Sebagaimana mazhab Hanafi, kalangan
mazhab Maliki juga menyusun dan menetapkan dasar-dasar pijakan dalam istinbat
hukum dengan berpegangan kepada sumber-sumber dalil yang telah mereka gariskan,
yaitu sebagai berikut :
a. Kitab
al-Qur’an
Sebagai
mana telah disinggung sebelum ini, tentang sumber dalil dalam Hukum Islam, maka
al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Seluruh fuqoha’
dan umat Islam menyatakan bahwa al-Quran’ adalah sumber utama dari hukum Islam.
Dilihat dari sumber kebenarannya sebagai sumber, maka al-Quran adalah merupakan
sumber dari beberapa sumber.
Dengan
kata lain, al-Qur’an menempati posisi paling awal dari tertib sumber hukum
dalam berhujjah. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dari cabang
dari Al-Qur’an. Karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada
Al-Quran.
b.
Al-Sunnah
Dilihat
dari segi pembagian sunnah menjadi mutawattir, masyhur dan ahad, saebagaiman
telah disebutkan diatas, maka sunnah mutawttir,masyhur dan ahad, merupakan
sumber dan dasar pembinaan hukum Islam. Abdul Wahab Khalaf meyebutkan bahwa
sunnah, dari segi kehujjahannya ia merupakan sumber dalam melakukan istinbat
hukum dan menempati urutan kedua setelah Al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak
menemukan jawaban dalam Al-Quran tentang peristiwa yang terjadi, mereka mencari
dalam sunnah.
Kalangan
Malikiyah menyebutkan bahwa mereka menerima dan mengamalkan sunnah
ahad jika tidak berlawanan dengan amal ahli Madinah. Dalam pandangan Imam
Malik dan pengikutnya, bahwa amal ahli Madinah posisinya lebih kuat dari pada sunnah
ahad.
Sikap
mendahulukan amal ahli Madinah (praktek penduduk Madinah) dari sunnah ahad adalah
didasarkan pada kenyataan bahwa kehidupan penduduk Madinah dipengaruhi oleh
tradisi hidup nabi SAW dan tradisi kenabian ini terefleksi dalam sikap hidup
penduduk Madinah yang secara faktual dijadikan sebagai dasar dalam melegalisasi
berbagai persoalan tasyri’.
c.
Al-ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan/consensus yang terjadi antara para ulama,
baik secara terbuka maupun tertutup. Yang dimaksud
di sini adalah Ijma’sahabat maupun Ijma’ para mujtahid Imam Malik
sebagai salah seorang tokoh ulama Madinah juga berhujjah dengan Ijma’. Hasbi
as-Shidqi menjelaskan bahwa Imam Malik paling banyak menyandarkan pendapatnya
atas Ijma’ dan dalam kitab Muwaththa’ sering ditemukan
pernyataan-pernyataan sesuatu yang telah menjadi kesepakatan maka berarti hal
tersebut merupakan Ijma’ ahli fiqh dan ahli ilmu yang mana mereka tidak
berselisih padanya.
Dari
sini, Malik hanya menerima Ijma’ yang bersumber dari para ahli ijtihad.
Dan di samping itu Imam Malik juga membicarakan secara khusus tentang tentang Ijma’
ahli Madinah lebih didahulukan dari khabar ahad dalam melakukan
istinbat hukum. Dengan demikian, Ijma’ yang menjadi hujjah bagi
Malik dilihat dari pembentukannya ada dua macam yaitu Ijma’ ahli Madinah yang
berdasarkan kesepakatan para mujtahid dan Ijma’ ahli Madinah yang
berasal dari praktik penduduk Madinah. Akan tetapi, Ijma’ ahli Madinah yang
diklaim oleh Malik sebagai suatu doktrin hukum, umumnya ditentang mayoritas
ulama’ lainnya. Mayoritas ulama luar Madinah tidak memandang bahwa kesepakatan
ulama Madinah atau praktik penduduk Madinah sebagai suatu Ijma’.
d. Qoul
Sahabat
Imam
Malik menjelaskan bahwa qoul sahabat adalah hadis atau dianggap sebagai
hadis yang wajib diamalkan, misalnya fatwa sahabat tentang manasik haji.
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA tatkala dua kota ini
(Kufah dan Basrah) telah ditaklukkan, mereka menghadap Umar dan mengadu; wahai
Amirul Mukminin sesungguhnya Rasulullah SAW telah menentukan Qarnu al-Manazil
sebagai Miqat bagi penduduk Najd yang melengkung dari jalur kami, sehingga
memberatkan kalau kami harus melewatinya. Umar berkata: perhatikan garis
hadapnya (jarak pintasnya) dari jalurmu. Maka beliau menentukan Dzatu ‘Irqin
sebagai Miqat bagi mereka.” (HR. Bukhari)
e. Amal
Ahli Madinah
‘Amal Ahli Madinah (praktek penduduk Madinah) dianggap hujjah
(dalil) oleh Imam Malik dengan alasan (1) pelakunya orang banyak (penduduk
Madinah), maka mustahil bersepakat untuk berbohong; (2) penduduk Madinah secara
berantai menerima pelajaran agama dari generasi sebelumnya sampai kepada Nabi;
(3) ayat, hadis dan praktek hukum Islam hamper semuanya terjadi di Madinah,
sehingga penduduk Madinah adalah yang pantas dianggap paling mengetahui
pelaksanaannya.
f. Al-Qiyas
Qiyas adalah menghubungkan suatu masalah yang
tidak nas hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada nas hukumnya
karena adanya kemiripan ‘illat hukum. Ulama’ ushul berpendapat bahwa
aplikasi qiyas harus bertumpu pada empat rukun yang disebutkan ini. Dengan
bertumpu pada empat rukun ini akan menghasilkan ketentuan hukum yang sebanding
atau sama antara pokok dengan cabang. Berkenaan dengan rukun Qiyass ini, dalam
sejumlah buku-buku ushul fiqh, ditemukan tiga versi unsur yang berbeda yaitu:
pertama menyebutkan asal, fur’u (furu’), hukum asal dan ‘ilat; kedua menyebutkan
asal, fur’u dan hukum asal dan ketiga; menyabutkan, asal, hukum asal, fur’u dan
‘ilat.
g. Al-Masalih
al-Mursalah
Al-Masalih al-Mursalah adalah kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang
semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia saja. Sebab, disadari
sepenuhnya,bahwa tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisir
kemaslahatan bagi manusia dalam berbagai segi dan aspek kehidupan mereka di
dunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang bisa membawa kepada kerusakan. Dengan kata lain, setiap ketentuan
hukum yang telah digaris oleh syari’ adalah bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan bagi manusia.
Al-Masalihul Mursalah adalah suatu metode istinbat hukum
yang didasarkan atas pertimbangan adanya kemaslahatan/kebaikan yang tidak
tampak dalam dalil khusus. Metode ini dapat dikategorikan teori rasional.
Menurut Ali Yafie, Imam Malik mempunyai doktrin bahwa rasio harus diperhatikan
guna pertimbangan kemaslahatan.
h. Al-Istihsan
Pada dasarnya Istihsan adalah berkaitan dengan
penerapan atau pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya
secara umum baik nas, ijma’, atau qiyas, tetapi ketentuan hukum
yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus diubah karena
berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
Dengan kata lain, istihsan pada dasarnya
mengenyampingkan ketentuan umum yang sudah jelas dan pindah kepada ketentuan
yang khusus karena adanya alas an kuat yang menghendakinya. Artinya, persoalan
khusus yang seharusnya tercakup pada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena
tidak mungkin dan malah tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan
khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau yang sudah jelas tadi.
Bagi
kalangan Malikiyah istihsan ialah mengamalkan dan memilih dalil yang
terkuat dari dua dalil
Macam-macam
Istihsan menurut Malikiyah:
1. Istihsan yang disandarkan
pada Urf
Misalnya: seseorang yang bersumpah tidak akan makan daging.
Kalau ia makan daging ikan, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah, walaupun
di dalam al-Quran dijelaskan bahwa ikan sama dengan daging. Dalam (QS. Fatiir:12) tidak menyebut ikan, tetapi menyebut
daging segar yang diambil dalam laut. Dengan kata lain, al-Quran tidak
membedakan ikan dengan daging –karena untk menyebut ikan dan daging menggunakan
satu lafal yaitu lahm. Akan tetapi menurut Urf, tidak
dikategorikan daging.
2. Istihsan yang disandarkan pada Maslahat
Misalnya, ada seseorang menyewa suatu barang, kemudian
barang tersebut rusak bukan karena kesalahan penyewa, maka menurut ketentuan qiyas
penyewa tidak menanggung resiko atas kerusakan tersebut. Akan tetapi,
ketentuan ini tidak berlaku, karena demi kemaslahatan penyewa dituntut untuk
mengganti atas kerusakan.
3. Istihsan yang disandarkan pada keadaan untuk
menghilangkan kesulitan
Istishan jenis ini, seebetulnya hamper tidak ada bedanya
dengan jenis istihsan pada jenis kedua. Umumnya istihsan ini banyak berkisar
pada masalah muamalah dan ibadah, sebagai upaya menghilangkan kesulitan.
i.
Al-Zarai’
Az-Zarai’ merupakan metode istinbat hukum yang ditarik dengan
aturan logika berikut: apa yang membawa haram adalah haram, apa yang membawa
halal adalah halal, apa yang mendatangkan kemaslahatan adalah dituntut, dan apa
yang mendatangkan kerusakan diharamkan.
a.
Al-Quran
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
"Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan
"dengarlah (al-Baqarah: 2/104)
Dan Firman Allah
Dan
tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak
di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang
kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di
permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang
kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.
(al-A’raf: 7/163)
b.
Al-Sunnah
Tinggalkan
apa yang membuatmu ragu, beralihlah kepada yang tidak meragukan.Sesungguhnya
perkara halal adalah jelas, dan perkara haram juga jelas,
sedangkan di antara keduanya adalah sesuatu yang samar.
j. Al-‘Urf
‘Urf
secara bahasa memiliki beberapa makna: sesuatu yang biasa yang dianggap baik
dan sesesuatu yang luhur, firman Alloh: dan di atas A'raaf itu
ada orang-orang (QS. Al-A’raf: 46), berkesinambungan, firman Allah, Demi
malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan (QS. Al-mursalat: 1).
Sedangkan
secara istilahi adalah apa yang biasa dilakukan oleh manusia baik perbuatan
maupun ucapan.Ada beberapa ulama’ yang mengatakan ‘urf dan ‘adat adalah satu kata, Ulama’
itu adalah An-Nasafi al-Hanafi, Ibnu Abidin, Rohawi dan Ibnu Nujaim. Namun ada
ulama’ yang mengatakan bahwa ‘urf dan ‘adat berbeda, yakni ‘urf lebih umum dari
pada ‘adat karena ‘urf meliputi ucapan dan perbuatan, sedangkan ‘adat terbatas
pada kebiasaan yang bersifat Amali.
k.
Al-Istishab
Ibnu
Hazm mendefinisikan Al-Istishab: tetapnya hukum asal yang terdapat dalam
nas-nas sehingga ada dalil yang merubahnya. Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i,
Dhohiri, Hambali, istishab adalah hujjah secara mutlak untuk menentukan
hukum sampai ada dalil yang merubahnya selama tidak ada dalil yang melarang. Misalnya
keadaan orang hilang yang tidak diketahui jejaknya, maka ia mendapat hak yang
positif dari yang lain, ia mendapatkan warisan dari orang lain dan mendapat
bagian dari warisan tersebut dan berhak baginya wasiat dengan menganggapnya dia
masih hidup, dia masih mendapat hak-hak sebagaimana sebelum dia hilang.
DAFTAR PUSTAKA
Abid al jabiri, takwin al-‘aqla al-arabi,
markaz dirasah al-wahdah al-arabiyyah
Ahmad as surbasi,.sejarah dan biografi empat imammazhab,jakarta:
amzah 2004.
Ali hasan abd al qadir, nadzah ‘ammah fi al tarikh al
fiqih al islami, dar al-kutub
al hadistah , cet
II 1965.
0 komentar:
Posting Komentar