Kamis, 12 Januari 2017

Makalah Tashawuf " Maqamat"

BAB II
PEMBAHASAN
A.      MAQAMAT
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan  al-ridla. Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
  1. Taubat
Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhah dan mujahadah dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal. Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya.
Ia berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama adalah ilmu. Dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya.
Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang membuahkannya.
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi:
šúïÏ%©!$#ur #sŒÎ) (#qè=yèsù ºpt±Ås»sù ÷rr& (#þqßJn=sß öNæh|¡àÿRr& (#rãx.sŒ ©!$# (#rãxÿøótGó$$sù öNÎgÎ/qçRäÏ9 `tBur ãÏÿøótƒ šUqçR%!$# žwÎ) ª!$# öNs9ur (#rŽÅÇム4n?tã $tB (#qè=yèsù öNèdur šcqßJn=ôètƒ ÇÊÌÎÈ  
Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.(Ali Imron: 135).
4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ  

Artinya: ...dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kkamu beruntung.(An-Nur: 31)
  1. Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[6]
Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sikap zuhud ini erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.
Untuk lebih memperjelas pengertian pengertian dan rumusan zuhd di atas, masih dirasa perlu untuk mencantumkan beberapa pengertian lagi. Zuhd menurut Ibn Qudamah al-Muqaddasi ialah “pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik.” Menurut Imam Al-Ghazali, “zuhud ialah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh daripadanya dengan penuh kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan.” Imam al-Qusyairi mengatakan, “zuhd ialah tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.
Berkaitan dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan hal itu, di antaranya:
ó3 ö@è% ßì»tFtB $u÷R9$# ×@Î=s% äotÅzFy$#ur ׎öyz Ç`yJÏj9 4s+¨?$# Ÿwur tbqßJn=ôàè? ¸xÏGsù ÇÐÐÈ  

Artinya: Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (An-Nisa’: 77).
$tBur äo4quysø9$# !$uŠ÷R$!$# žwÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur ( â#¤$#s9ur äotÅzFy$# ׎öyz tûïÏ%©#Ïj9 tbqà)­Gtƒ 3 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÌËÈ  

Artinya:  Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?(Al-An’am: 32).
Ayat-ayat di atas secara singkat menjelaskan bahwa kehidupan dunia yang kita rasakan hanyalah sesaat dan suatu saat akan lenyap dan musnah dalam seketika, dibandingkan dengan kehidupan akhirat yaitu kehidupan yang ditempuh sesudah kita mati merupakan alam yang kekal dan abadi dan merupakan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan dunia.
Zuhud berdasarkan maksudnya dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, zuhud menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, zuhud menjauhi dunia dengan mengharap imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud meninggalkan kesenangan dunia bukan karena berharap atau takut, akan tetapi karena kecintaan terhadap Allah semata. Pada tingkatan ketiga inilah yang mampu membukakan tabir antara seorang hamba dan Allah.
  1. Wara’
Wara’, secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.
  1. Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
  1. Sabar
Sabar, secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.

  1. Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.
  1. Ridha

Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.
B.       Bertasawuf Pada Masa Modern
  1. PENGERTIAN MASYARAKAT MODERN
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengartikan sebagai pergaulan hidup manusia (hipunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu).[1] Sedangkan modern diartikan yang terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan demikian secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan - ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Dengan demikian secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir.
Masyarakat modern selanjutnya sering disebutkan sebagai lawan dari masyarakat tradisional. Delia Noer misalnya menyebutkan ciri-ciri modern sebagai berikut:
1.      1.Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat emosi.
2.      2.Berfikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat.
3.      Menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga.
4.      Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran dan masukan.
5.      Berfikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaanya bagi masyarakat.[3]
  1. PROBLEMATIKA MASYARAKAT MODERN
Penggunaan iptek modern yang demikian itu masih lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang yang secara moral kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sikap hidup yang mengutamakan materi, memperturutkan kesenangan semata. Di tangan mereka yang berjiwa dan bermental demikian itu, ilmu pengetahuan dan teknologi modern memang sangat mengkhawatirkan. Dari sikap mental yang demikian itu kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern sebagai berikut:
a.       Desintegrasi ilmu pengetahuan
Kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan. Masing – masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma (cara pandang)nya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika seseorang menghadapi masalah lalu ia pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, politisi, sosiologi, ahli biologi, psikologi, etnologi dan ekonom misalnya, ia akan memberikan jawaban yang berbeda-beda dan terkadang saling bertolak belakang. Hal ini akhirnya dapat membingungkan.
b.      Kepribadian yang terpecah (split personality)
Karena kehidupan masyarakat modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan maka manusianya menjadi pribadi yang terpecah (split personality). Kehidupan manusia modern diatur menurut rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya kini tengah menggelinding proses hilangnya kekayaan rohaniah, karena dibiarkanya perluasan ilmu-ilmu positif (ilmu yang hanya mengandalkan fakta-fakta empirik, obyektif, rasional dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial.
c.       Penyalahgunaan iptek
Sebagai akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikata spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya. Kecanggihan di bidang teknologi komunikasi dan lainnya telah digunakan untuk menggalang kekuatan yang menghancurkan moral umat dan sebagainya.
d.      Pendangkalan Iman
Sebagai akibat lain dari pola pikiran keilmuan, khususnya ilmu-ilmu yang hanya mengaki fakta-fakta yang bersifat empiris menyebabkan manusia dangkal imannya. Ia tidk tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu, bahkan informasi yang dibawa oleh wahyu itu menjadi bahan tertawaan dan dianggap sebagai tidak ilmiah dan kampungan.
e.       Pola hubungan materialistik
Semangat persaudaraan dan rasa saling tolong yang didasarkan atas panggilan iman sudah tidak nampak lagi, karena imannya memang sudah dangkal. Pola hubungan satu dan yang lainnya ditentukan oleh seberapa jauh antara satu dan lainnya dapat memberikan keuntungan yang bersifat material.
f.       Menghalalkan segala cara
Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistik, maka manusia dengan mudah dapat menggunakan prinsip menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Jika hal ini terjadi maka terjadilah kerusakan akhlak dalam segal bidang. Baik ekonomi, politik, sosial dsb.
g.       Strees dan frustasi
Kehidupan modern yang demikian kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan kemampuanya. Mereka harus bekerja dan bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Hasil yang dicapai tidak pernah diyukuri dan selalu merasa kurang. Apalagi jika usahanya gagal maka dengan mudah ia kehilangan pegangan karena memang tidak lagi memiliki pegangan yang kokoh yang berasal dari tuhan.
h.      Kehilangan harga diri dan masa depannya
Terdapat sejumlah orang yang terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan. Masa mudanya dihabiskan untuk memperturutkan hawa nafsu dan segala daya dan cara telah ditempuhnya. Namun ada suatu saat di mana ia sudah tua renta tenaganya sudah tidak mendukung, fasilitas dan kemewahan sudah tidak berguna lagi karena fisik dan mentalnya sudah tidak memerlukanya lagi. Manusia yang demikian ini merasa kehilangan harga diri dan masa depanya,. Mereka tidak tau kemana harus melangkah, yang mereka perlukan hanya kekuatan yang berada diluar dirinya, yaitu bantuan dati tuhan.
  1. PERLUNYA PENGEMBANGAN AKHLAK TASAWUF DALAM DUNIA MODERN
Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah tersebut, dan salah satu cara yang hampir disepakati para ahli adalah dengan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan akhlak tasawuf  mengatasi masalah tersebut adalah Hussein Nashr. Dalam hal ini Nashr menegaskan “jalan rohani” yang biasanya dikenal sebagai tasawuf atau sufisme adalah merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan (esoteric) dalam islam, sebagaimana syariat berakar pada al-qur’an dan al-sunnah. Ia menjadi jiwa risalah islam, seperti hati yang ada pada tubuh, tersembunyi jauh dari pandangan luar. Betapapun ia tetap merupakan sumber kehidupan yang aling dalam, yang mengatur seluru orgasme keagamaan dalam islam.
Namun demikian penggunaan tasawuf mengatasi sejumlah masalah moral sebagaimana tersebut di atas menghendaki adanya interpretasi baru terhadap tasawuf yang selama ini dipandang sebagai sesuatu yang menyebabkan melemahnya daya juang di kalangan umat islam. Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di hadirat Allah SWT. Karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa segala sumber yang ada ini berasal dari Tuhan.
Dengan adanya bantuan tasawuf ini maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena berada dalam satu jalan dan tujuan. Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Demikian pula tarikat yng terdapat dalam tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa istiqamah, jiwa yang selalu di isi denga nilai-nilai ketuhanan. Ia selalu mempunyai pegangan dalam hidupnya. Keadaan demikian menyebabkan ia tetap tabah dan tidak mudah terhempas oleh cobaan yang dihadapinya.
Selanjutnya sikap frustasi dan yang lainnya dapat diatasi dengan sikap ridla yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala keputusan Tuhan. Ia menyadari bahwa yang Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah Tuhan. Demikian pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniaan, dapat pula dipergunakan untuk membekali manusia modern dari kehidupan, yang tidak tahu lagi arahnya. Tasawuf dengan konsep uzlah itu berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Ini berarti manusia tersebut tetap mengendalikan aktifitasnya sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan,Dan bukan sebaliknys larut dalam pengaruh keduniaan.
Di balik kemajuan ilmu teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan mertabat manusia. Untuk menyelamatkanya perlu tasawuf yang wujud konkretnya dalam akhlak yang mulia. Terakhir problema masyarakat modern di atas adalah adanya sejumlah manusia yang kehilangan masa depannya. Untuk ini ajaran akhlak tasawuf yang berkenaan dengan ibadah, zikir, taubat, dan berdo’a menjadi penting adanya, sehingga tetap mempunyai harapan, yaitu bahagia bahagia hidup di akhirat nanti. Tasawuf akhlak memberi kesempatan bagi penyelamatan manusia, maka tasawuf dengan sistem yang diakui paling kuat untuk manusia dengan Tuhan, ajaran akhlak tasawuf mengatasi problematika kehidupan masyarakat modern saat ini, dan dijadikan suatu alternatif terpenting dalam kehidupan sehari – hari.

























BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah. Dari beberapa pendapat tentang Maqamat disini para sufi berbeda pedapat ada yang mengatakan tujuh, delapa dan sempulu aka tetapi para sufi sepakat bahwa maqamat itu ada tujuh: Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Sabar, dan Tawakal.

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di masa modern ini, memberikan manfaat besar pada msyarakat, baik dibidang teknologi maupun yang lainnya, sehingga dapat mempermudahkan segala intraksi dan komunukasi dalam msyarakat. Namun dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ini, perilaku masyarakat semakin rusak dan tidak jarang masyarakat kehilangan jatidirinya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, cara yang hampir disepakati para ahli terutama para ilmuan islam adalah dengan cara mengembangkan kehidupan berahlak dan bertasawuf.

















Daftar pustaka
Abuddin Nata. 2000. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Departemen Agama RI. 2005. Al Qur’an dan Terjemah. Bandung: Jumanatul Ali
Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya. 2011. Akhlak Tasawuf, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres
Romly Arief. 2008. Kuliah Akhlak Tasawuf. Jombang: Unhasy Press,
Rosihun Dkk. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
http://formmit.org/about-islam/319-bersikap-muahadah-mujahadah-muraqabah-muhasabah-dan-muaqabah-dalam-membangun-hari-esok-yang-lebih-baik.html, (20 Maret 2012)

0 komentar:

Posting Komentar