PEMBAHASAN
A.
MAQAMAT
Secara
harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak
atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages
yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan
hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui
riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan
panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang
sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam
jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya
sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Tentang
berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip
Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh,
yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa,
al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan
jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr,
al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan
bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud,
al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang
berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan
al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai
maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu,
al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai
maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya
kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang
akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu
al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut:
- Taubat
Taubat
berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan
“penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon
ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan
sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi
dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Bagi
orang awam, taubat dilakukan dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi.
Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhah dan mujahadah
dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat ini
dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya
ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan
amal. Ilmu adalah
unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal. Ia berkata: yang
pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga.
Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam
kerajaan dan malakut-Nya.
Ia
berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia
adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah
mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan
berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia
cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan
merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya,
niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang
dia cintai itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat
berpengaruh dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan
mendorong timbulnya perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan
apa yang seharusnya pada saat ini, kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia
lakukan saat ini adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap
masa depannya adalah dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang
mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan
masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat
ditebus, atau menggantinya.
Yang
pertama adalah ilmu. Dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku
maksudkan dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna
pembenaran bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah
penegasan pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya.
Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini
dan masa akan datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai
tiga makna yang berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan
dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja.
karena penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan
penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya
dan apa yang membuahkannya.
Berkaitan
dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan
masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi:
úïÏ%©!$#ur
#sÎ) (#qè=yèsù ºpt±Ås»sù ÷rr&
(#þqßJn=sß
öNæh|¡àÿRr& (#rãx.s ©!$#
(#rãxÿøótGó$$sù öNÎgÎ/qçRäÏ9 `tBur ãÏÿøót
UqçR%!$#
wÎ)
ª!$#
öNs9ur
(#rÅÇã 4n?tã
$tB (#qè=yèsù öNèdur
cqßJn=ôèt ÇÊÌÎÈ
Artinya: Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui.(Ali Imron: 135).
4
(#þqç/qè?ur n<Î) «!$#
$·èÏHsd
tmr&
cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9
cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Artinya: ...dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kkamu beruntung.(An-Nur: 31)
- Zuhud
Secara
etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik
terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan
diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[6]
Menurut
pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya
adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa.
Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadi
zahid. Sikap zuhud ini erat
hubungannya dengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil apabila hati dan
keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.
Untuk
lebih memperjelas pengertian pengertian dan rumusan zuhd di atas, masih dirasa
perlu untuk mencantumkan beberapa pengertian lagi. Zuhd menurut Ibn Qudamah
al-Muqaddasi ialah “pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih
baik.” Menurut Imam Al-Ghazali, “zuhud
ialah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh daripadanya dengan penuh
kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan.” Imam al-Qusyairi mengatakan,
“zuhd ialah tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada di
tangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari
tangannya.
Berkaitan
dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan hal itu, di
antaranya:
ó3 ö@è%
ßì»tFtB $u÷R9$#
×@Î=s% äotÅzFy$#ur
×öyz
Ç`yJÏj9 4s+¨?$#
wur
tbqßJn=ôàè? ¸xÏGsù ÇÐÐÈ
Artinya:
Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih
baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
(An-Nisa’: 77).
$tBur
äo4quysø9$#
!$u÷R$!$# wÎ)
Ò=Ïès9
×qôgs9ur
( â#¤$#s9ur
äotÅzFy$#
×öyz
tûïÏ%©#Ïj9
tbqà)Gt 3 xsùr&
tbqè=É)÷ès? ÇÌËÈ
Artinya: Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari
main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik
bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?(Al-An’am: 32).
Ayat-ayat di atas secara singkat menjelaskan bahwa kehidupan dunia yang
kita rasakan hanyalah sesaat dan suatu saat akan lenyap dan musnah dalam
seketika, dibandingkan dengan kehidupan akhirat yaitu kehidupan yang ditempuh
sesudah kita mati merupakan alam yang kekal dan abadi dan merupakan kehidupan
yang lebih baik daripada kehidupan dunia.
Zuhud
berdasarkan maksudnya dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, zuhud menjauhkan
dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, zuhud menjauhi dunia dengan
mengharap imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud meninggalkan kesenangan dunia bukan
karena berharap atau takut, akan tetapi karena kecintaan terhadap Allah semata.
Pada tingkatan ketiga inilah yang mampu membukakan tabir antara seorang hamba
dan Allah.
- Wara’
Wara’,
secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat.
Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala
sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian,
maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A.
Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’
lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan
meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau
mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan
bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang
yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari
sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif
yang sanggup menghayati dengan hati nurani.
- Faqr
Secara
harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari
apa yang telah ada pada diri kita.Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk
menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri
kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
- Sabar
Sabar,
secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu
keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan
menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal
yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan
dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran.
Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian
diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar
tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang
sungguh-sungguh.
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan
nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs),
sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani
(ash-shabr al-badani). Kesabaran
jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu
makan dan seks yang berlebihan.
- Tawakkal
Secara
harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa
awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai
di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan,
tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal
adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati,
dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam
hati itu. Hal itu terjadi
setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan
Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu
sebenarnya takdir Allah.
Pengertian
tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution.
Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika
mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak
memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau
makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada
dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan
karena Allah.
- Ridha
Ridha,
secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara
umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar
dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal
di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima
malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari
Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan
kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang
diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang
tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut
Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan
ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa
seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya,
sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa
saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.
B. Bertasawuf Pada
Masa Modern
- PENGERTIAN MASYARAKAT MODERN
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan
modern. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengartikan
sebagai pergaulan hidup manusia (hipunan orang yang hidup bersama di suatu
tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu).[1] Sedangkan modern diartikan
yang terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan demikian secara harfiah masyarakat
modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan
ikatan - ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Dengan demikian
secara harfiah masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup
bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat
mutakhir.
Masyarakat
modern selanjutnya sering disebutkan sebagai lawan dari masyarakat tradisional.
Delia Noer misalnya menyebutkan ciri-ciri modern sebagai berikut:
1.
1.Bersifat
rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat
emosi.
2.
2.Berfikir
untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat
sesaat.
3.
Menghargai
waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga.
4.
Bersikap
terbuka, yakni mau menerima saran dan masukan.
5.
Berfikir
obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaanya bagi
masyarakat.[3]
- PROBLEMATIKA MASYARAKAT MODERN
Penggunaan iptek modern yang demikian itu masih lebih banyak
dikendalikan oleh orang-orang yang secara moral kurang dapat
dipertanggungjawabkan. Sikap hidup yang mengutamakan materi, memperturutkan
kesenangan semata. Di tangan mereka yang berjiwa dan bermental demikian itu, ilmu
pengetahuan dan teknologi modern memang sangat mengkhawatirkan. Dari sikap
mental yang demikian itu kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah
melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern sebagai berikut:
a.
Desintegrasi
ilmu pengetahuan
Kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi di
bidang ilmu pengetahuan. Masing – masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma
(cara pandang)nya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika
seseorang menghadapi masalah lalu ia pergi kepada kaum teolog, ilmuwan,
politisi, sosiologi, ahli biologi, psikologi, etnologi dan ekonom misalnya, ia
akan memberikan jawaban yang berbeda-beda dan terkadang saling bertolak
belakang. Hal ini akhirnya dapat membingungkan.
b.
Kepribadian
yang terpecah (split personality)
Karena kehidupan masyarakat modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan
maka manusianya menjadi pribadi yang terpecah (split personality). Kehidupan
manusia modern diatur menurut rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya kini
tengah menggelinding proses hilangnya kekayaan rohaniah, karena dibiarkanya
perluasan ilmu-ilmu positif (ilmu yang hanya mengandalkan fakta-fakta empirik,
obyektif, rasional dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial.
c.
Penyalahgunaan
iptek
Sebagai akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari
ikata spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi
negatifnya. Kecanggihan di bidang teknologi komunikasi dan lainnya telah
digunakan untuk menggalang kekuatan yang menghancurkan moral umat dan
sebagainya.
d.
Pendangkalan
Iman
Sebagai akibat lain dari pola pikiran
keilmuan, khususnya ilmu-ilmu yang hanya mengaki fakta-fakta yang bersifat
empiris menyebabkan manusia dangkal imannya. Ia tidk tersentuh oleh informasi
yang diberikan oleh wahyu, bahkan informasi yang dibawa oleh wahyu itu menjadi
bahan tertawaan dan dianggap sebagai tidak ilmiah dan kampungan.
e.
Pola hubungan
materialistik
Semangat persaudaraan dan rasa saling tolong yang didasarkan atas
panggilan iman sudah tidak nampak lagi, karena imannya memang sudah dangkal.
Pola hubungan satu dan yang lainnya ditentukan oleh seberapa jauh antara satu
dan lainnya dapat memberikan keuntungan yang bersifat material.
f.
Menghalalkan
segala cara
Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup
materialistik, maka manusia dengan mudah dapat menggunakan prinsip menghalalkan
segala cara dalam mencapai tujuan. Jika hal ini terjadi maka terjadilah
kerusakan akhlak dalam segal bidang. Baik ekonomi, politik, sosial dsb.
g.
Strees dan
frustasi
Kehidupan modern yang demikian kompetitif menyebabkan manusia harus
mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan kemampuanya. Mereka harus bekerja dan
bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Hasil yang dicapai tidak pernah
diyukuri dan selalu merasa kurang. Apalagi jika usahanya gagal maka dengan
mudah ia kehilangan pegangan karena memang tidak lagi memiliki pegangan yang
kokoh yang berasal dari tuhan.
h.
Kehilangan
harga diri dan masa depannya
Terdapat sejumlah orang yang terjerumus atau salah memilih jalan
kehidupan. Masa mudanya dihabiskan untuk memperturutkan hawa nafsu dan segala
daya dan cara telah ditempuhnya. Namun ada suatu saat di mana ia sudah tua
renta tenaganya sudah tidak mendukung, fasilitas dan kemewahan sudah tidak
berguna lagi karena fisik dan mentalnya sudah tidak memerlukanya lagi. Manusia
yang demikian ini merasa kehilangan harga diri dan masa depanya,. Mereka tidak
tau kemana harus melangkah, yang mereka perlukan hanya kekuatan yang berada
diluar dirinya, yaitu bantuan dati tuhan.
- PERLUNYA PENGEMBANGAN AKHLAK TASAWUF DALAM DUNIA MODERN
Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah
tersebut, dan salah satu cara yang hampir disepakati para ahli adalah dengan
cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh
yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan akhlak tasawuf mengatasi masalah tersebut adalah Hussein
Nashr. Dalam hal ini Nashr menegaskan “jalan rohani” yang biasanya dikenal
sebagai tasawuf atau sufisme adalah merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan
(esoteric) dalam islam, sebagaimana syariat berakar pada al-qur’an dan
al-sunnah. Ia menjadi jiwa risalah islam, seperti hati yang ada pada tubuh,
tersembunyi jauh dari pandangan luar. Betapapun ia tetap merupakan sumber
kehidupan yang aling dalam, yang mengatur seluru orgasme keagamaan dalam islam.
Namun demikian penggunaan tasawuf mengatasi
sejumlah masalah moral sebagaimana tersebut di atas menghendaki adanya
interpretasi baru terhadap tasawuf yang selama ini dipandang sebagai sesuatu
yang menyebabkan melemahnya daya juang di kalangan umat islam. Intisari
ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan dan disadari dengan Tuhan,
sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di hadirat Allah SWT. Karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa segala
sumber yang ada ini berasal dari Tuhan.
Dengan adanya bantuan tasawuf ini maka ilmu
pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena berada dalam satu
jalan dan tujuan. Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman
batin dan kehalusan budi pekerti. Demikian pula tarikat yng terdapat
dalam tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa istiqamah, jiwa yang selalu di
isi denga nilai-nilai ketuhanan. Ia selalu mempunyai pegangan dalam hidupnya.
Keadaan demikian menyebabkan ia tetap tabah dan tidak mudah terhempas
oleh cobaan yang dihadapinya.
Selanjutnya sikap frustasi dan yang lainnya
dapat diatasi dengan sikap ridla yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu
pasrah dan menerima terhadap segala keputusan Tuhan. Ia menyadari
bahwa yang Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah Tuhan. Demikian pula ajaran
uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari
terperangkap oleh tipu daya keduniaan, dapat pula dipergunakan untuk membekali
manusia modern dari kehidupan, yang tidak tahu lagi arahnya. Tasawuf dengan
konsep uzlah itu berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap
kehidupan yang memperbudaknya. Ini berarti manusia tersebut tetap mengendalikan
aktifitasnya sesuai dengan nilai-nilai
ketuhanan,Dan bukan sebaliknys larut dalam pengaruh keduniaan.
Di balik kemajuan ilmu teknologi, dunia modern sesungguhnya
menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan mertabat manusia. Untuk
menyelamatkanya perlu tasawuf yang wujud konkretnya dalam akhlak yang mulia.
Terakhir problema masyarakat modern di atas adalah adanya sejumlah manusia
yang kehilangan masa depannya. Untuk ini ajaran akhlak tasawuf yang berkenaan
dengan ibadah, zikir, taubat, dan berdo’a menjadi penting adanya, sehingga
tetap mempunyai harapan, yaitu bahagia bahagia hidup di akhirat nanti. Tasawuf
akhlak memberi kesempatan bagi penyelamatan manusia, maka tasawuf dengan sistem
yang diakui paling kuat untuk manusia dengan Tuhan, ajaran akhlak tasawuf
mengatasi problematika kehidupan masyarakat modern saat ini, dan dijadikan
suatu alternatif terpenting dalam kehidupan sehari – hari.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Secara
harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau
pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan
panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.
Dari beberapa pendapat tentang Maqamat disini para sufi berbeda pedapat ada
yang mengatakan tujuh, delapa dan sempulu aka tetapi para sufi sepakat bahwa
maqamat itu ada tujuh: Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Sabar, dan Tawakal.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
di masa modern ini, memberikan manfaat besar pada msyarakat, baik dibidang
teknologi maupun yang lainnya, sehingga dapat mempermudahkan segala intraksi
dan komunukasi dalam msyarakat. Namun dengan semakin berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi ini, perilaku masyarakat semakin rusak dan tidak
jarang masyarakat kehilangan jatidirinya. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, cara yang hampir disepakati para ahli terutama para ilmuan islam
adalah dengan cara mengembangkan kehidupan berahlak dan bertasawuf.
Daftar pustaka
Abuddin Nata. 2000. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Departemen Agama RI. 2005. Al Qur’an dan Terjemah. Bandung:
Jumanatul Ali
Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya. 2011. Akhlak Tasawuf,
Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres
Romly Arief. 2008. Kuliah Akhlak Tasawuf. Jombang: Unhasy Press,
Rosihun Dkk. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
http://formmit.org/about-islam/319-bersikap-muahadah-mujahadah-muraqabah-muhasabah-dan-muaqabah-dalam-membangun-hari-esok-yang-lebih-baik.html,
(20 Maret 2012)
0 komentar:
Posting Komentar