Kamis, 12 Januari 2017

Makalah "PEMIKIRAN IMAM MALIK TENTANG PENGAMBILAN DASAR HUKUM"

PEMIKIRAN IMAM MALIK TENTANG PENGAMBILAN DASAR HUKUM
Sebagaimana mazhab Hanafi, kalangan mazhab Maliki juga menyusun dan menetapkan dasar-dasar pijakan dalam istinbat hukum dengan berpegangan kepada sumber-sumber dalil yang telah mereka gariskan, yaitu sebagai berikut :
a. Kitab al-Qur’an
Sebagai mana telah disinggung sebelum ini, tentang sumber dalil dalam Hukum Islam, maka al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Seluruh fuqoha’ dan umat Islam menyatakan bahwa al-Quran’ adalah sumber utama dari hukum Islam. Dilihat dari sumber kebenarannya sebagai sumber, maka al-Quran adalah merupakan sumber dari beberapa sumber.
Dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi paling awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dari cabang dari Al-Qur’an. Karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada Al-Quran.
b. Al-Sunnah
Dilihat dari segi pembagian sunnah menjadi mutawattir, masyhur dan ahad, saebagaiman telah disebutkan diatas, maka sunnah mutawttir,masyhur dan ahad, merupakan sumber dan dasar pembinaan hukum Islam. Abdul Wahab Khalaf meyebutkan bahwa sunnah, dari segi kehujjahannya ia merupakan sumber dalam melakukan istinbat hukum dan menempati urutan kedua setelah Al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak menemukan jawaban dalam Al-Quran tentang peristiwa yang terjadi, mereka mencari dalam sunnah.
Kalangan Malikiyah menyebutkan bahwa mereka menerima dan mengamalkan sunnah ahad jika tidak berlawanan dengan amal ahli Madinah. Dalam pandangan Imam Malik dan pengikutnya, bahwa amal ahli Madinah posisinya lebih kuat dari pada sunnah ahad.
Sikap mendahulukan amal ahli Madinah (praktek penduduk Madinah) dari sunnah ahad adalah didasarkan pada kenyataan bahwa kehidupan penduduk Madinah dipengaruhi oleh tradisi hidup nabi SAW dan tradisi kenabian ini terefleksi dalam sikap hidup penduduk Madinah yang secara faktual dijadikan sebagai dasar dalam melegalisasi berbagai persoalan tasyri’.
c. Al-ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan/consensus yang terjadi antara para ulama, baik secara terbuka maupun tertutup. Yang dimaksud di sini adalah Ijma’sahabat maupun Ijma’ para mujtahid Imam Malik sebagai salah seorang tokoh ulama Madinah juga berhujjah dengan Ijma’. Hasbi as-Shidqi menjelaskan bahwa Imam Malik paling banyak menyandarkan pendapatnya atas Ijma’ dan dalam kitab Muwaththa’ sering ditemukan pernyataan-pernyataan sesuatu yang telah menjadi kesepakatan maka berarti hal tersebut merupakan Ijma’ ahli fiqh dan ahli ilmu yang mana mereka tidak berselisih padanya.
Dari sini, Malik hanya menerima Ijma’ yang bersumber dari para ahli ijtihad. Dan di samping itu Imam Malik juga membicarakan secara khusus tentang tentang Ijma’ ahli Madinah lebih didahulukan dari khabar ahad dalam melakukan istinbat hukum. Dengan demikian, Ijma’ yang menjadi hujjah bagi Malik dilihat dari pembentukannya ada dua macam yaitu Ijma’ ahli Madinah yang berdasarkan kesepakatan para mujtahid dan Ijma’ ahli Madinah yang berasal dari praktik penduduk Madinah. Akan tetapi, Ijma’ ahli Madinah yang diklaim oleh Malik sebagai suatu doktrin hukum, umumnya ditentang mayoritas ulama’ lainnya. Mayoritas ulama luar Madinah tidak memandang bahwa kesepakatan ulama Madinah atau praktik penduduk Madinah sebagai suatu Ijma’.
d. Qoul Sahabat
Imam Malik menjelaskan bahwa qoul sahabat adalah hadis atau dianggap sebagai hadis yang wajib diamalkan, misalnya fatwa sahabat tentang manasik haji.
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA tatkala dua kota ini (Kufah dan Basrah) telah ditaklukkan, mereka menghadap Umar dan mengadu; wahai Amirul Mukminin sesungguhnya Rasulullah SAW telah menentukan Qarnu al-Manazil sebagai Miqat bagi penduduk Najd yang melengkung dari jalur kami, sehingga memberatkan kalau kami harus melewatinya. Umar berkata: perhatikan garis hadapnya (jarak pintasnya) dari jalurmu. Maka beliau menentukan Dzatu ‘Irqin sebagai Miqat bagi mereka.” (HR. Bukhari)
e. Amal Ahli Madinah
‘Amal Ahli Madinah (praktek penduduk Madinah) dianggap hujjah (dalil) oleh Imam Malik dengan alasan (1) pelakunya orang banyak (penduduk Madinah), maka mustahil bersepakat untuk berbohong; (2) penduduk Madinah secara berantai menerima pelajaran agama dari generasi sebelumnya sampai kepada Nabi; (3) ayat, hadis dan praktek hukum Islam hamper semuanya terjadi di Madinah, sehingga penduduk Madinah adalah yang pantas dianggap paling mengetahui pelaksanaannya.
f. Al-Qiyas
Qiyas adalah menghubungkan suatu masalah yang tidak nas hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada nas hukumnya karena adanya kemiripan ‘illat hukum. Ulama’ ushul berpendapat bahwa aplikasi qiyas harus bertumpu pada empat rukun yang disebutkan ini. Dengan bertumpu pada empat rukun ini akan menghasilkan ketentuan hukum yang sebanding atau sama antara pokok dengan cabang. Berkenaan dengan rukun Qiyass ini, dalam sejumlah buku-buku ushul fiqh, ditemukan tiga versi unsur yang berbeda yaitu: pertama menyebutkan asal, fur’u (furu’), hukum asal dan ‘ilat; kedua menyebutkan asal, fur’u dan hukum asal dan ketiga; menyabutkan, asal, hukum asal, fur’u dan ‘ilat.
g. Al-Masalih al-Mursalah
Al-Masalih al-Mursalah adalah kemaslahatan yang  menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia saja. Sebab, disadari sepenuhnya,bahwa tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi manusia dalam berbagai segi dan aspek kehidupan mereka di dunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang bisa membawa kepada kerusakan. Dengan kata lain, setiap ketentuan hukum yang telah digaris oleh syari’ adalah bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia.
Al-Masalihul Mursalah adalah suatu metode istinbat hukum yang didasarkan atas pertimbangan adanya kemaslahatan/kebaikan yang tidak tampak dalam dalil khusus. Metode ini dapat dikategorikan teori rasional. Menurut Ali Yafie, Imam Malik mempunyai doktrin bahwa rasio harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan.
h. Al-Istihsan
Pada dasarnya Istihsan adalah berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik nas, ijma’, atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus diubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
Dengan kata lain, istihsan pada dasarnya mengenyampingkan ketentuan umum yang sudah jelas dan pindah kepada ketentuan yang khusus karena adanya alas an kuat yang menghendakinya. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup pada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak mungkin dan malah tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau yang sudah jelas tadi.
Bagi kalangan Malikiyah istihsan ialah mengamalkan dan memilih dalil yang terkuat dari dua dalil
Macam-macam Istihsan menurut Malikiyah:
      1. Istihsan yang disandarkan pada Urf
Misalnya: seseorang yang bersumpah tidak akan makan daging. Kalau ia makan daging ikan, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah, walaupun di dalam al-Quran dijelaskan bahwa ikan sama dengan daging. Dalam (QS. Fatiir:12) tidak menyebut ikan, tetapi menyebut daging segar yang diambil dalam laut. Dengan kata lain, al-Quran tidak membedakan ikan dengan daging –karena untk menyebut ikan dan daging menggunakan satu lafal yaitu lahm. Akan tetapi menurut Urf, tidak dikategorikan daging.
      2. Istihsan yang disandarkan pada Maslahat
Misalnya, ada seseorang menyewa suatu barang, kemudian barang tersebut rusak bukan karena kesalahan penyewa, maka menurut ketentuan qiyas penyewa tidak menanggung resiko atas kerusakan tersebut. Akan tetapi, ketentuan ini tidak berlaku, karena demi kemaslahatan penyewa dituntut untuk mengganti atas kerusakan.
      3. Istihsan yang disandarkan pada keadaan untuk menghilangkan kesulitan
Istishan jenis ini, seebetulnya hamper tidak ada bedanya dengan jenis istihsan pada jenis kedua. Umumnya istihsan ini banyak berkisar pada masalah muamalah dan ibadah, sebagai upaya menghilangkan kesulitan.
i. Al-Zarai’
Az-Zarai’ merupakan metode istinbat hukum yang ditarik dengan aturan logika berikut: apa yang membawa haram adalah haram, apa yang membawa halal adalah halal, apa yang mendatangkan kemaslahatan adalah dituntut, dan apa yang mendatangkan kerusakan diharamkan.
a. Al-Quran
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah (al-Baqarah: 2/104)
Dan Firman Allah
Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. (al-A’raf: 7/163)
b. Al-Sunnah
Tinggalkan apa yang membuatmu ragu, beralihlah kepada yang tidak meragukan.Sesungguhnya perkara halal adalah jelas, dan perkara haram juga jelas, sedangkan di antara keduanya adalah sesuatu yang samar.
j. Al-‘Urf
‘Urf secara bahasa memiliki beberapa makna: sesuatu yang biasa yang dianggap baik dan sesesuatu yang luhur, firman Alloh: dan di atas A'raaf itu ada orang-orang (QS. Al-A’raf: 46), berkesinambungan, firman Allah, Demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan (QS. Al-mursalat: 1).
Sedangkan secara istilahi adalah apa yang biasa dilakukan oleh manusia baik perbuatan maupun ucapan.Ada beberapa ulama’ yang mengatakan ‘urf dan ‘adat adalah satu kata, Ulama’ itu adalah An-Nasafi al-Hanafi, Ibnu Abidin, Rohawi dan Ibnu Nujaim. Namun ada ulama’ yang mengatakan bahwa ‘urf dan ‘adat berbeda, yakni ‘urf lebih umum dari pada ‘adat karena ‘urf meliputi ucapan dan perbuatan, sedangkan ‘adat terbatas pada kebiasaan yang bersifat Amali.
k. Al-Istishab
Ibnu Hazm mendefinisikan Al-Istishab: tetapnya hukum asal yang terdapat dalam nas-nas sehingga ada dalil yang merubahnya. Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i, Dhohiri, Hambali, istishab adalah hujjah secara mutlak untuk menentukan hukum sampai ada dalil yang merubahnya selama tidak ada dalil yang melarang. Misalnya keadaan orang hilang yang tidak diketahui jejaknya, maka ia mendapat hak yang positif dari yang lain, ia mendapatkan warisan dari orang lain dan mendapat bagian dari warisan tersebut dan berhak baginya wasiat dengan menganggapnya dia masih hidup, dia masih mendapat hak-hak sebagaimana sebelum dia hilang.











DAFTAR PUSTAKA
 Abid al jabiri, takwin al-‘aqla al-arabi, markaz dirasah al-wahdah al-arabiyyah
Ahmad as surbasi,.sejarah dan biografi empat imammazhab,jakarta: amzah 2004.
Ali hasan abd al qadir, nadzah ‘ammah fi al tarikh al fiqih al islami, dar al-kutub
 al hadistah , cet II 1965.

0 komentar:

Posting Komentar