Kamis, 12 Januari 2017

Makalah " Konsep Pemikiran K.H Hasyim Asy'ari"

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
KH. M. Hasyim Asy’ari adalah salah seorang pendiri lembaga peasantren di semping sebagai tokoh yang memiliki pemikiran di berbagai disiplin, diantaranya teologi, tasawuf, fiqh, dan kependidikan. Bahkan, masyarakat Indonesia agaknya lebih mendukung beliau sebagai tokoh awal yang membuat mata rantai trasionalisme di Indonesia, gara-gara dia meletakkan kerangka dasar pendirian Nahdlatul Ulama’, seuah organisasi sosial keagamaan yang saat ini terbesar di Indonesia.
KH. M. Hasyim Asy’ari telah menyediakan sebuah risalah kependidikan secara khusus,yakni kitab Adab al-alim wa al-muta’allim fi ma yahtaj ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limihi wa ma yatawaqaf ‘alaih al-muta’allim fi maqamat ta’limihi. Oleh karena itu, pada penulisan makalah ini akan terfokus pada konsep pendidikan KH. Hasyim Asy’ari pada buku tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka dalam penulisan makalah ini dapat kami rumuskan sebagai berikut:
1.      Siapa sosok K.H. Hasyim Asyari…?
2.      Seperti apa corak pemikiran keagamaan K.H. Hasyim Asyari…?
3.      Bagaiman pandangan K.H. Hasyim Asyari dalam dunia pendidikaN…?



BAB II
PEMBAHASAN


KONSEP PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI
             
A.    KH. HASYIM ASY’ARI DAN NAHDLATUL ULAMA
KH. Hasyim asy’ari lahir 14 februari 1871 M (24 Dzulkaidah 1287 H) di Desa gedang. Sekitar dua km dari sebelah timur jombang, jjawa timur. Muhammad Hasyim, demikian ia di beri nama oleh ayahnya, kyai asy’ari,, pendiri pesantren keras, 8 KM dari jombang. Kakek Hasyim Asy’ari bernama kyai Usman, pendiri pesantren Gedang di jombang yang didirikan pada 1850-an. Sementara buyutnya, kyai Sihah adalah pendiri pesantren Tembak Beras di jombang. Dilihat dari silsilah ini dapat di ketahui bahwa Hasyim Asy’ari berasal dari keluarga dan keturunan pesantren yang terkenal. Di akui Zamakhsyari Dhofier, secara antropologi social, para kyai jawa terikat dalam ikatan kekerabatan yang intensitasnya sangat kuat. Oleh karena itu, tak mengherankan bila kepemimpinan pesantren menjadi hak terbatas, yang di peruntukkan hanya bagi keluarga-keluarga kyai.[1]
Sejak masih sangat muda Hasyim Asy’ari yang di beri gelar “Hadratus syaikh” oleh para kyai di kenal sangat pandai, penuh ketekunan, dan rajin belajar. Pada usia enam tahun ia mulai belajar agama di bawah bimbingan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, di Desa Keras, tempat ayhnya pindah dari Demak pada  1876. Bidang-bidang yang di pelajari dari ayahnya antara lain tauhid, hukum islam, bahasa arab, tafsir dan hadits. Dia sedemikian cerdas sehingga pada usia ke 13 tahun sudah dapat membantu ayahnyamrngajar para santri yang jauh lebih tua daripada dirinya. Pendidikan ke berbagai pesantren di tempuh Hasyim Asy’ari mulai usia 15 tahun. Dia berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain di jawa timur dan Madura.
Pada tahun 1891, ia belajar di pesantren terkenal milik Kyai Ya’kub, siwalan panji sidoarjo, Jawa Timur. Baru setahun di pesantren ini, ia menikah dengan putrid gurunya, Khadijah. Pernikahan ini merupakan penghargaan dan kesan seorang guru terhadap muridnya. Kedua suami-istri ini kemudian pada tahun 1892 di berangkatkan oleh Kyai Ya’kub ke makkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar. Tujuh bulan disana istri Hasyim Asy’ari meninggal dan iapun kembali ke Indonesia. Tiga bulam kemudian ia berangkat lagi ke arab Saudi untuk belajar. Dari berbagai perjalanannya menuntut ilmu dari pesanttren ke pesantren, baik di Indonesia maupun luar negeri, kiranya pengetahuan Hasyi Asy’ari semakin luas dan bertambah. Oleh karena itu, Mahmud Yunus, sepulang dari Makkah, dada hasyim Asy’ari di penuhi ilmu agama sehingga ia mendapat gelar Kyai.
Pada saat Hasyi Asy’ari di makkah, Muhammad Abduh sedang gencar-gencarnya melakukan gerakan pembaruan pemikiran islam. Menurut Deliar Noer, ide-ide reformasi islam yang dilakukan Muhammad Abduh dari Mesir telah menarik perhatianpelajar-pelajar Indonesia yang sedang belajar di makkah. Murid-murid syaikh Ahmad Khatib , seperti KH. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari kiranya juga tertarik dengan pemikiran Muhammad abduh. Syaihk Ahmad Khatib mempelajari tulisan Muhammad Abduh yang di muat dalam majalah Al Urwah al Wusqa dan tafsir al Mannar. Syaikh Ahmad Khatib sendiri merupakan seorang tokoh yang controversial. Disatu sisi ia menolak pemikiran Muhammad abduh agar umat islam melepaskan diri dari anutan-anutan mazhab yang empat, tapi di lain pihak iapun menyetujui adanya gerakan Muhammad Abduh yang bermaksud melenyapkan segala bentuk praktik tarekat.
Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, jombang, sepulangnya dari makkah, yang akan di jelaskan lebih lanjut pada bagian pembahasan mengenai pemikirannya tentang pendidikan. Pesantren ini memiliki kontribusi yang besar bagi golongan tradisonalis islam di Indonesia, terutama karena ia menjadi cikal bakal berdirinya organisasi islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Perlu di jelaskan bahwa arus pemabaruan masuk ke indonesia di antaranya melalui kontak langsung para jamaah haji yang belajar di makkah  dengan tokoh-tokoh pembaru seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Jamaluddin al Afgani, dan Muhammad Abduh, maupun melalui hubungan tidak langsung yang terjlin lewat tulisan-tulisan para pembaru yang di pelajari para pelajar Indonesia.
Kehadiran kelompok baru di Indonesia membawa situasi tersendiri. Ajaran-ajaran agama yang tadinya sudah mengakar tentunya tidak begitu saja di hilangkan, sebagaimana di harapkan oleh kelompok pembaru. Dari sini tak jarang terjadi konflik dan pembenturan di antara mereka. Ketika syaikh Ahmad khatib membiarkan dan tidak melarang murid-muridnya membaca dan berkenalan dengan pemikiran-pemikiran para pembaru, yang terjadi di Indonesia adalah dua respons yang berbeda. Kelompok modernis semisal Muhammadiyah senantiasa bertekad membersihkan tradisi dan budaya jawa yang mengandung Bid’ah, khurafat, dan prilaku-prilaku keagamaan lainnya yang di pandang menyimpang dari ajaran islam, sementara kelompok tradisionalis berupaya mengharmonikan tradisi dan budaya jawa melalui “polesan-polesan” bernuansa islami. Kelompok modernis lebih mengutamakan pendekatan konflik dan radikal, sedangkan kelompok tradisionalis lebih mengutamakan pendekatan kompromi dan harmoni. Dalam bidang keagamaan, kelompok modernis dengsn berfikir radikal dan rasionalnya mendobrak kejumudan dengan mengemukakan pernyataan bahwa pintu ijtihad masih terbuka, sementara kaum tradisionalis dengan berfikir ortodoksnya mengemukakan bahwa pintu ijtihad sebenarnya terbuka, hanya saja seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan yang di tentukan.
Seorang mujtahid yang melakukan ijtihad ra’yi (usaha pribadi untuk dapat mengambil suatu keputusan hukum agama), menurut kelompok tradisionalis, harus melakukannya dengan tiga cara. Pertama, meneliti terlebih dahulu pendapat-pendapat ulama otoritatif. Kedua, mengadakan diskusi secukupnya dengan para ulama yang pandai. Ketiga, mengadakan diskusi dan Tanya jawab tentang masalah-masalah terkait antara sesame ulama sevcara terbuka untuk umum. Dengan demikian, bagi kaum tradisionalis, proses ijtihad tidak dapt dilakukan dengan sembarangan dan tidak semua orang dapat melakukannya. Hanya ulama-ulama tertentu yang memiliki dan memenuhi criteria mujtahid dapat melakukan proses ijtihad.
Pergumulan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis di saat-saat awal memasuku islam Indonesia memasuki arus pembaruan terasa begitu kental. Banyak kritik yang di kemukakan kalangan islam modernis terhadap islam tradisional, misalnya soal mengunjungi kubur, do’a lewat perantara, dan masalah tarekat. Perilaku-perilaku ini bagi kalangan modernis di pandang sebagai hal yang bertentangan dengan islam. Sementara kalangan tradisionalis sendiri tidak menerima kritik-kritik tersebut, karena menurutnya perilaku-perilaku keagamaan seperti itu masih memiliki landasan-landasan normative yang tidak bertentangan dengan ajaran islam yang sebenarnya.
Untuk menghindari dan meredam konflik atau perbenturan antara kaum muda dan kaum tua, syarikat islam selaku partai nasional pada waktu itu bermaksud memoderasi keduanya, dengan mengadakan forum dialog. Untuk merealisasikannya, pada 1921 di adakan kongres al islam pertama di Cirebon. Kongres semacam ini telah berjalan beberapa kali. Namun, karena persoalan yang di perbincangkan melulu masalah khilafiyah dan furu’, kongres-kongres ini, sebagaimana yang di sebutkan oleh Deliar Noer, kurang berhasil menyelesaikan konflik.
Hubungan antara dua kelompok itu kian memburuk di tahun 1924 ketika umat islam Indonesia berusaha mencari kesatuan pandangan mengenai dua isu internasional, yaitu masalah masa depan lembaga kekhalifahan menyusul penghapusan lembaga ini oleh parlemen turki, dan masalah di rebutnya makkah oleh pemimpin wahabi, abdul Aziz bin Sa’ud. Dua kongres islam Dunia (Muktamar Alam Islami) di jadwalkan akan di gelar untuk membahas kedua isu tersebut, kongres pertama di kairo pada 1925 dan kongres kedua di makkah setahun kemudian. Pada rancangan kongres kedualah terjadi perpecahan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis. Kalangan islam tradisionalis khawatir raj Ibnu Sa’ud yang beraliran wahabi dan bermazhab Hanbali akan melakukan restriksi terhadap pendidikan ritual dan dan beraliran Mazhab Syafi’I di hijaz, sementara kalngan islam modernis justru sangat senag dengan tampilnyaIbnu Sa’ud di panggung kekuasaan.
Untuk menghadapi kekhawatiran tersebut, pada pertengahan januari 1926 KH. wahab Hasbullah, putra pesantren tambakberas jombang yyang menjadi murid Hasyim Asy’ari, dengan restu gurunya, mengundang para ulama tradisional terkemuka untuk mendukung pendirian panitia yang di sebut komite Hijaz. Komite ini bertugas mengurus delegasinya ke makkah untuk mewakili kepentingan-kepentingan tradisional dalam Muktamar Alam islami kedua. Komite pada awalnya memutuskan mengutus KH. Bisri dan KH. Asnawi untuk pergi ke tanah Hijaz, tapi kemudian gagal dilakukan karena keduanya ketinggalan kapal. Sebagai gantinya, komite hijaz mengawatkan melalui telegram empat pesan untuk raja Ibnu Sa’ud, yaitu:
1.      Meminta kepada raja ibnu Sa’ud untuk tetap memberlakukan kebebasan bermazhab empat
2.      Memohon tetap di resmikannya tempat-tempat bersejarah yang telah di wakapkan untuk masjid, seperti tempat kelahran siti Fatimah dan bangunan Khaizyran
3.      Memohon agar disebarluaskan keseluruh dunia setiap tahun sebelum jatuhnya musim haji mengenai hal ihwal haji, seperti ongkos haji dan syaikh haji
4.      Memohon hendaknya semua hukum yang berlaku di hijaz di tulis sebagai UU  supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum tertulis
Menurut Deliar Noer, tidak ada jawaban terhadap permintaan ini.  Untuk itu, kalangan tradisionalis menganggap “gagal” Muktamar Alam Islami ke 2 di Makkah. Dari keempat harapan tersebut, hanya massalah kebebasan menjalankan praktik keagamaan menurut madzhab empat yang mendapat jawaban dari penguasa Hijaz, selebihnya tidak di jawab.
Pada perkembangan berikutnya, beberapa ulama berkumpul di rumah KH. Wahab Hasbullah di Surabaya pada 31 januari 1926 untuk mengesahkan bentuk komite tersebut. Setelah komite di sahkan pembentukannya, mereka sepakat untuk mendirikan organisasi permanen yang mewakili kalangan ulama tradisional. Organisasi baru ini di beri nama Nahdlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama. Menurut Steenbrink, KH. Wahab Hasbullah adalah seorang organisator yang kuat yang menjadi motor dan pendorong berdirinya Nu, tetapi KH. Hasyim Asy’arilah yang menjadikan NU cepat popular, karena ia adalah tokoh yang penuh charisma.
Penilaian yang sama juga dilakukan Greg Fealy. Menurutnya, KH. Wahab Hasbullah adalah penggerak utama dalam pembentukan NU. Inisiatifnya untuk metode organisasi bergaya modernis kepada masyarakat bertujuan untuk membela kedudukan ulama tradisionalis dan pesantrennya. Namun, inisiatif ini menjadi terwujud berkat restu gurunya, KH. Hasyim Asy’ari. Tanpa dukungan “hadratus syaikh”, kecil kemungkinan KH. Wahab Hasbullah meraih sukses. KH. Wahab Hasbullah belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk menarik ulama senior dan para pengikutnya masuk ke dalam organisasi NU. Ia akan menemui banyak kesulitanjika meneruskan inisiatifnya itu tanpa restu dari gurunya. Demikianlah pertemuan pendirian NU pada januari 1926 berhasil berkat restu yang di berikan KH. Hasyim Asy’ari. Keduanya bekerja sama secara mutualistik. KH. Wahab Hasbullah menawarkan konsep dan kemampuan organisatoris, smentara KH. Hasyim Asy’ari memberikan legimitasi kegamaan.
Pemberian restu oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam pendirian NU tidak terlepas dari konteks pertentangan di kalangan pembaruan pemikiran islam di Indonesia masa awal. Kongres al Islam ke 4 dak ke 5 (masing-masing di Yogjakarta dan Bandung) yang di dominasi kalngan modernis telah membuat saran ulama tradsisional agar praktik-praktik keagamaan tradisional tetap di pelihara, menjadi terabaikan. Pengabaian ini telah membuat KH. Hasyim Asy’ari melancarkan kritik-kritik yang keras kepada kelompok modernis, yang kemudian berujung pada pendirian NU. Pengaruh KH. Hasyim Asy’ari yang bsar dikalangan ulama menyebabakan mereka dan para pengikutnya dengan segera mendukung NU. Demikianlah sejak pembentukan NU menjadi penghadang bagi penyebaran pemikiran-pemikiran islam modern ke desa-desa di jawa. Hal ini menjadi perwujudan bagi sebuah kesepakatan Status quo di akhir 1920-an bahwa kaum modern memusatkan misinya di lingkungan perkotaan, sedangkan NU cukup puas menarik pengikutnya terutama mereka yang berasal dari pedesaan.
Kedudukan KH. Hasyim Asy’ari dalam pengurus NU adalah Rais Akbar, suatu jabatan yang tidak dan belum pernah di apngku oleh tokoh NU lainnya, karena ketua umum NU setelah masa KH. Hasyim Asy’ari di panggil dengan sebutan Rais ‘Am. Hal ini karena ulama yang menggantikannya secara hierarki social dan keilmuan berada pada derajat di bawahnya. Selain itu sebutan jabatanRais Akbar NU bagi KH. Hasyim Asy’ari juga menandakan bahwa dirinya merupakan “soko guru” bagi ulama tradisional NU.
Sifat keberagaman NU meruapakan upaya peneguhan kembali sebuah tradisi keagaamaan dan social yang sebenarnya telah melembaga dalam jaringan struktur dan pola kepemimpinan pesantren yang mapan. Lemabag-lemabaga pesantren, kyai, santri, dan jamaah mereka yang tersebar sebagai komunitas social budaya masyarakat isalam, menjadikan NU tanpa kesulitanmenyebarkan sayap organisasinya. Apalagi pengaruh KH. Hasyim Asy’ari di lingkungan pesantren cukup kuat sehingga pertama kali di perkenalkan, begitu mudah NU menarik dukungan dan simpati dari para kyai pesantren. Cabang-cabang NU  di daerah umumnya di bentuk para kyai pesantren atau para santrinya. Dengan perkembangan ini NU pada tahun-tahun pertama mendapat dukungan yang luas. Muktamar NU ke 2 1927 di hadiri 146 kyai dari 36 cabang, dan muktamr ke 4 di semarang di hadiri 500 kyai dari 62 cabang, dan muktamar ke 13 di banten tahun 1938 di hadiri oleh 99 cabang. Demikian NU mengalami perkembangan yang pesat dari tahun ke tahun, dan dari muktamar ke muktamar. Semuanya berkat dukungan kyai dan para simpatisannya. Melihat kedekatan NU dengan pesantren, KH. Idham Khalid yang telah 30 tahum memimpin NU (1952-1984) menyatakan “Pesantren merupakan miniature NU dalam skala kecil, dan NU merupakan pesantren dalam skala besar”. Dari prnyataan inilah orang sering mengidentikkan NU dengan pesantren, atau pesnteren dengan NU, meskipun pemikiran ini untuk konteks dewasa ini tidak  selamanya benar. Banyaknya esantren yang berafiliasi pada NU di sebabkan asal-usul kelahiran organisasi keagamaan tertentu, seperti pondok  modern Gontor, ponorogo dan pesantren pabelan, magelang, meskipun sebagian besar santri dari kedua pesantren tersebut berasal dari keluarga NU. Di akui Sudirman Tebba, pada awal desawarsa 1950-an, pesantren di kategorikan sebagai kekuatan social (social force) dan NU adalah lembaga politik (political institusion). Keduanya tidak dapat di pisahkan secara jelas. Kekaburan ini di mungkinkan pada masa itu oleh karena kuatnya peranan politik pesantren yang di lembagakan melalui organisasi NU.
B.     CORAK PEMIKIRAN KEAGAMAAN KH. HASYIM ASY’ARI
Mengapa KH. Hasyim Asy’ari menjadi pemimpin dan ulama yang berhaluan islam tradisional? Apa itu tardisionalisme? Bagaimana corak pemikiran keagamaan KH. Hasyim Asy’ari? Tradisionalisme di ambil dari kata “tradisional” dan “isme” yang secara sederrhana mengandung arti sebuah paham yang mementingkan pemeliharaan unsur tradisonal. Tradisional meupakan derivasi dari akar kata tradisi. Menurut Steenbrink, kata tardisi bersifat elastic, dapat di artikan secara berbeda-beda dan penuh perdebatan.
Dalam konteks studi islam, tradisional memiliki pengertian yang berlawanan denagn modernism. Menurut Sayyed Hossein Nasr, islam tradisional di pahami sebagai faset islam dengan beberapa karakteristik:
1.      Islam tradisional menerima al-qur’an sebagai kalam tuhan, baik kandungan maupun bentuknya.
2.      Islam tradisional menerima koleksi ortodoks, yaitu shihah yang enam dari kalangan sunni dan empat buku dari kalangan syi’ah.
3.      Islam tradisional mempertahankan syari’ah sebagai hukum ilahi selama berabad-abad, di samping menerima kemungkinan pandangan-pandangan segar lainnya melalui qiyas, ijma’ dan istihsan.
4.      Islam tradisional memendang sufisme sebagai dimensi batin atau jantung wahyu islam.
5.      Islam tradisional mempertahankan islamisitas seni islam sebagai hal yang berkaitan dengan Spiritual islam.
6.      Islam tradisional mnerima system khilafah dan pranata-pranata lain semisal kesultanan, yang berkembang dalam sinaran syariah sesuai kebutuhan umat.
Dengan beberapa karasteristik tersebut, islam tradisonal sebenarnya adalah islam murni, yaitu islam yang berupaya melaksanakan islam sesuai warisan atau tradisi yang di terima dari generasi pendahulunya. Akan tetapi, permasalahan akan menjadi lain apabila yang di laksanakan atau yang di lestarikan itu merupakan tradisi yang berasal dari agama lain, yang islam sendiri tidak menoleransi kebenarannya.
Dalam konteks keindonesiaan, Menurut fachri ali dan Bahtiar Effendi, tradisionalisme islam lahir karena adanya kelompok masyarakat yang berupaya mepertahankan tradisi dalam kehidupan beragama mereka. Mereka adalah masyarakat petani yang tinggal di pedesaan. Islam berkembang dikalangan mereka lebih menekankan aspek loyalitas terhadap pemuka agama daripada kepada substansi ajaran islam yang bersifat rasionalistis. Dengan ini, yang berkembang adalah sikap taqlid dan taat kepada para ulama. Sementara itu, ajaran yang di sampaikan para ulama lebih banyak berpusat kepada bidang ritual, sesuai dengan tradisi masyarakat indonesiapada waktu itu. Mengingat adanya kesesuaian antara sufisme islam dan msitik hindu, yang telah di kenal masyarakat Indonesia, terutama masyarakat jawa, pemikiran tardisionalisme islam kiranya berhasil dapat di galang oleh penduduk pedesaan. Kelompok santri tradisional ini oleh Clifford Geertz di sebut sebagai kelompok kolot (tradisional).
Masyarakat jawa secara antropologis adalah orang-orang yang dalam kesehariannya berkomunikasi menggunakan bahasa jawa denagn beebagai ragam dialeknya secara turun temurun. Sementara geografis, masyarakat jaw adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah jawa tengah dan jawa timur, serta mereka yang berasal dari dua daerah tersebut. Daerah ini meliputi wilayah Banumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, maalang, dan Kediri, yang biasa di sebut dengan tanah jawa. Sementara masyarakat jawa yang tinggal di luar wilayah-wilayah ini di namakan pesisir dan Ujung jawa. Surakarta dan Yogyakarta yang meruapakan bekas kerajaan mataram adalah pusat kebudayaan masyarakat jawa.
Masuknya Islam ke tanah Jawa secara historis tidak dapat dipisahkan dari proses masuknya Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Ada tiga teori yangmuncul ke permukaan mengenai proses masuknya Islam ke Indonesia. Pertama, teori arab yang menyebutkan bahwa islam dating ke nusantara langsung dari Arab, atau tepatnya Hadramaut. Teori ni di kemukakan Crawfurd, Keyzer,  Niemann, DE Hollander, Veth, dan Hamka. “orang Arab” pelopor pertama dari Islam, telah datng ke negeri-negeri melayu pada abad ke 7 Masehi, artinya ababd pertama dari islam (tahun Hijrah di mulai pada tahun 622 Masehi dan Nabi Muhammad wafat pada tahun 632 Masehi), demikian tulis Hamka. Kedua, inidia yang manyatakan bahwa islam masuk ke nusantara dari india pada abad ke 13 Masehi. Teori ini untuk kali pertama di kemikakan oleh Pijnapel tahun 1872, yang kemudian di ikuti oleh Snouck Hurgronye dam Marrison. Ketiag teori iran mengatakan bahwa islam dating ke Nusantara dari Iran (Persia) pada abad ke 13 M. TEori ini di kemukakan oleh Hossein Djajaningrat. Menurutnya, “Meruapakan bagian penting dari pembuktian kemungkinan bahwa islam, seperti yang di kenal di jawa, datangnya melalui Iran dan dari sana melalui India Barat dan emudian Sumatra”.
Dalam konteks Sosial-Budaya masyarakat Jawa seperti itulah KH. Hasyim Asy’ari hidup dan melakukan dakwah Islam. Jadi, wajar kalau ia memiliki corak pandanagn keagamaan tradisional. Dengan pendekatan kompromi dan harmoni, KH. Hasyi Asy’ari dengan NU-nya beruasaha menerapkan kaidah “memelihara nilai-nilai terdahuluyang sudah baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”. Menurut Nurcholis Madjid, kaidah ini merupakan pegangan terbaik dalam berijtihad, yang ssering dipandang sebagai semangat klasik yang diungkapkan kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah. Kehadiran Islam pada prinsipnya menganut kaidah ini, yaitu nilai-nilai masa lalu yang baik di pertahankan, dengan memperkenalkan syariat islam sebagai nilai baru yang lebih baik.
KH. Hasyim Asy’ari secara intelektual, sebagaimana disebutka Dhofier, sangat dipengaruhi oleh guru-gurunya. Sebagaimana Syaikh Mahfudz Al-tarmisi, KH. Hasyim Asy’ari memiliki pandangan yang tegas untuk memperahankan  ajaran-ajaran madzhab dan pentingnya praktik-praktik tarekat. KH. Haasyim Asy’ari sebenarnya menerima juga ide-ide Muhammad Abduh untuk menyemangatkan kembali api Islam. Namun ia menolak pandangan Abduh agar kaum muslim melepaskan diri dari ketertarikannya dengan madzhab. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai bermadzhab ini kiranya seirama dengan pemikiran gurunya, Syaikh Ahad Khatib, dalam Qanun al qasasi Nahdlatul Ulama yang di tulisnya, KH. Hasyim Asy’ari berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin memahami maksud yang sebenarnya dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah tanpa mempelajari pendapat-pendapat ulama besar yang tergabung dalam sistemmadzhab. Menafsirkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama madzhab hanya akan melahirkan pemutarbalikan islam dari ajran yang sebenarnya.
Demikianlah dalam beragama, KH. Hasyim Asy’ari selalu berupaya melestarikan kondisi masa lalu, sambil mencipatakn hal baruyang sesuai dengan kondisi social yang dihadapinya. Untuk meletarikan pemikiran-pemikiran keagamaannya, KH. Hasyim Asy’ari menulisa banyak karya. Diantaranya adalah adab al alim al muta’alim, Ziyadah At-talikat, al tanbihat al wajibah, al Risalah al Jami’ah dan masih banyak lagi.Dari beberapa karya di atas, karya yang disebutkan pertama merupakan pemikirannya dalm bidang pendidikan.
C.    PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN HASYIM ASYARI
Beberapa bulan setelah kembali ketanah jawa pada 1899 dari pengembaraannya di kota suci mekah, KH. Hasyim Asyari mengajar di pesanteren milik kakeknya, pesantren Gedang. Pada 26 robiul awal tahun yang sama, KH. Hasyim Aryari mendirikan pesantren tebuireng, didaerah dekat kelurahan cukir, jombang. Pesanteren tebu ireng mulanya terdiri dari 28 santri yang diambil dari pesantren gedang. Lambat laun pesanteren ini berkembang dan memiliki banyak santri yang berasal dari pulau jawa dan derah-daerah lain[2]. Selain bermaksud untukmengamalkan ilmunya pendirian ini merupakan tradisi pesantren, yaitu bahwa seseorang yag telah menyelesaikan pelajarannya yang terakhir dan ingin mendirikan pesantren, dengan izin gurunya membawa serta santri-santri gurunya untuk mendirikan pesantren baru.
Apa itu pesantren…? Pesanteren merupakan bentuk lembaga yang wajar dari peruses perkembangan system pendidikan nasional, dari segi historis, ia dipandang segai system pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai watak utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan yang memiliki cirri-ciri has. Karena , pesantren meliki teradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan lembaga-lembaga pendikan lain, seperti madrasah atau sekolah. Salah satu cirri utama pesanteren sebagai pembeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lain dalah pengajaaran kitab kuning, kitab-kitab islam kelasik yang ditulis dalam bahasa arab, baik yang ditulis oleh para tokoh muslim arab maupun pemikir muslim Indonesia.
Pada perkembangan yang paling awal pesantren merupakan lembagapendidikan yang setara dengan tempat-tempat pengajian yang telah merumuskan kurikulumnya, yakni pengajaran bahasa arab, tapsir, hadis, tauhid, fikih, dan lainya. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), dan kemudian disebut pesantren.
Lembaga pesanteren semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-koopratif ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah colonial belanda pada akhir abad kese-19 dengan bijakan ini pemerintah colonial berusaha membalas jasa rakyat Indonesia dengan memberikan pendidikan modern termasuk budaya barat. Sikap non koopratif ulam di tunjukkan dengan mendirikan banyak pesanteren di daerah-daerah yang jauh dari   kota, untuk menghindari intervensi cultural pamerintah colonial, disamping itu untuk member kesempatan kepada rakyat belum memperoleh pendidikan.
Pada 1905, sejumlah  ulama memperkenalkan system madrasah yakni dengan penerapan system kelassikal sesuai dengan system pendidikan barat. Disini ilmu pengetahuan umum mulai di perkenalkan. Sejak kemerdekaan indonesiapesanteren telah menerapkan system pendidikan dengan system madrasah dan kini terus berkembang sejalan dengan perkembangan social yang ada.
Modernnisasi pendidikan di Indonesia yang dilakukn orde baru telah memiliki dampak terhadap trasformasi pesantren. Pesanteren mau tidak mau harus memberikan responsinya terhadap modernnisasi ini paling tidak, dengan mengikuti pemetaan yang dilakukan masyhuri abdillah ada 4 bentuk respon yang dilakukan pesanteren terhadap kebijakan- kebijakan modern nisasi pendidikan pemerintah. Pertama, pesanteren yang menyelenggarakan pendidikan pormal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI,MTs,MA, PT agama Islam) maupaun yang memilki sekolah umum (SD, SMP, SMU & PT Umum). Kedua, pasanteren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaaan dalam bentuk madrasah dan mengejarkan ilmu-ilmu umum tapi tidak menerapkan kurikulum nasional. Ketiga, pesantren yang hanya megejarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah  diniah. Kempat, pesantern yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian yang jumlah nya sangat banyak.
            Demikian sekilas perkembangan pesantren dari masa ke masa. Pesantren Tebuireng yang didirikan KH. Hasyim Asy’ari pada mulanya hanya ditujukan bagi para santri yang hampir mencapai tahap sempurna. Untuk menghadapi santri-santri sepuh ini, metode yang di gunakan adalah metode musyawarah. Dari pendidikan model ini , KH. Hasyim Asy’ari berharap para santrinya dapat mendirikan pesantren-pesantren baru. Beliau menjadi terkenal sewaktu santri-santri angkatan pertamanya berhasil mendirikan pesantren. Diantara pesantren-pesantren y ang didirikan oleh alumni pesantren Tebuireng adalah pesantren Lasem (Rembang), pesantren Darul ulum (Peterongan, Jombang), Pesantren Mamba’ul Ma’arif (Denanyar, Jombang), pesantren Lirboyo (Kediri), dan pesantren Asembagus (Situbondo).[3]
D.    KARYA KH. HASYIM ASY’ARI
Tidak banyak dari kalangan tradisional yang menulis buku. Akan tetapi tidak demikian dengan K.H. Hasyim Asy’ari tidak kurang dari sepuluh kitab disusunnya, antara lain :
1.      Adab al-alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj Ilah al-Muta’allim fi ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al-Mua’allim fi Maqamat Ta’alimih.
2.      Ziyadat Ta’liqat, Radda Fiha Mandhumat Al-Syaikh ‘Abd Allah Bin Yasin Al-Fasurani Allati Bihujuubiha ‘Ala Ahl Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’.
3.      Al-tanbihat al-wajibat liman yashna al-maulid al-munkarat
4.      Al-risalat al-jami’at, sharh fiha ahuwal al-mauta wa asyirath al-sa’at ma’ bayan mafhum al-sunnah wa al-bid’ah
5.      Al-nur al-mubin fi mahabbah sayyid almursalin, bain fihi ma’na al-mahabbah lirasul allah wa ma yata’allaq biha man ittaba’iha wa ihya’ al-sunnatih
6.      Hasyiyah al-fath al-rahman bi syarth risalat al-wali ruslan li syaikh al-islam zakariya al-anshari
7.      Al-dur al-muntasirah fi masail al-tis’i asyrat, sharh fiha masalat al-thariqah wa al-wilayah wa ma yata’allaq bihima min al-umur al-muhimmah li ahl al-thariqah
8.      Al-tibyan fi al-nahy ‘an muqathitah al-ikhwan, bain fih ahammiyat shillat al-rahim wa dhurar qat’iha
9.      Al-risalat al-tauhidiyah, wahiya risalah shaghirat fi bayan ‘aqidah ahl sunnah wa al-jamaah
10.  Al-qalaid fi bayan ma yajib min al’aqaid[4]

E.     PEMIKIRAN K.H. HASYIM ASY’ARI TENTANG PENDIDIKAN
Ia memulai tulisannya dengan sebuah pendahuluan yang menjadi pengantar bagi pembahasan bagi selanjutnya. Kitab tersebut terdiri dari delapan bab, yaitu: keutamaan ilmu dan ilmuan serta keutamaan belajar mengajar, etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar, etika seorang murid terhadap guru, etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani bersama guru, etika yang harus dipedomani seorang guru, etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitannya dengannya. Dari delapan bab tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu: signifikansi pendidikan, tugas dan tanggung jawab seorang murid, dan tugas dan tanggung jawab seorang guru.
1.      Signifikansi pendidikan
Dalam penjelasannya, ia tidak memberikan definisi secara khusus tentang pengertian belajar. Dalam hal ini yang menjadi titik penenkanannya adalah pada pengertian bahwa belajar itu merupakan ibadah untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai islam, bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan.
2.      Tugas dan tanggung jawab murid
a.       Etika yang harus diperhatikan dalam belajar, dalam hal ini terdapat sepuluh etika yang ditawarkan adalah memberikan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian, membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar, dan qanaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan, pandai mengatur waktu, menyederhanakan makan dan minum, bersikap hati-hati (wara’), menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan, menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan, dan meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.[5]
b.      Etika seorang murid terhadap guru, dalam membahas masalah ini, ia menawarkan dua belas etika, yaitu : hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh guru, memilih guru yang wara’(berhati-hati) di samping professional, mengukuti jejak-jejak guru, memuliakan guru, memperhatikan apa yang menjadi hak guru, bersabar terhadap kekerasan guru, berkunjung kepada guru pada tempatnya atau mintalah ijin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa harus tidak pada tempatnya, dan lain-lain.
c.       Etika murid terhadap pelajaran, murid hendaknya memperhatikan etika sebagai berikut : memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain untuk dipelajari, harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu farhu ‘ain, harus menanggapi ikhtilaf para ulama’, tanamkan antusias dalam belajar, dan lain-lain.
3.      Tugas dan tanggung jawab guru
a.       Etika seorang guru, antara lain : senantiasa mendekatkan diri kepada allah, senantiasa takut kepada allah senantiasa tenang kepada allah, senantiasa berhati-hati kepada allah, tawadhu’, dan lain sebagainya.
b.      Etika guru ketika mengajar : mensucikan diri dari hadast dan kotoran, berpakaian yang sopan dan rapi dan usahakan berbau wangi, berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu kepada anak didik, sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh allah, biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.
c.       Etika guru bersama murid : berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat islam, menghindari ketidak ikhlasan dan mengajar keduniawian, mempergunakan metode yang mudah dipahami murid, dan lain-lain,
4.      Etika terhadap buku, alat pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya, menganjurkan dan mengusahakan agar memiliki buku pelajaran yang di ajarkan, merelakan, mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi peminjam harus menjaga barang pinjaman tersebut, memeriksa terlebih dahulu bila membeli atau meminjamnya kalau-kalau ada kekurangan lembarannya, bila menyalin buku pelajaran  syari’ah hendaknya bersuci dahulu dan mengawalinya dengan basmalah, sedangkan bila yang disalinnya adalah ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah (puji-pujian) dan shalawat Nabi.




BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang tokoh agama yang sangat terkenal dengan kepintaran dan kecerdasannya sehingga bliau di beri gelar “Hadratus Syaikh”. sejak masih kecil bliau  sangat gemar menuntut ilmu-ilmu agama,  Setelah dewasa bliau mendalami ilmu agama di makkah. Sepulangnya dari makkah KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren yang di beri nama Tebuireng. Pesantren ini memiliki kontribusi yang besar bagi golongan tradisional islam di Indonesia, terutama karena ia menjadi cikal bakal berdirinya organisasi islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
1.      Corak pemikiran keagamaan KH. Hasyim asy’ari
Corak pemikiran keagamaan KH. Hasyim Asy’ari adalah Islam tradisional yaitu islam murni, islam yang berupaya melaksanakan islam sesuai dengan warisan atau tradisi yang diterima dari generasi pendahulunya. Akan tetapi permasalahan akan menjadi lain apabila yang dilaksanakan atau yang dilestarikan itu merupakan tradisi yang berasal dari agama lain, yang islam sendiri tidak menoleransi keberadaannya.
Dalam konteks social-budaya masyarakat jawa, seperti itulah KH. Hasyim Asy’ari hidup dan melakukan dakwah islam. Jadi wajar kalau ia memiliki corak pandangan keagamaan tradisional. Dengan pendekatan kompromi dan harmoni, KH. Hasyim Asy’ari dengan NU-nya berusaha menerapkan kaidah “memelihara nilai-nilai terdahulu yang sudah baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”. Menurut Nurcholis, kaidah ini merupakan pegangan baik dalam berijtihad, yang sering dipandang sebagai semangat klasik yang diungkapkan kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah. Kehadiran islam pada prinsipnya menganut kaidah ini, yaitu nilai-nilai masa lalu yang baik dipertahankan, dengan memperkealkan syariat islam sebagai nilai baru yang ebih baik.
KH. Hasyim Asy’ari secara intelektual, ssebagaimana disebutkan Dhofier, sangat dipengaruhi oleh guru-gurunya. Sebagaimana Syaikh Mahfudz Al-tarmisi, KH. Hasyim Asy’ari memiliki pandangan yang tegas untuk mempertahankan ajaran-ajaran madzhab dan pentingnya praktik-praktik tarekat. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai bermadzhab ini seirama dengan pemikiran gurunya, Syaikh Ahman Khatib. Dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama yang di tulisnya, KH. Hasyim asy’ari berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin memahami maksud yang sebenarnya dari al-Qur’an dan Al-sunnah tanpa mempelajari pendapat dari ulama-ulama besaryag tergabng dalam system madzhab
2.      Pendidikan dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari
Sepulang dari makkah, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren yangdiberi nama tebuireng. Pesantren tebuireng mulanya hanya ditujukan bagi para santri yang hamper mencapai  tahap sempurna.  Untuk menghadapisantri-santri sepuh ini, metode yang digunakannya adalh metode musyawarah.Dari pendidikan model ini, KH. Hasyim Asy’ari berharap para santrinya dapat  mendirikan pesantren-pesantren baru. KH. Hasyim Asy’ari menjadi terkenal sewaktu santri-santri angkatan pertamanya berhasil mendirikan pesantren.
Pelajaran dipesantren tebuireng pada ppermulaannya hanya mementingkan pelajaran agama dan bahasa arab saja. Kondisi ini sama dengan keadaan pesantren dan surau-surau lainnya di seluruh Indonesia.
            KH. Hasyim Asy’ari melalui pesantren tebuirengsebenarnya memiliki gagasan dan pemikiran pendidikan  yang paling tidak tersimpuldalam dua gagasan, yaitu metode musyawarah dan system madrasah dalam pesantren. Selain sorogan dan bandongan, KH. Hasyim Asy’ari menerapkan metode musyawarah khusus pada santrinya yang hamper mencapai kematangan. Metode musyawarah ini di kembangkan menyerupai diskusiyang terjadi di antara santi-santrinya kelas tinggi. Metode musyawarah berbeda dengan metode debat. Di dalam musyawarah, yang terjadi adalah keterbukaan, toleransi serta sikap yang wajar untuk memberikan penghargaan kepada pendapat lawan. Sesuatu yang dicari adalah kebenaran dan  mengusahakan sesuatu pemecahan yang terbaik.
Selain metode musyawarah, KH. Hasyim As’ari juga memelopori adanya madrasah dalam pesantren. Menurut Mukti Ali, system pendidikan agama yang paling baik di Indonesia adalah model madrasah dalam pesantren. Sebagaimana layaknya pesantren, pesantren tebuireng tetap menyelenggarakan pengajian kitab kuning.Akan tetapi, untuk memperluas wawasan santri, pesantren ini menyelenggarakan madrasah dalam pesantren sebagaimana bagian dari pesantren tebuireng itu sendiri[6].





DAFTAR PUSTAKA

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi pesantren: Studi tentang pandangan hidup Kyai. Cet. VI, Jakarta: Balai pustaka
Ramayulis, Prof. Dr.H. &Prof.Dr. Syamsul Nizar,MA.2009.filsafat pendidikan islam.jakarta: kalam mulia
suhartono ,Dr. toto.2014. filsafat pendidikan islam. Jogjakarta: ar-ruzz media
Yunus, Mahmud.1990. sejarah pendidikan islam. Cet. IV; Jakarta: hidakarya agung
Wikipedia. 2008. Website: Http/www/google.co.id. Diakses 17 April 2016.
Pustaka al-Mubin. 2008. Seri biografi tokoh NU; K.H.Hasyim Asyari. Website: Http/www/google.co.id. Diakses 17 April 2016.



[1] Zamakhsyri dhofier,tradisi pesantren: studi tentang pandangan hidup kyai (Jakarta:LP3ES) hlm.92
[2] Mahmud yunus, sejarah pendidikan islam, hlm 184
[3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup kyai, hlm, 95-96
[4] Wikipedia.2008.http//google.co.id.
[5] Hasyim asy’ari, adab ta’lim wa muta’allim, h. 24-8
[6] Pustaka Al-Mubin.2008.http://google.co.id.

0 komentar:

Posting Komentar