merupakan reaksi terhadap stimulus yang berbeda. Menurut Morgan, et.al (1986), diskriminasi stimuli merupakan suatu proses belajar untuk memberikan respon terhadap suatu stimuli tertentu atau tidak memberikan respon sama sekali terhadap stimulus lain.
 Hal ini dapat diperoleh dengan cara memberikan ST lain.
      Generalisasi dan diskriminasi muncul dalam perilaku sehari-hari. Anak kecil yang telah merasa takut pada anjing (generalisasi). Lambat laun melalui proses penguatan dan peniadaan diferensial, rentang stimulus rasa takut semakin menyempit, hanya pada anjing yang
 berperilaku galak (diskriminasi).
B.     Macam Macam Teori Belajar Prilaku
      . Teori Belajar Perilaku (Behavioristik) 

      Menurut teori ini, belajar dipandang sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma Stimulus – Respon (S-R), yaitu suatu proses yang memberikan respon tertentu terhadap stimulus yang datang dari luar. Proses S-R terdiri dari empat unsur.
  1. Pertama, dorongan (drive) yaitu siswa merasakan adanya kebutuhan terhadap sesuatu yang kemudian terdorong untuk berupaya memenuhi kebutuhan tersebut. 
  2. Kedua, rangsangan (stimulus) yaitu sesuatu yang diberikan atau diperhadapkan kepada siswa.
  3. Ketiga, respon yaitu suatu reaksi yang muncul pada diri siswa sebagai akibat adanya (diberikannya) stimulus. 
  4. Keempat, penguatan (reinforcement) yaitu tindakan yang perlu diberikan kepada siswa agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respon lagi.
Behaviorisme menekankan pada hasil belajar (berupa perubahan tingkah laku) dan tidak memperhatikan pada proses berpikir siswa (karena tidak dapat dilihat), Oleh karena itu, Galloway (1967), menganggap proses belajar menurut behaviorisme sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi di dalam diri siswa selama belajar berlangsung.

2. 
Teori Koneksionisme (Connectionism Theory) dari Thorndike
     Thorndike melakukan eksperimen dengan menggunakan kera. Thorndike meletakkan kotak berisi pisang di dalam kurungan. Untuk dapat mengambil pisang tersebut, kera harus terlebih dulu mencabut paku penjepit kawat. Pada percobaannya yang pertama, kera membutuhkan waktu 36 menit untuk mencabut paku penjepit kawat. Tetapi pada percobaan kedua, ternyata hanya dibutuhkan waktu 2 menit 30 detik.
      Thorndike menerangkan perilaku kucing dan kera tersebut secara mekanistis. Jika suatu reaksi berhasil maka hubungan di antara reaksi tersebut dengan kondisi yang memberikan rangsangan akan diperkuat. Asosiasi-asosiasi yang berhubungan dengan reaksi-reaksi yang gagal makin lama makin lemah, yakni reaksi-reaksi yang gagal tersebut tidak muncul lagi.
      Thorndike mengemukakan teorinya yang disebut sebagai Connectionism. Menurut teori ini, belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Terjadinya asosiasi
 tersebut menurut Thorndike berdasarkan hukum-hukum sebagai berikut:
a)    Hukum Kesiapan(Law of readiness)
Hukum ini menjelaskan kesiapan individu untuk melakukan sesuatu. Ciri-ciri berlakunya hukum kesiapan adalah sebagai berikut:
  1. Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Orang tersebut bertindak, maka akan menimbulkan kepuasan dan tindakan lain yang tidak dilakukan.
  2. Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Orang tersebut tidak bertindak, maka akan muncul rasa tidak puas dan ia akan melakukan tindakan-tindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.
  3. Misalkan seseorang tidak mempunyai kecenderungan bertindak. Tetapi orang tersebut bertindak, maka akan muncul rasa tidak puas dan ia akan melakukan tindakan-tindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.
Menurut hukum ini keberhasilan individu dalam melaksanakan sesuatu sangat tergantung pada kesiapannya. Belajar akan berhasil jika siswa telah siap untuk belajar.

b)   Hukum Latihan (Law of exercises)
      Hukum ini menunjukkan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Bila S (stimulus) diberikan akan terjadi R (respon). Lebih sering asosiasi S dan R digunakan akan membuat hubungan yang terjadi semakin kuat. Sebaliknya makin jarang asosiasi S dan R digunakan, akan membuat hubungan tersebut semakin lemah. Thorndike juga mengemukakan bahwa latihan yang berupa pengulangan tanpa ganjaran tidak efektif. Asosiasi
 antara S dan R hanya akan menjadi kuat jika diberikan ganjaran.

c)   Hukum Pengaruh (Law of effect)
      Menurut hukum ini, dalam suatu lingkungan, jika suatu tindakan (perilaku) menghasilkan perubahan yang memuaskan, maka terdapat kemungkinan tindakan tersebut akan diulangi lagi dalam situasi serupa dan akan semakin meningkat intensitasnya. Tetapi jika tindakan (perilaku) tersebut menghasilkan perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan
 tersebut kemungkinan tidak akan diulangi lagi.
      Ganjaran dan hukuman berkaitan dengan hukum pengaruh ini. Ganjaran merupakan sesuatu yang diperoleh siswa atas keberhasilan atau usaha yang dilakukannya. Misalnya, nilai balik (tinggi) yang diperoleh pada hasil tesnya. Sedangkan, hukuman berkaitan dengan sesuatu yang diperoleh siswa sebagai akibat dari kegagalan atau pelanggaran yang dilakukan. Misalnya, nilai jelek atau teguran kepada siswa atas hasil tesnya. Menurut Thorndike, hukuman tidak selalu melemahkan hubungan S-R dan juga tidak mempunyai akibat
 yang berlawanan dengan ganjaran.
3. Teori Pengkondisian Operan (Operant Conditioning Theory)
      Burhus Frederic Skinner (1904-1990) memulai karyanya dengan menerima asumsi-asumsi metode almiah sebagai pedoman berpikir mengenai perilaku manusia. Hal ini mengkristalisasikan ”behaviorisme radikal” menjadi gerakan sadar diri. McLeish (1986) mendeskripsikan prinsip-prinsip fundamental pandangan ini sebagai berikut:
a.       Perilaku harus dipandang berketeraturan dan ditentukan oleh hukum kausalitas. Objek pengkajian ilmiah ialah memahami sebab dan akibat sehingga perilaku dapat diramalkan dan diubah jika perubahan itu diperlukan.
  1. Perilaku tidak mempunyai hakikat khusus atau tersendiri yang menuntut penggunaan metode unik atau pengetahuan khusus berbeda dari prosedur-prosedur ilmiah yang telah diterima untuk memahaminya. Kita harus menganggap bahwa hubungan-hubungan kausal yang telah ditemukan dalam ilmu-ilmu lain dapat diterapkan untuk mengkaji manusia, kecuali terdapat bukti yang bertentangan.
  2. Variabel-variabel yang dipilih untuk pengkajian haruslah dapat diamati. Variabel-variabel itu haruslah berkedudukan seperti metode dan teknik-teknik yang dipakai dalam sains (eksperimen dan observasi). Variabel-variabel tersebut tersedia untuk analisis ilmiah dan terdapat di luar organisme. Variabel-variabel berada di lingkungan terdekat atau dalam lingkungan historis organisme.
  3. Keadaan internal harus dipandang di bawah kontrol kekuatan-kekuatan yang mengontrol perilaku yang tampak. Keadaan internal tidak menerangkan perilaku dan harus dinyatakan tidak relevan sampai keadaan internal tersebut berada di bawah kontrol metode ilmiah.
             Skinner memperkenalkan konsep ”Pengkondisian Operan (Operant Conditioning)” untuk menyebut prosedur tingkah laku yang dikembangkannya. Menurut Skinner, tingkah laku organisme itu dapat dikontrol melalui pemberian penguatan (reinforcement) yang tepat dalam lingkungan yang relative baru.
        Skinner melakukan eksperimen dengan menggunakan seekor tikus lapar yang diletakkan dalam kotak yang disebut ”kotak Skinner (Skinner Box)”. Di dalam kotak tersebut, hanya terdapat sebuah jeruji yang menonjol di mana di bawahnya terdapat piring makanan
 dan di atasnya terdapat lampu kecil.
      Tikus yang dibiarkan sendiri di dalam kotak berjalan ke sana ke mari. Kadang-kadang tikus melihat jeruji tersebut dan menekannya. Setiap kali tikus menekan jeruji, butir-butir makanan meluncur jatuh ke piring makanan. Tikus memakannya dan segera menekan jeruji kembali. Makanan ”menguatkan (reinforce)” terhadap penekanan jeruji dan kecepatan penekanan jeruji meningkat drastis. Bila tempat makanan tidak dihubungkan dengan jeruji sehingga penekanan jeruji tidak lagi mengeluarkan makanan, maka kecepatan penekanan jeruji akan berkurang.Pada percobaan dengan tikus di atas, jika setiap kali tikus menekan jeruji akan diikuti dengan jatuhnya makanan, maka tikus akan semakin cepat menekan jeruji. Kondisi ini disebut sebagai ”penguatan berkesinambungan (continuous reinforcement)”. Akan tetapi, bila makanan tidak lagi jatuh (pemberian makanan dihentikan) ketika jeruji ditekan, maka kecepatan penekanan jeruji akan semakin berkurang, bahkan mungkin tidak lagi terjadi. Respon yang sebelumnya diperkuat kini telah
 dihapuskan.
      Apabila tempat makanan dihubungkan dengan jeruji hanya pada interval waktu tertentu misalnya setiap lima menit, sehingga makanan baru jatuh ketika jeruji ditekan setelah interval waktu lima menit. Maka penguatan yang dilakukan disebut sebagai ”penguatan interval (interval reinforcement)”. Jika interval waktu tersebut bersifat tetap, maka kita menghadapi suatu ”jadwal penguatan interval tetap (fixed interval reinforcement schedule)”.
   
C.    Implementasi Dari Teori-Teori Yang Terkandung Di Dalam TeorBelajar  Perilaku (Behavioristik)

1.   Teori Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning Theory) dari Pavlov
           Dalam lingkup pemerolehan bahasa pertama, classical conditioning ini dapat menjelaskan bagaimana kita belajar makna kata. Seperti diketahui dalam lingkungan banyak rangsangan yang dapat menimbulkan emosi positif atau negatif. Jika rangsangan-rangsangan bahasa, misalnya kata, frasa, atau kalimat, sering terjadi bersamaan dengan rangsangan-rangsangan lingkungan, maka ada akhirnya rangsangan bahasa tersebut dapat menimbulkan respon emosional walaupun tidak ada rangsangan lingkungan.
      Contohnya, Yudi yang berumur sekitar 15 bulan akan menarik taplak meja makan. Ibunya segera mengatakan, “Tidak! Tidak!” sambil menepis tangannya dengan harapan Yudi akan menghubungkan sakit di tangannya dengan kata “Tidak! Tidak!” akan menimbulkan respon makna yang tidak menyenangkan bagi Yudi. Jika hal ini terjadi berulang kali dan respon emosional sudah ditransferkan dari hukuman fisik ke ujaran “Tidak! Tidak!”, maka pembiasaan telah berhasil. Jadi, kata “Tidak” menghasilkan respon emosional, sama halnya dengan bunyi bel menimbulkan respon air liur. Dengan demikian, ibu tersebut telah berhasil mengajarkan makna “Tidak”. Dengan kata lain, Yudi
 memahami makna “Tidak” yang berarti suatu larangan.

2
 Teori Koneksionisme (Connectionism Theory) dari Thorndike
      Menurut Thorndike, perubahan tingkah laku dapat berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati). Di dalam belajar praktik misalnya, perubahan tingkah laku seseorang dapat dilihat secara konkret atau dapat diamati. Pengamatan ini dapat diwujudkan dalam bentuk gerakan yang dilakukan terhadap suatu objek yang dikerjaakannya. Seorang guru memberikan perintah kepada siswa untuk melakukan kegiatan praktik merupakan ”stimulus” dan siswa dengan menggunakan pemikirannya, melakukan kegiatan praktik merupakan ”respon” yang hasilnya langsung dapat diamati. Dengan demikian, kegiatan belajar yang tampak dalam teori belajar tingkah laku dalam pandangan Thorndike mengarah pada hasil langsung belajar,
 atau tingkah laku yang ditampilkan.
   
3.
 Teori Pengkondisian Operan (Operant Conditioning Theory) dari B.F. Skinner
      Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun.Guru dapat menyusun program pembelajaran berdasarkan pandangan Skinner. Dalam menerapkan teori Skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang penting, yaitu pemilihan
 stimulus yang diskriminatif dan penggunaan penguatan.
           Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori pengkondisian operan sebagai berikut:
a.       Kesatu, mempelajari keadaan kelas. Guru mencari dan menemukan perilaku siswa yang positif atau negatif. Perilaku positif akan diperkuat dan perilaku negatif diperlemah atau dikurangi.
  1. Kedua, membuat daftar penguat positif. Guru mencari perilaku yang lebih disukai oleh siswa, perilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang dapat jadi penguat.
  2. Ketiga, memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis penguatnya.
  3. Keempat, membuat program pembelajaran. Program pembelajaran ini berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku dan penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidakberhasilan tersebut menjadi catatan penting bagi modifikasi perilaku selanjutny.





DAFTAR PUSTAKA
Dahar, Ratna Wilis.1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dimyati & Mudjiono.2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
         Ratumanan, Tanwey Gerson.2002. Belajar dan  Pembelajaran. Ambon: Unesa University Press.
         Slameto.2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
          Uno, Hamzah B.2008. Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.