BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah salah
seorang pendiri lembaga peasantren di semping sebagai tokoh yang memiliki
pemikiran di berbagai disiplin, diantaranya teologi, tasawuf, fiqh, dan
kependidikan. Bahkan, masyarakat Indonesia agaknya lebih mendukung beliau
sebagai tokoh awal yang membuat mata rantai trasionalisme di Indonesia,
gara-gara dia meletakkan kerangka dasar pendirian Nahdlatul Ulama’, seuah
organisasi sosial keagamaan yang saat ini terbesar di Indonesia.
KH. M. Hasyim Asy’ari telah menyediakan sebuah risalah
kependidikan secara khusus,yakni kitab Adab al-alim wa al-muta’allim fi ma
yahtaj ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limihi wa ma yatawaqaf ‘alaih
al-muta’allim fi maqamat ta’limihi. Oleh karena itu, pada penulisan makalah
ini akan terfokus pada konsep pendidikan KH. Hasyim Asy’ari pada buku tersebut.
B. Rumusan
Masalah
Dari
uraian latar belakang masalah diatas, maka dalam penulisan makalah ini dapat
kami rumuskan sebagai berikut:
1.
Siapa sosok K.H. Hasyim Asyari…?
2.
Seperti apa corak pemikiran keagamaan K.H. Hasyim Asyari…?
3.
Bagaiman pandangan K.H. Hasyim Asyari dalam dunia pendidikaN…?
BAB
II
PEMBAHASAN
KONSEP PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI
A.
KH. HASYIM ASY’ARI DAN NAHDLATUL ULAMA
KH. Hasyim asy’ari lahir 14 februari 1871 M (24 Dzulkaidah 1287 H)
di Desa gedang. Sekitar dua km dari sebelah timur jombang, jjawa timur.
Muhammad Hasyim, demikian ia di beri nama oleh ayahnya, kyai asy’ari,, pendiri
pesantren keras, 8 KM dari jombang. Kakek Hasyim Asy’ari bernama kyai Usman,
pendiri pesantren Gedang di jombang yang didirikan pada 1850-an. Sementara
buyutnya, kyai Sihah adalah pendiri pesantren Tembak Beras di jombang. Dilihat
dari silsilah ini dapat di ketahui bahwa Hasyim Asy’ari berasal dari keluarga
dan keturunan pesantren yang terkenal. Di akui Zamakhsyari Dhofier, secara
antropologi social, para kyai jawa terikat dalam ikatan kekerabatan yang
intensitasnya sangat kuat. Oleh karena itu, tak mengherankan bila kepemimpinan
pesantren menjadi hak terbatas, yang di peruntukkan hanya bagi
keluarga-keluarga kyai.[1]
Sejak masih sangat muda Hasyim Asy’ari yang di beri gelar “Hadratus
syaikh” oleh para kyai di kenal sangat pandai, penuh ketekunan, dan rajin
belajar. Pada usia enam tahun ia mulai belajar agama di bawah bimbingan ayahnya
sendiri, Kyai Asy’ari, di Desa Keras, tempat ayhnya pindah dari Demak pada 1876. Bidang-bidang yang di pelajari dari
ayahnya antara lain tauhid, hukum islam, bahasa arab, tafsir dan hadits. Dia sedemikian
cerdas sehingga pada usia ke 13 tahun sudah dapat membantu ayahnyamrngajar para
santri yang jauh lebih tua daripada dirinya. Pendidikan ke berbagai pesantren
di tempuh Hasyim Asy’ari mulai usia 15 tahun. Dia berpindah-pindah dari satu
pesantren ke pesantren lain di jawa timur dan Madura.
Pada tahun 1891, ia belajar di pesantren terkenal milik Kyai
Ya’kub, siwalan panji sidoarjo, Jawa Timur. Baru setahun di pesantren ini, ia
menikah dengan putrid gurunya, Khadijah. Pernikahan ini merupakan penghargaan
dan kesan seorang guru terhadap muridnya. Kedua suami-istri ini kemudian pada
tahun 1892 di berangkatkan oleh Kyai Ya’kub ke makkah untuk menunaikan ibadah
haji dan belajar. Tujuh bulan disana istri Hasyim Asy’ari meninggal dan iapun
kembali ke Indonesia. Tiga bulam kemudian ia berangkat lagi ke arab Saudi untuk
belajar. Dari berbagai perjalanannya menuntut ilmu dari pesanttren ke
pesantren, baik di Indonesia maupun luar negeri, kiranya pengetahuan Hasyi
Asy’ari semakin luas dan bertambah. Oleh karena itu, Mahmud Yunus, sepulang
dari Makkah, dada hasyim Asy’ari di penuhi ilmu agama sehingga ia mendapat
gelar Kyai.
Pada saat Hasyi Asy’ari di makkah, Muhammad Abduh sedang
gencar-gencarnya melakukan gerakan pembaruan pemikiran islam. Menurut Deliar
Noer, ide-ide reformasi islam yang dilakukan Muhammad Abduh dari Mesir telah
menarik perhatianpelajar-pelajar Indonesia yang sedang belajar di makkah.
Murid-murid syaikh Ahmad Khatib , seperti KH. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari
kiranya juga tertarik dengan pemikiran Muhammad abduh. Syaihk Ahmad Khatib
mempelajari tulisan Muhammad Abduh yang di muat dalam majalah Al Urwah al Wusqa
dan tafsir al Mannar. Syaikh Ahmad Khatib sendiri merupakan seorang tokoh yang
controversial. Disatu sisi ia menolak pemikiran Muhammad abduh agar umat islam
melepaskan diri dari anutan-anutan mazhab yang empat, tapi di lain pihak iapun
menyetujui adanya gerakan Muhammad Abduh yang bermaksud melenyapkan segala
bentuk praktik tarekat.
Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, jombang, sepulangnya
dari makkah, yang akan di jelaskan lebih lanjut pada bagian pembahasan mengenai
pemikirannya tentang pendidikan. Pesantren ini memiliki kontribusi yang besar
bagi golongan tradisonalis islam di Indonesia, terutama karena ia menjadi cikal
bakal berdirinya organisasi islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).
Perlu di jelaskan bahwa arus pemabaruan masuk ke indonesia di antaranya melalui
kontak langsung para jamaah haji yang belajar di makkah dengan tokoh-tokoh pembaru seperti Muhammad bin
Abdul Wahab, Jamaluddin al Afgani, dan Muhammad Abduh, maupun melalui hubungan
tidak langsung yang terjlin lewat tulisan-tulisan para pembaru yang di pelajari
para pelajar Indonesia.
Kehadiran kelompok baru di Indonesia membawa situasi tersendiri.
Ajaran-ajaran agama yang tadinya sudah mengakar tentunya tidak begitu saja di
hilangkan, sebagaimana di harapkan oleh kelompok pembaru. Dari sini tak jarang
terjadi konflik dan pembenturan di antara mereka. Ketika syaikh Ahmad khatib
membiarkan dan tidak melarang murid-muridnya membaca dan berkenalan dengan
pemikiran-pemikiran para pembaru, yang terjadi di Indonesia adalah dua respons
yang berbeda. Kelompok modernis semisal Muhammadiyah senantiasa bertekad
membersihkan tradisi dan budaya jawa yang mengandung Bid’ah, khurafat, dan
prilaku-prilaku keagamaan lainnya yang di pandang menyimpang dari ajaran islam,
sementara kelompok tradisionalis berupaya mengharmonikan tradisi dan budaya
jawa melalui “polesan-polesan” bernuansa islami. Kelompok modernis lebih
mengutamakan pendekatan konflik dan radikal, sedangkan kelompok tradisionalis
lebih mengutamakan pendekatan kompromi dan harmoni. Dalam bidang keagamaan,
kelompok modernis dengsn berfikir radikal dan rasionalnya mendobrak kejumudan
dengan mengemukakan pernyataan bahwa pintu ijtihad masih terbuka, sementara
kaum tradisionalis dengan berfikir ortodoksnya mengemukakan bahwa pintu ijtihad
sebenarnya terbuka, hanya saja seorang mujtahid harus memenuhi beberapa
persyaratan yang di tentukan.
Seorang mujtahid yang melakukan ijtihad ra’yi (usaha pribadi untuk
dapat mengambil suatu keputusan hukum agama), menurut kelompok tradisionalis,
harus melakukannya dengan tiga cara. Pertama, meneliti terlebih dahulu
pendapat-pendapat ulama otoritatif. Kedua, mengadakan diskusi secukupnya dengan
para ulama yang pandai. Ketiga, mengadakan diskusi dan Tanya jawab tentang
masalah-masalah terkait antara sesame ulama sevcara terbuka untuk umum. Dengan
demikian, bagi kaum tradisionalis, proses ijtihad tidak dapt dilakukan dengan
sembarangan dan tidak semua orang dapat melakukannya. Hanya ulama-ulama
tertentu yang memiliki dan memenuhi criteria mujtahid dapat melakukan proses
ijtihad.
Pergumulan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis di saat-saat
awal memasuku islam Indonesia memasuki arus pembaruan terasa begitu kental.
Banyak kritik yang di kemukakan kalangan islam modernis terhadap islam
tradisional, misalnya soal mengunjungi kubur, do’a lewat perantara, dan masalah
tarekat. Perilaku-perilaku ini bagi kalangan modernis di pandang sebagai hal
yang bertentangan dengan islam. Sementara kalangan tradisionalis sendiri tidak
menerima kritik-kritik tersebut, karena menurutnya perilaku-perilaku keagamaan
seperti itu masih memiliki landasan-landasan normative yang tidak bertentangan
dengan ajaran islam yang sebenarnya.
Untuk menghindari dan meredam konflik atau perbenturan antara kaum
muda dan kaum tua, syarikat islam selaku partai nasional pada waktu itu
bermaksud memoderasi keduanya, dengan mengadakan forum dialog. Untuk
merealisasikannya, pada 1921 di adakan kongres al islam pertama di Cirebon.
Kongres semacam ini telah berjalan beberapa kali. Namun, karena persoalan yang
di perbincangkan melulu masalah khilafiyah dan furu’, kongres-kongres ini,
sebagaimana yang di sebutkan oleh Deliar Noer, kurang berhasil menyelesaikan
konflik.
Hubungan antara dua kelompok itu kian memburuk di tahun 1924 ketika
umat islam Indonesia berusaha mencari kesatuan pandangan mengenai dua isu
internasional, yaitu masalah masa depan lembaga kekhalifahan menyusul
penghapusan lembaga ini oleh parlemen turki, dan masalah di rebutnya makkah
oleh pemimpin wahabi, abdul Aziz bin Sa’ud. Dua kongres islam Dunia (Muktamar
Alam Islami) di jadwalkan akan di gelar untuk membahas kedua isu tersebut,
kongres pertama di kairo pada 1925 dan kongres kedua di makkah setahun kemudian.
Pada rancangan kongres kedualah terjadi perpecahan antara kaum modernis dan
kaum tradisionalis. Kalangan islam tradisionalis khawatir raj Ibnu Sa’ud yang
beraliran wahabi dan bermazhab Hanbali akan melakukan restriksi terhadap
pendidikan ritual dan dan beraliran Mazhab Syafi’I di hijaz, sementara kalngan
islam modernis justru sangat senag dengan tampilnyaIbnu Sa’ud di panggung
kekuasaan.
Untuk menghadapi kekhawatiran tersebut, pada pertengahan januari
1926 KH. wahab Hasbullah, putra pesantren tambakberas jombang yyang menjadi
murid Hasyim Asy’ari, dengan restu gurunya, mengundang para ulama tradisional
terkemuka untuk mendukung pendirian panitia yang di sebut komite Hijaz. Komite
ini bertugas mengurus delegasinya ke makkah untuk mewakili kepentingan-kepentingan
tradisional dalam Muktamar Alam islami kedua. Komite pada awalnya memutuskan
mengutus KH. Bisri dan KH. Asnawi untuk pergi ke tanah Hijaz, tapi kemudian
gagal dilakukan karena keduanya ketinggalan kapal. Sebagai gantinya, komite
hijaz mengawatkan melalui telegram empat pesan untuk raja Ibnu Sa’ud, yaitu:
1.
Meminta kepada raja ibnu Sa’ud untuk tetap memberlakukan kebebasan
bermazhab empat
2.
Memohon tetap di resmikannya tempat-tempat bersejarah yang telah di
wakapkan untuk masjid, seperti tempat kelahran siti Fatimah dan bangunan
Khaizyran
3.
Memohon agar disebarluaskan keseluruh dunia setiap tahun sebelum
jatuhnya musim haji mengenai hal ihwal haji, seperti ongkos haji dan syaikh
haji
4.
Memohon hendaknya semua hukum yang berlaku di hijaz di tulis sebagai
UU supaya tidak terjadi pelanggaran
hanya karena belum tertulis
Menurut Deliar Noer, tidak ada
jawaban terhadap permintaan ini. Untuk
itu, kalangan tradisionalis menganggap “gagal” Muktamar Alam Islami ke 2 di
Makkah. Dari keempat harapan tersebut, hanya massalah kebebasan menjalankan
praktik keagamaan menurut madzhab empat yang mendapat jawaban dari penguasa
Hijaz, selebihnya tidak di jawab.
Pada perkembangan berikutnya,
beberapa ulama berkumpul di rumah KH. Wahab Hasbullah di Surabaya pada 31
januari 1926 untuk mengesahkan bentuk komite tersebut. Setelah komite di sahkan
pembentukannya, mereka sepakat untuk mendirikan organisasi permanen yang
mewakili kalangan ulama tradisional. Organisasi baru ini di beri nama Nahdlatul
Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama. Menurut Steenbrink, KH. Wahab
Hasbullah adalah seorang organisator yang kuat yang menjadi motor dan pendorong
berdirinya Nu, tetapi KH. Hasyim Asy’arilah yang menjadikan NU cepat popular,
karena ia adalah tokoh yang penuh charisma.
Penilaian yang sama juga dilakukan
Greg Fealy. Menurutnya, KH. Wahab Hasbullah adalah penggerak utama dalam
pembentukan NU. Inisiatifnya untuk metode organisasi bergaya modernis kepada
masyarakat bertujuan untuk membela kedudukan ulama tradisionalis dan pesantrennya.
Namun, inisiatif ini menjadi terwujud berkat restu gurunya, KH. Hasyim Asy’ari.
Tanpa dukungan “hadratus syaikh”, kecil kemungkinan KH. Wahab Hasbullah meraih
sukses. KH. Wahab Hasbullah belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk
menarik ulama senior dan para pengikutnya masuk ke dalam organisasi NU. Ia akan
menemui banyak kesulitanjika meneruskan inisiatifnya itu tanpa restu dari
gurunya. Demikianlah pertemuan pendirian NU pada januari 1926 berhasil berkat
restu yang di berikan KH. Hasyim Asy’ari. Keduanya bekerja sama secara
mutualistik. KH. Wahab Hasbullah menawarkan konsep dan kemampuan organisatoris,
smentara KH. Hasyim Asy’ari memberikan legimitasi kegamaan.
Pemberian restu oleh KH. Hasyim
Asy’ari dalam pendirian NU tidak terlepas dari konteks pertentangan di kalangan
pembaruan pemikiran islam di Indonesia masa awal. Kongres al Islam ke 4 dak ke
5 (masing-masing di Yogjakarta dan Bandung) yang di dominasi kalngan modernis
telah membuat saran ulama tradsisional agar praktik-praktik keagamaan tradisional
tetap di pelihara, menjadi terabaikan. Pengabaian ini telah membuat KH. Hasyim
Asy’ari melancarkan kritik-kritik yang keras kepada kelompok modernis, yang
kemudian berujung pada pendirian NU. Pengaruh KH. Hasyim Asy’ari yang bsar
dikalangan ulama menyebabakan mereka dan para pengikutnya dengan segera
mendukung NU. Demikianlah sejak pembentukan NU menjadi penghadang bagi
penyebaran pemikiran-pemikiran islam modern ke desa-desa di jawa. Hal ini
menjadi perwujudan bagi sebuah kesepakatan Status quo di akhir 1920-an bahwa
kaum modern memusatkan misinya di lingkungan perkotaan, sedangkan NU cukup puas
menarik pengikutnya terutama mereka yang berasal dari pedesaan.
Kedudukan KH. Hasyim Asy’ari dalam
pengurus NU adalah Rais Akbar, suatu jabatan yang tidak dan belum pernah di
apngku oleh tokoh NU lainnya, karena ketua umum NU setelah masa KH. Hasyim
Asy’ari di panggil dengan sebutan Rais ‘Am. Hal ini karena ulama yang
menggantikannya secara hierarki social dan keilmuan berada pada derajat di
bawahnya. Selain itu sebutan jabatanRais Akbar NU bagi KH. Hasyim Asy’ari juga
menandakan bahwa dirinya merupakan “soko guru” bagi ulama tradisional NU.
Sifat keberagaman NU meruapakan
upaya peneguhan kembali sebuah tradisi keagaamaan dan social yang sebenarnya
telah melembaga dalam jaringan struktur dan pola kepemimpinan pesantren yang
mapan. Lemabag-lemabaga pesantren, kyai, santri, dan jamaah mereka yang
tersebar sebagai komunitas social budaya masyarakat isalam, menjadikan NU tanpa
kesulitanmenyebarkan sayap organisasinya. Apalagi pengaruh KH. Hasyim Asy’ari
di lingkungan pesantren cukup kuat sehingga pertama kali di perkenalkan, begitu
mudah NU menarik dukungan dan simpati dari para kyai pesantren. Cabang-cabang
NU di daerah umumnya di bentuk para kyai
pesantren atau para santrinya. Dengan perkembangan ini NU pada tahun-tahun
pertama mendapat dukungan yang luas. Muktamar NU ke 2 1927 di hadiri 146 kyai
dari 36 cabang, dan muktamr ke 4 di semarang di hadiri 500 kyai dari 62 cabang,
dan muktamar ke 13 di banten tahun 1938 di hadiri oleh 99 cabang. Demikian NU
mengalami perkembangan yang pesat dari tahun ke tahun, dan dari muktamar ke
muktamar. Semuanya berkat dukungan kyai dan para simpatisannya. Melihat
kedekatan NU dengan pesantren, KH. Idham Khalid yang telah 30 tahum memimpin NU
(1952-1984) menyatakan “Pesantren merupakan miniature NU dalam skala kecil, dan
NU merupakan pesantren dalam skala besar”. Dari prnyataan inilah orang sering
mengidentikkan NU dengan pesantren, atau pesnteren dengan NU, meskipun
pemikiran ini untuk konteks dewasa ini tidak
selamanya benar. Banyaknya esantren yang berafiliasi pada NU di sebabkan
asal-usul kelahiran organisasi keagamaan tertentu, seperti pondok modern Gontor, ponorogo dan pesantren
pabelan, magelang, meskipun sebagian besar santri dari kedua pesantren tersebut
berasal dari keluarga NU. Di akui Sudirman Tebba, pada awal desawarsa 1950-an,
pesantren di kategorikan sebagai kekuatan social (social force) dan NU adalah
lembaga politik (political institusion). Keduanya tidak dapat di pisahkan
secara jelas. Kekaburan ini di mungkinkan pada masa itu oleh karena kuatnya
peranan politik pesantren yang di lembagakan melalui organisasi NU.
B.
CORAK PEMIKIRAN KEAGAMAAN KH. HASYIM ASY’ARI
Mengapa KH. Hasyim Asy’ari menjadi
pemimpin dan ulama yang berhaluan islam tradisional? Apa itu tardisionalisme?
Bagaimana corak pemikiran keagamaan KH. Hasyim Asy’ari? Tradisionalisme di
ambil dari kata “tradisional” dan “isme” yang secara sederrhana mengandung arti
sebuah paham yang mementingkan pemeliharaan unsur tradisonal. Tradisional
meupakan derivasi dari akar kata tradisi. Menurut Steenbrink, kata tardisi
bersifat elastic, dapat di artikan secara berbeda-beda dan penuh perdebatan.
Dalam konteks studi islam,
tradisional memiliki pengertian yang berlawanan denagn modernism. Menurut
Sayyed Hossein Nasr, islam tradisional di pahami sebagai faset islam dengan
beberapa karakteristik:
1.
Islam tradisional menerima al-qur’an sebagai kalam tuhan, baik
kandungan maupun bentuknya.
2.
Islam tradisional menerima koleksi ortodoks, yaitu shihah yang enam
dari kalangan sunni dan empat buku dari kalangan syi’ah.
3.
Islam tradisional mempertahankan syari’ah sebagai hukum ilahi
selama berabad-abad, di samping menerima kemungkinan pandangan-pandangan segar
lainnya melalui qiyas, ijma’ dan istihsan.
4.
Islam tradisional memendang sufisme sebagai dimensi batin atau
jantung wahyu islam.
5.
Islam tradisional mempertahankan islamisitas seni islam sebagai hal
yang berkaitan dengan Spiritual islam.
6.
Islam tradisional mnerima system khilafah dan pranata-pranata lain
semisal kesultanan, yang berkembang dalam sinaran syariah sesuai kebutuhan
umat.
Dengan beberapa karasteristik
tersebut, islam tradisonal sebenarnya adalah islam murni, yaitu islam yang
berupaya melaksanakan islam sesuai warisan atau tradisi yang di terima dari
generasi pendahulunya. Akan tetapi, permasalahan akan menjadi lain apabila yang
di laksanakan atau yang di lestarikan itu merupakan tradisi yang berasal dari
agama lain, yang islam sendiri tidak menoleransi kebenarannya.
Dalam konteks keindonesiaan, Menurut
fachri ali dan Bahtiar Effendi, tradisionalisme islam lahir karena adanya
kelompok masyarakat yang berupaya mepertahankan tradisi dalam kehidupan
beragama mereka. Mereka adalah masyarakat petani yang tinggal di pedesaan.
Islam berkembang dikalangan mereka lebih menekankan aspek loyalitas terhadap
pemuka agama daripada kepada substansi ajaran islam yang bersifat
rasionalistis. Dengan ini, yang berkembang adalah sikap taqlid dan taat kepada
para ulama. Sementara itu, ajaran yang di sampaikan para ulama lebih banyak
berpusat kepada bidang ritual, sesuai dengan tradisi masyarakat indonesiapada
waktu itu. Mengingat adanya kesesuaian antara sufisme islam dan msitik hindu,
yang telah di kenal masyarakat Indonesia, terutama masyarakat jawa, pemikiran
tardisionalisme islam kiranya berhasil dapat di galang oleh penduduk pedesaan.
Kelompok santri tradisional ini oleh Clifford Geertz di sebut sebagai kelompok
kolot (tradisional).
Masyarakat jawa secara antropologis
adalah orang-orang yang dalam kesehariannya berkomunikasi menggunakan bahasa
jawa denagn beebagai ragam dialeknya secara turun temurun. Sementara geografis,
masyarakat jaw adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah jawa tengah dan
jawa timur, serta mereka yang berasal dari dua daerah tersebut. Daerah ini
meliputi wilayah Banumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, maalang, dan
Kediri, yang biasa di sebut dengan tanah jawa. Sementara masyarakat jawa yang
tinggal di luar wilayah-wilayah ini di namakan pesisir dan Ujung jawa.
Surakarta dan Yogyakarta yang meruapakan bekas kerajaan mataram adalah pusat
kebudayaan masyarakat jawa.
Masuknya Islam ke tanah Jawa secara
historis tidak dapat dipisahkan dari proses masuknya Islam ke seluruh wilayah
Nusantara. Ada tiga teori yangmuncul ke permukaan mengenai proses masuknya
Islam ke Indonesia. Pertama, teori arab yang menyebutkan bahwa islam dating ke
nusantara langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ni di kemukakan
Crawfurd, Keyzer, Niemann, DE Hollander,
Veth, dan Hamka. “orang Arab” pelopor pertama dari Islam, telah datng ke
negeri-negeri melayu pada abad ke 7 Masehi, artinya ababd pertama dari islam
(tahun Hijrah di mulai pada tahun 622 Masehi dan Nabi Muhammad wafat pada tahun
632 Masehi), demikian tulis Hamka. Kedua, inidia yang manyatakan bahwa islam
masuk ke nusantara dari india pada abad ke 13 Masehi. Teori ini untuk kali
pertama di kemikakan oleh Pijnapel tahun 1872, yang kemudian di ikuti oleh
Snouck Hurgronye dam Marrison. Ketiag teori iran mengatakan bahwa islam dating
ke Nusantara dari Iran (Persia) pada abad ke 13 M. TEori ini di kemukakan oleh
Hossein Djajaningrat. Menurutnya, “Meruapakan bagian penting dari pembuktian
kemungkinan bahwa islam, seperti yang di kenal di jawa, datangnya melalui Iran
dan dari sana melalui India Barat dan emudian Sumatra”.
Dalam konteks Sosial-Budaya
masyarakat Jawa seperti itulah KH. Hasyim Asy’ari hidup dan melakukan dakwah
Islam. Jadi, wajar kalau ia memiliki corak pandanagn keagamaan tradisional.
Dengan pendekatan kompromi dan harmoni, KH. Hasyi Asy’ari dengan NU-nya
beruasaha menerapkan kaidah “memelihara nilai-nilai terdahuluyang sudah baik,
dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”. Menurut Nurcholis Madjid,
kaidah ini merupakan pegangan terbaik dalam berijtihad, yang ssering dipandang
sebagai semangat klasik yang diungkapkan kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kehadiran Islam pada prinsipnya menganut kaidah ini, yaitu nilai-nilai masa
lalu yang baik di pertahankan, dengan memperkenalkan syariat islam sebagai
nilai baru yang lebih baik.
KH. Hasyim Asy’ari secara
intelektual, sebagaimana disebutka Dhofier, sangat dipengaruhi oleh guru-gurunya.
Sebagaimana Syaikh Mahfudz Al-tarmisi, KH. Hasyim Asy’ari memiliki pandangan
yang tegas untuk memperahankan
ajaran-ajaran madzhab dan pentingnya praktik-praktik tarekat. KH.
Haasyim Asy’ari sebenarnya menerima juga ide-ide Muhammad Abduh untuk
menyemangatkan kembali api Islam. Namun ia menolak pandangan Abduh agar kaum
muslim melepaskan diri dari ketertarikannya dengan madzhab. Pemikiran KH.
Hasyim Asy’ari mengenai bermadzhab ini kiranya seirama dengan pemikiran
gurunya, Syaikh Ahad Khatib, dalam Qanun al qasasi Nahdlatul Ulama yang di
tulisnya, KH. Hasyim Asy’ari berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin memahami
maksud yang sebenarnya dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah tanpa mempelajari
pendapat-pendapat ulama besar yang tergabung dalam sistemmadzhab. Menafsirkan
Al-Qur’an dan Al-Sunnah tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama
madzhab hanya akan melahirkan pemutarbalikan islam dari ajran yang sebenarnya.
Demikianlah dalam beragama, KH.
Hasyim Asy’ari selalu berupaya melestarikan kondisi masa lalu, sambil
mencipatakn hal baruyang sesuai dengan kondisi social yang dihadapinya. Untuk
meletarikan pemikiran-pemikiran keagamaannya, KH. Hasyim Asy’ari menulisa
banyak karya. Diantaranya adalah adab al alim al muta’alim, Ziyadah
At-talikat, al tanbihat al wajibah, al Risalah al Jami’ah dan masih banyak
lagi.Dari beberapa karya di atas, karya yang disebutkan pertama merupakan
pemikirannya dalm bidang pendidikan.
C.
PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN HASYIM ASYARI
Beberapa bulan setelah kembali
ketanah jawa pada 1899 dari pengembaraannya di kota suci mekah, KH. Hasyim
Asyari mengajar di pesanteren milik kakeknya, pesantren Gedang. Pada 26 robiul
awal tahun yang sama, KH. Hasyim Aryari mendirikan pesantren tebuireng,
didaerah dekat kelurahan cukir, jombang. Pesanteren tebu ireng mulanya terdiri
dari 28 santri yang diambil dari pesantren gedang. Lambat laun pesanteren ini
berkembang dan memiliki banyak santri yang berasal dari pulau jawa dan
derah-daerah lain[2].
Selain bermaksud untukmengamalkan ilmunya pendirian ini merupakan tradisi
pesantren, yaitu bahwa seseorang yag telah menyelesaikan pelajarannya yang
terakhir dan ingin mendirikan pesantren, dengan izin gurunya membawa serta
santri-santri gurunya untuk mendirikan pesantren baru.
Apa itu pesantren…? Pesanteren merupakan
bentuk lembaga yang wajar dari peruses perkembangan system pendidikan nasional,
dari segi historis, ia dipandang segai system pendidikan tertua di Indonesia.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai watak utama, yaitu sebagai
lembaga pendidikan yang memiliki cirri-ciri has. Karena , pesantren meliki
teradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan lembaga-lembaga pendikan
lain, seperti madrasah atau sekolah. Salah satu cirri utama pesanteren sebagai
pembeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lain dalah pengajaaran kitab kuning,
kitab-kitab islam kelasik yang ditulis dalam bahasa arab, baik yang ditulis
oleh para tokoh muslim arab maupun pemikir muslim Indonesia.
Pada perkembangan yang paling awal
pesantren merupakan lembagapendidikan yang setara dengan tempat-tempat
pengajian yang telah merumuskan kurikulumnya, yakni pengajaran bahasa arab,
tapsir, hadis, tauhid, fikih, dan lainya. Bentuk ini kemudian berkembang dengan
pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), dan kemudian
disebut pesantren.
Lembaga pesanteren semakin
berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-koopratif ulama terhadap
kebijakan “politik etis” pemerintah colonial belanda pada akhir abad kese-19
dengan bijakan ini pemerintah colonial berusaha membalas jasa rakyat Indonesia
dengan memberikan pendidikan modern termasuk budaya barat. Sikap non koopratif
ulam di tunjukkan dengan mendirikan banyak pesanteren di daerah-daerah yang
jauh dari kota, untuk menghindari intervensi
cultural pamerintah colonial, disamping itu untuk member kesempatan kepada
rakyat belum memperoleh pendidikan.
Pada 1905, sejumlah ulama memperkenalkan system madrasah yakni
dengan penerapan system kelassikal sesuai dengan system pendidikan barat.
Disini ilmu pengetahuan umum mulai di perkenalkan. Sejak kemerdekaan
indonesiapesanteren telah menerapkan system pendidikan dengan system madrasah
dan kini terus berkembang sejalan dengan perkembangan social yang ada.
Modernnisasi pendidikan di Indonesia
yang dilakukn orde baru telah memiliki dampak terhadap trasformasi pesantren.
Pesanteren mau tidak mau harus memberikan responsinya terhadap modernnisasi ini
paling tidak, dengan mengikuti pemetaan yang dilakukan masyhuri abdillah ada 4
bentuk respon yang dilakukan pesanteren terhadap kebijakan- kebijakan modern
nisasi pendidikan pemerintah. Pertama, pesanteren yang menyelenggarakan
pendidikan pormal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya
memiliki sekolah keagamaan (MI,MTs,MA, PT agama Islam) maupaun yang memilki
sekolah umum (SD, SMP, SMU & PT Umum). Kedua, pasanteren yang
menyelenggarakan pendidikan keagamaaan dalam bentuk madrasah dan mengejarkan
ilmu-ilmu umum tapi tidak menerapkan kurikulum nasional. Ketiga, pesantren yang
hanya megejarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniah. Kempat, pesantern yang hanya sekedar
menjadi tempat pengajian yang jumlah nya sangat banyak.
Demikian sekilas
perkembangan pesantren dari masa ke masa. Pesantren Tebuireng yang didirikan
KH. Hasyim Asy’ari pada mulanya hanya ditujukan bagi para santri yang hampir
mencapai tahap sempurna. Untuk menghadapi santri-santri sepuh ini, metode yang
di gunakan adalah metode musyawarah. Dari pendidikan model ini , KH. Hasyim
Asy’ari berharap para santrinya dapat mendirikan pesantren-pesantren baru.
Beliau menjadi terkenal sewaktu santri-santri angkatan pertamanya berhasil
mendirikan pesantren. Diantara pesantren-pesantren y ang didirikan oleh alumni
pesantren Tebuireng adalah pesantren Lasem (Rembang), pesantren Darul ulum
(Peterongan, Jombang), Pesantren Mamba’ul Ma’arif (Denanyar, Jombang),
pesantren Lirboyo (Kediri), dan pesantren Asembagus (Situbondo).[3]
D.
KARYA KH. HASYIM ASY’ARI
Tidak banyak dari kalangan
tradisional yang menulis buku. Akan tetapi tidak demikian dengan K.H. Hasyim
Asy’ari tidak kurang dari sepuluh kitab disusunnya, antara lain :
1.
Adab al-alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj Ilah al-Muta’allim fi
ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al-Mua’allim fi Maqamat Ta’alimih.
2.
Ziyadat Ta’liqat, Radda Fiha Mandhumat Al-Syaikh ‘Abd Allah Bin
Yasin Al-Fasurani Allati Bihujuubiha ‘Ala Ahl Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’.
3.
Al-tanbihat al-wajibat liman yashna al-maulid al-munkarat
4.
Al-risalat al-jami’at, sharh fiha ahuwal al-mauta wa asyirath
al-sa’at ma’ bayan mafhum al-sunnah wa al-bid’ah
5.
Al-nur al-mubin fi mahabbah sayyid almursalin, bain fihi ma’na
al-mahabbah lirasul allah wa ma yata’allaq biha man ittaba’iha wa ihya’
al-sunnatih
6.
Hasyiyah al-fath al-rahman bi syarth risalat al-wali ruslan li
syaikh al-islam zakariya al-anshari
7.
Al-dur al-muntasirah fi masail al-tis’i asyrat, sharh fiha masalat
al-thariqah wa al-wilayah wa ma yata’allaq bihima min al-umur al-muhimmah li
ahl al-thariqah
8.
Al-tibyan fi al-nahy ‘an muqathitah al-ikhwan, bain fih ahammiyat
shillat al-rahim wa dhurar qat’iha
9.
Al-risalat al-tauhidiyah, wahiya risalah shaghirat fi bayan ‘aqidah
ahl sunnah wa al-jamaah
10.
Al-qalaid fi bayan ma yajib min al’aqaid[4]
E.
PEMIKIRAN K.H. HASYIM ASY’ARI TENTANG PENDIDIKAN
Ia memulai
tulisannya dengan sebuah pendahuluan yang menjadi pengantar bagi pembahasan
bagi selanjutnya. Kitab tersebut terdiri dari delapan bab, yaitu: keutamaan
ilmu dan ilmuan serta keutamaan belajar mengajar, etika yang harus diperhatikan
dalam belajar mengajar, etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap
pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama guru, etika yang harus
dipedomani seorang guru, etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran
dan hal-hal yang berkaitannya dengannya. Dari delapan bab tersebut dapat
dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu: signifikansi pendidikan, tugas dan
tanggung jawab seorang murid, dan tugas dan tanggung jawab seorang guru.
1.
Signifikansi pendidikan
Dalam
penjelasannya, ia tidak memberikan definisi secara khusus tentang pengertian
belajar. Dalam hal ini yang menjadi titik penenkanannya adalah pada pengertian
bahwa belajar itu merupakan ibadah untuk mengembangkan dan melestarikan
nilai-nilai islam, bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan.
2.
Tugas dan tanggung jawab murid
a.
Etika yang harus diperhatikan dalam belajar, dalam hal ini terdapat
sepuluh etika yang ditawarkan adalah memberikan hati dari berbagai gangguan
keimanan dan keduniawian, membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan
belajar, bersabar, dan qanaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan,
pandai mengatur waktu, menyederhanakan makan dan minum, bersikap hati-hati
(wara’), menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan dan
kebodohan, menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan, dan
meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.[5]
b.
Etika seorang murid terhadap guru, dalam membahas masalah ini, ia
menawarkan dua belas etika, yaitu : hendaknya selalu memperhatikan dan
mendengarkan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh guru, memilih guru yang
wara’(berhati-hati) di samping professional, mengukuti jejak-jejak guru, memuliakan
guru, memperhatikan apa yang menjadi hak guru, bersabar terhadap kekerasan
guru, berkunjung kepada guru pada tempatnya atau mintalah ijin terlebih dahulu
kalau keadaan memaksa harus tidak pada tempatnya, dan lain-lain.
c.
Etika murid terhadap pelajaran, murid hendaknya memperhatikan etika
sebagai berikut : memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain untuk
dipelajari, harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu farhu ‘ain, harus
menanggapi ikhtilaf para ulama’, tanamkan antusias dalam belajar, dan lain-lain.
3.
Tugas dan tanggung jawab guru
a.
Etika seorang guru, antara lain : senantiasa mendekatkan diri
kepada allah, senantiasa takut kepada allah senantiasa tenang kepada allah,
senantiasa berhati-hati kepada allah, tawadhu’, dan lain sebagainya.
b.
Etika guru ketika mengajar : mensucikan diri dari hadast dan
kotoran, berpakaian yang sopan dan rapi dan usahakan berbau wangi, berniatlah
beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik, sampaikan hal-hal
yang diajarkan oleh allah, biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan,
dan lain sebagainya.
c.
Etika guru bersama murid : berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
pengetahuan serta menghidupkan syariat islam, menghindari ketidak ikhlasan dan
mengajar keduniawian, mempergunakan metode yang mudah dipahami murid, dan
lain-lain,
4.
Etika terhadap buku, alat pelajaran dan hal-hal yang berkaitan
dengannya, menganjurkan dan mengusahakan agar memiliki buku pelajaran yang di
ajarkan, merelakan, mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran,
sebaliknya bagi peminjam harus menjaga barang pinjaman tersebut, memeriksa
terlebih dahulu bila membeli atau meminjamnya kalau-kalau ada kekurangan
lembarannya, bila menyalin buku pelajaran
syari’ah hendaknya bersuci dahulu dan mengawalinya dengan basmalah,
sedangkan bila yang disalinnya adalah ilmu retorika atau semacamnya, maka
mulailah dengan hamdalah (puji-pujian) dan shalawat Nabi.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
KH. Hasyim
Asy’ari adalah seorang tokoh agama yang sangat terkenal dengan kepintaran dan
kecerdasannya sehingga bliau di beri gelar “Hadratus Syaikh”. sejak masih kecil
bliau sangat gemar menuntut ilmu-ilmu
agama, Setelah dewasa bliau mendalami
ilmu agama di makkah. Sepulangnya dari makkah KH. Hasyim Asy’ari mendirikan
pesantren yang di beri nama Tebuireng. Pesantren ini memiliki kontribusi yang
besar bagi golongan tradisional islam di Indonesia, terutama karena ia menjadi
cikal bakal berdirinya organisasi islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul
Ulama (NU).
1.
Corak pemikiran keagamaan KH. Hasyim asy’ari
Corak pemikiran keagamaan KH. Hasyim Asy’ari adalah Islam
tradisional yaitu islam murni, islam yang berupaya melaksanakan islam sesuai
dengan warisan atau tradisi yang diterima dari generasi pendahulunya. Akan
tetapi permasalahan akan menjadi lain apabila yang dilaksanakan atau yang
dilestarikan itu merupakan tradisi yang berasal dari agama lain, yang islam
sendiri tidak menoleransi keberadaannya.
Dalam konteks social-budaya masyarakat jawa, seperti itulah KH.
Hasyim Asy’ari hidup dan melakukan dakwah islam. Jadi wajar kalau ia memiliki
corak pandangan keagamaan tradisional. Dengan pendekatan kompromi dan harmoni,
KH. Hasyim Asy’ari dengan NU-nya berusaha menerapkan kaidah “memelihara
nilai-nilai terdahulu yang sudah baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih
baik”. Menurut Nurcholis, kaidah ini merupakan pegangan baik dalam berijtihad,
yang sering dipandang sebagai semangat klasik yang diungkapkan kalangan
Ahlussunnah Wal Jamaah. Kehadiran islam pada prinsipnya menganut kaidah ini,
yaitu nilai-nilai masa lalu yang baik dipertahankan, dengan memperkealkan
syariat islam sebagai nilai baru yang ebih baik.
KH. Hasyim Asy’ari secara intelektual, ssebagaimana disebutkan
Dhofier, sangat dipengaruhi oleh guru-gurunya. Sebagaimana Syaikh Mahfudz
Al-tarmisi, KH. Hasyim Asy’ari memiliki pandangan yang tegas untuk
mempertahankan ajaran-ajaran madzhab dan pentingnya praktik-praktik tarekat.
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai bermadzhab ini seirama dengan pemikiran
gurunya, Syaikh Ahman Khatib. Dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama yang di
tulisnya, KH. Hasyim asy’ari berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin memahami
maksud yang sebenarnya dari al-Qur’an dan Al-sunnah tanpa mempelajari pendapat
dari ulama-ulama besaryag tergabng dalam system madzhab
2.
Pendidikan dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari
Sepulang dari makkah, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren
yangdiberi nama tebuireng. Pesantren tebuireng mulanya hanya ditujukan bagi
para santri yang hamper mencapai tahap
sempurna. Untuk menghadapisantri-santri
sepuh ini, metode yang digunakannya adalh metode musyawarah.Dari pendidikan
model ini, KH. Hasyim Asy’ari berharap para santrinya dapat mendirikan pesantren-pesantren baru. KH.
Hasyim Asy’ari menjadi terkenal sewaktu santri-santri angkatan pertamanya
berhasil mendirikan pesantren.
Pelajaran
dipesantren tebuireng pada ppermulaannya hanya mementingkan pelajaran agama dan
bahasa arab saja. Kondisi ini sama dengan keadaan pesantren dan surau-surau
lainnya di seluruh Indonesia.
KH. Hasyim Asy’ari melalui pesantren
tebuirengsebenarnya memiliki gagasan dan pemikiran pendidikan yang paling tidak tersimpuldalam dua gagasan,
yaitu metode musyawarah dan system madrasah dalam pesantren. Selain sorogan dan
bandongan, KH. Hasyim Asy’ari menerapkan metode musyawarah khusus pada
santrinya yang hamper mencapai kematangan. Metode musyawarah ini di kembangkan
menyerupai diskusiyang terjadi di antara santi-santrinya kelas tinggi. Metode
musyawarah berbeda dengan metode debat. Di dalam musyawarah, yang terjadi
adalah keterbukaan, toleransi serta sikap yang wajar untuk memberikan
penghargaan kepada pendapat lawan. Sesuatu yang dicari adalah kebenaran
dan mengusahakan sesuatu pemecahan yang
terbaik.
Selain
metode musyawarah, KH. Hasyim As’ari juga memelopori adanya madrasah dalam
pesantren. Menurut Mukti Ali, system pendidikan agama yang paling baik di
Indonesia adalah model madrasah dalam pesantren. Sebagaimana layaknya
pesantren, pesantren tebuireng tetap menyelenggarakan pengajian kitab
kuning.Akan tetapi, untuk memperluas wawasan santri, pesantren ini
menyelenggarakan madrasah dalam pesantren sebagaimana bagian dari pesantren
tebuireng itu sendiri[6].
DAFTAR
PUSTAKA
Dhofier,
Zamakhsyari. 1994. Tradisi pesantren: Studi tentang pandangan hidup Kyai. Cet.
VI, Jakarta: Balai pustaka
Ramayulis,
Prof. Dr.H. &Prof.Dr. Syamsul Nizar,MA.2009.filsafat pendidikan islam.jakarta:
kalam mulia
suhartono
,Dr. toto.2014. filsafat pendidikan islam. Jogjakarta: ar-ruzz media
Yunus,
Mahmud.1990. sejarah pendidikan islam. Cet. IV; Jakarta: hidakarya agung
Wikipedia. 2008. Website:
Http/www/google.co.id. Diakses 17 April 2016.
Pustaka al-Mubin. 2008. Seri
biografi tokoh NU; K.H.Hasyim Asyari. Website: Http/www/google.co.id. Diakses
17 April 2016.
[1] Zamakhsyri dhofier,tradisi pesantren: studi tentang pandangan
hidup kyai (Jakarta:LP3ES) hlm.92
[2] Mahmud yunus, sejarah pendidikan islam, hlm 184
[3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan
Hidup kyai, hlm, 95-96
[4]
Wikipedia.2008.http//google.co.id.
[5] Hasyim asy’ari, adab ta’lim wa muta’allim, h. 24-8
[6] Pustaka Al-Mubin.2008.http://google.co.id.
0 komentar:
Posting Komentar