BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk
suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi
bersikap benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak hanya sekedar memetakan
pengetahuan atau informasi yang disampaikan.
Namun bagaimana melibatkan individu secara aktif membuat atau pun merevisi hasil belajar yang
diterimanya menjadi suatu pengalamaan yang bermanfaat bagi pribadinya.
Teori
adalah seperangkat azaz yang tersusun tentang
kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata dinyatakan oleh McKeachie dalam grendel 1991 : 5 (Hamzah
Uno, 2006:4). Sedangkan Hamzah (2003:26)
menyatakan bahwa teori merupakan seperangkat preposisi yang didalamnya memuat
tentang ide, konsep, prosedur dan prinsip yang terdiri dari satu atau lebih
variable yang saling berhubungan satu sama lainnya dan dapat dipelajari,
dianalisis dan diuji serta dibuktikan kebenarannya. Dari dua pendapat diatas Teori adalah seperangkat azaz tentang
kejadian-kejadian yang didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip
yang dapat dipelajari, dianalisis dan diuji kebenarannya. Teori
belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara
pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan
metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari teori belajar prilaku?
2. Apa saja macam macam teori blajar prilaku?
3. Apa saja implementasi dari teori teori blajar prilaku?
C. Tujuan
1. Agar bisa mengetahui maksud dari teori blajar prilaku
2. Supaya bisa mengetahui macam macam dari teori blajar
3. Agar bisa mengimplementasikan teori blajar prilaku
BAB 2
PEMBAHASAN
Teori-Teori
yang Terkandung di Dalam Teori Belajar Perilaku (Behavioristik)
Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan olehGage} dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagaihasil dari pengalaman. Aliran ini menekankan padaterbentuknya perilaku yang tampak Teori behavioristik dengan model hubungan sebagai hasil belajar. stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagaiindividu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu denganmenggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata.Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikanpenguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Tokoh-tokoh behaviorisme yang sangat terkemuka adalah Ivan Petrovitch Pavlov, Edward Thorndike, dan B.F Skinner. Berikut ini adalah ide-ide mereka secara garis besar.
Teori Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning Theory) dari PavlovIvan Petrovitch Pavlov (1849-1936), memperkenalkan teorinya yang dikenal dengan nama Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning). Teori ini dikembangkan melalui eksperimen Pavlov dengan menggunakan air liur anjing yang dapat dilihat melalui kulit luarnya. Sebuah kapsul dipasang di pipinya untuk mengukur aliran air liurnya. Laboratorium diatur sedemikian rupa sehingga bubuk daging dapat diisi pada panci di hadapan anjing tersebut dengan remote control. Pengeluaran air liur direkam secara otomatis. Pada tahap awal (sebelum pengkondisian), lampu dinyalakan. Anjing terlihat bergerak sedikit tetapi tidak mengeluarkan air liur. Kemudian, kepada anjing tersebut diberikan serbuk daging dan sambil makan terlihat air liur anjing tersebut keluar. Serbuk daging disebut stimulus tidak terkondisi (ST) dan air liur disebut respon tidak terkondisi (RT). Terjadinya respon ini bukan karena proses belajar tetapi karena insting anjing.
Beberapa hokum yang berkaitan dengan teori klasikal (classical conditioning theory) dari Pavlov (Atkinson, 1997) adalah sebagai berikut.
1) Pemerolehan
Pemberian stimulus yang tidak terkondisi (ST) bersama-sama dengan stimulus terkondisi (SD) disebut percobaan (trial) dan periode selama organisme belajar mengasosiasikan kedua stimuli disebut sebagai “pemerolehan pengkondisian” (acquisition stage of conditioning). Interval waktu penyajian ST dan SD dapat saja berbeda. Melalui penyajian ST dan SD ini akan mengakibatkan terbentuknya respon terkondisi (RD). Dengan terbentuknya RD yang memang diharapkan maka dapat dikatakan bahwa seseorang telah belajar. Pembentukan RD ini pada umumya bersifat gradual. Makin banyak (sering) diberikan ST dan SD akan mengakibatkan RD yang dibentuk makin mantap. Sampai pada suatu saat tanpa diberikan ST, tetap akan terbentuk RD yang diharapkan.
2) Pemunahan (Extinction)
Bila perilaku terkondisi tidak diteruskan (dikuatkan) atau bila stimulus tidak terkondisi (ST) berulang-ulang tidak diberikan, maka respon terkondisi (RD) kadarnya makin menurun dan akhirnya dapat menghilang sama sekali. Pengulangan stimulus terkondisi (SD) tanpa penguatan (ST) ini disebut pemunahan (extinction), yakni proses hilangnya respon yang diharapkan. Jika diberikan ST kembali maka RD yang telah hilang dapat muncul kembali (spontaneous recovery) dalam waktu yang relative singkat.
3) Generalisasi
Bila respon terkondisi (RD) diperoleh sebagai tanggapan atas suatu stimulus tertentu, maka stimulus lain yang sejenis (serupa), akan menyebabkan terjadinya RD tersebut. Makin serupa stimulus baru tersebut dengan stimulus aslinya, makin tinggi pula kemungkinan terjadinya RD tersebut. Prinsip ini disebut sebagai generalisasi (generalization). Prinsip ini menerangkan akan adanya kemampuan untuk bereaksi pada situasi baru sepanjang stimulus serupa dengan stimulus yang dikenal.
4) Diskriminasi
Diskriminasi merupakan reaksi terhadap stimulus yang berbeda. Menurut Morgan, et.al (1986), diskriminasi stimuli merupakan suatu proses belajar untuk memberikan respon terhadap suatu stimuli tertentu atau tidak memberikan respon sama sekali terhadap stimulus lain. Hal ini dapat diperoleh dengan cara memberikan ST lain.
Generalisasi dan diskriminasi muncul dalam perilaku sehari-hari. Anak kecil yang telah merasa takut pada anjing (generalisasi). Lambat laun melalui proses penguatan dan peniadaan diferensial, rentang stimulus rasa takut semakin menyempit, hanya pada anjing yang berperilaku galak (diskriminasi).
Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan olehGage} dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagaihasil dari pengalaman. Aliran ini menekankan padaterbentuknya perilaku yang tampak Teori behavioristik dengan model hubungan sebagai hasil belajar. stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagaiindividu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu denganmenggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata.Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikanpenguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Tokoh-tokoh behaviorisme yang sangat terkemuka adalah Ivan Petrovitch Pavlov, Edward Thorndike, dan B.F Skinner. Berikut ini adalah ide-ide mereka secara garis besar.
Teori Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning Theory) dari PavlovIvan Petrovitch Pavlov (1849-1936), memperkenalkan teorinya yang dikenal dengan nama Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning). Teori ini dikembangkan melalui eksperimen Pavlov dengan menggunakan air liur anjing yang dapat dilihat melalui kulit luarnya. Sebuah kapsul dipasang di pipinya untuk mengukur aliran air liurnya. Laboratorium diatur sedemikian rupa sehingga bubuk daging dapat diisi pada panci di hadapan anjing tersebut dengan remote control. Pengeluaran air liur direkam secara otomatis. Pada tahap awal (sebelum pengkondisian), lampu dinyalakan. Anjing terlihat bergerak sedikit tetapi tidak mengeluarkan air liur. Kemudian, kepada anjing tersebut diberikan serbuk daging dan sambil makan terlihat air liur anjing tersebut keluar. Serbuk daging disebut stimulus tidak terkondisi (ST) dan air liur disebut respon tidak terkondisi (RT). Terjadinya respon ini bukan karena proses belajar tetapi karena insting anjing.
Beberapa hokum yang berkaitan dengan teori klasikal (classical conditioning theory) dari Pavlov (Atkinson, 1997) adalah sebagai berikut.
1) Pemerolehan
Pemberian stimulus yang tidak terkondisi (ST) bersama-sama dengan stimulus terkondisi (SD) disebut percobaan (trial) dan periode selama organisme belajar mengasosiasikan kedua stimuli disebut sebagai “pemerolehan pengkondisian” (acquisition stage of conditioning). Interval waktu penyajian ST dan SD dapat saja berbeda. Melalui penyajian ST dan SD ini akan mengakibatkan terbentuknya respon terkondisi (RD). Dengan terbentuknya RD yang memang diharapkan maka dapat dikatakan bahwa seseorang telah belajar. Pembentukan RD ini pada umumya bersifat gradual. Makin banyak (sering) diberikan ST dan SD akan mengakibatkan RD yang dibentuk makin mantap. Sampai pada suatu saat tanpa diberikan ST, tetap akan terbentuk RD yang diharapkan.
2) Pemunahan (Extinction)
Bila perilaku terkondisi tidak diteruskan (dikuatkan) atau bila stimulus tidak terkondisi (ST) berulang-ulang tidak diberikan, maka respon terkondisi (RD) kadarnya makin menurun dan akhirnya dapat menghilang sama sekali. Pengulangan stimulus terkondisi (SD) tanpa penguatan (ST) ini disebut pemunahan (extinction), yakni proses hilangnya respon yang diharapkan. Jika diberikan ST kembali maka RD yang telah hilang dapat muncul kembali (spontaneous recovery) dalam waktu yang relative singkat.
3) Generalisasi
Bila respon terkondisi (RD) diperoleh sebagai tanggapan atas suatu stimulus tertentu, maka stimulus lain yang sejenis (serupa), akan menyebabkan terjadinya RD tersebut. Makin serupa stimulus baru tersebut dengan stimulus aslinya, makin tinggi pula kemungkinan terjadinya RD tersebut. Prinsip ini disebut sebagai generalisasi (generalization). Prinsip ini menerangkan akan adanya kemampuan untuk bereaksi pada situasi baru sepanjang stimulus serupa dengan stimulus yang dikenal.
4) Diskriminasi
Diskriminasi merupakan reaksi terhadap stimulus yang berbeda. Menurut Morgan, et.al (1986), diskriminasi stimuli merupakan suatu proses belajar untuk memberikan respon terhadap suatu stimuli tertentu atau tidak memberikan respon sama sekali terhadap stimulus lain. Hal ini dapat diperoleh dengan cara memberikan ST lain.
Generalisasi dan diskriminasi muncul dalam perilaku sehari-hari. Anak kecil yang telah merasa takut pada anjing (generalisasi). Lambat laun melalui proses penguatan dan peniadaan diferensial, rentang stimulus rasa takut semakin menyempit, hanya pada anjing yang berperilaku galak (diskriminasi).
B.
Macam Macam Teori Belajar Prilaku
1 . Teori Belajar Perilaku (Behavioristik)
Menurut teori ini, belajar dipandang sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma Stimulus – Respon (S-R), yaitu suatu proses yang memberikan respon tertentu terhadap stimulus yang datang dari luar. Proses S-R terdiri dari empat unsur.
- Pertama, dorongan (drive) yaitu siswa merasakan adanya kebutuhan terhadap sesuatu yang kemudian terdorong untuk berupaya memenuhi kebutuhan tersebut.
- Kedua, rangsangan (stimulus) yaitu sesuatu yang diberikan atau diperhadapkan kepada siswa.
- Ketiga, respon yaitu suatu reaksi yang muncul pada diri siswa sebagai akibat adanya (diberikannya) stimulus.
- Keempat, penguatan (reinforcement) yaitu tindakan yang perlu diberikan kepada siswa agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respon lagi.
Behaviorisme menekankan pada hasil belajar (berupa
perubahan tingkah laku) dan tidak memperhatikan pada proses berpikir siswa
(karena tidak dapat dilihat), Oleh karena itu, Galloway (1967), menganggap
proses belajar menurut behaviorisme sebagai suatu proses yang bersifat
mekanistik dan otomatik tanpa membicarakan apa yang terjadi di dalam
diri siswa selama belajar berlangsung.
2. Teori Koneksionisme (Connectionism Theory) dari Thorndike
Thorndike melakukan eksperimen dengan menggunakan kera. Thorndike meletakkan kotak berisi pisang di dalam kurungan. Untuk dapat mengambil pisang tersebut, kera harus terlebih dulu mencabut paku penjepit kawat. Pada percobaannya yang pertama, kera membutuhkan waktu 36 menit untuk mencabut paku penjepit kawat. Tetapi pada percobaan kedua, ternyata hanya dibutuhkan waktu 2 menit 30 detik.
Thorndike menerangkan perilaku kucing dan kera tersebut secara mekanistis. Jika suatu reaksi berhasil maka hubungan di antara reaksi tersebut dengan kondisi yang memberikan rangsangan akan diperkuat. Asosiasi-asosiasi yang berhubungan dengan reaksi-reaksi yang gagal makin lama makin lemah, yakni reaksi-reaksi yang gagal tersebut tidak muncul lagi.
Thorndike mengemukakan teorinya yang disebut sebagai Connectionism. Menurut teori ini, belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Terjadinya asosiasi tersebut menurut Thorndike berdasarkan hukum-hukum sebagai berikut:
a) Hukum Kesiapan(Law of readiness)
Hukum ini menjelaskan kesiapan individu untuk melakukan sesuatu. Ciri-ciri berlakunya hukum kesiapan adalah sebagai berikut:
2. Teori Koneksionisme (Connectionism Theory) dari Thorndike
Thorndike melakukan eksperimen dengan menggunakan kera. Thorndike meletakkan kotak berisi pisang di dalam kurungan. Untuk dapat mengambil pisang tersebut, kera harus terlebih dulu mencabut paku penjepit kawat. Pada percobaannya yang pertama, kera membutuhkan waktu 36 menit untuk mencabut paku penjepit kawat. Tetapi pada percobaan kedua, ternyata hanya dibutuhkan waktu 2 menit 30 detik.
Thorndike menerangkan perilaku kucing dan kera tersebut secara mekanistis. Jika suatu reaksi berhasil maka hubungan di antara reaksi tersebut dengan kondisi yang memberikan rangsangan akan diperkuat. Asosiasi-asosiasi yang berhubungan dengan reaksi-reaksi yang gagal makin lama makin lemah, yakni reaksi-reaksi yang gagal tersebut tidak muncul lagi.
Thorndike mengemukakan teorinya yang disebut sebagai Connectionism. Menurut teori ini, belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Terjadinya asosiasi tersebut menurut Thorndike berdasarkan hukum-hukum sebagai berikut:
a) Hukum Kesiapan(Law of readiness)
Hukum ini menjelaskan kesiapan individu untuk melakukan sesuatu. Ciri-ciri berlakunya hukum kesiapan adalah sebagai berikut:
- Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Orang tersebut bertindak, maka akan menimbulkan kepuasan dan tindakan lain yang tidak dilakukan.
- Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Orang tersebut tidak bertindak, maka akan muncul rasa tidak puas dan ia akan melakukan tindakan-tindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.
- Misalkan seseorang tidak mempunyai kecenderungan bertindak. Tetapi orang tersebut bertindak, maka akan muncul rasa tidak puas dan ia akan melakukan tindakan-tindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.
Menurut hukum
ini keberhasilan individu dalam melaksanakan sesuatu sangat tergantung pada kesiapannya. Belajar akan berhasil jika siswa telah siap untuk belajar.
b) Hukum Latihan (Law of exercises)
Hukum ini menunjukkan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Bila S (stimulus) diberikan akan terjadi R (respon). Lebih sering asosiasi S dan R digunakan akan membuat hubungan yang terjadi semakin kuat. Sebaliknya makin jarang asosiasi S dan R digunakan, akan membuat hubungan tersebut semakin lemah. Thorndike juga mengemukakan bahwa latihan yang berupa pengulangan tanpa ganjaran tidak efektif. Asosiasi antara S dan R hanya akan menjadi kuat jika diberikan ganjaran.
c) Hukum Pengaruh (Law of effect)
Menurut hukum ini, dalam suatu lingkungan, jika suatu tindakan (perilaku) menghasilkan perubahan yang memuaskan, maka terdapat kemungkinan tindakan tersebut akan diulangi lagi dalam situasi serupa dan akan semakin meningkat intensitasnya. Tetapi jika tindakan (perilaku) tersebut menghasilkan perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan tersebut kemungkinan tidak akan diulangi lagi.
Ganjaran dan hukuman berkaitan dengan hukum pengaruh ini. Ganjaran merupakan sesuatu yang diperoleh siswa atas keberhasilan atau usaha yang dilakukannya. Misalnya, nilai balik (tinggi) yang diperoleh pada hasil tesnya. Sedangkan, hukuman berkaitan dengan sesuatu yang diperoleh siswa sebagai akibat dari kegagalan atau pelanggaran yang dilakukan. Misalnya, nilai jelek atau teguran kepada siswa atas hasil tesnya. Menurut Thorndike, hukuman tidak selalu melemahkan hubungan S-R dan juga tidak mempunyai akibat yang berlawanan dengan ganjaran.
3. Teori Pengkondisian Operan (Operant Conditioning Theory)
Burhus Frederic Skinner (1904-1990) memulai karyanya dengan menerima asumsi-asumsi metode almiah sebagai pedoman berpikir mengenai perilaku manusia. Hal ini mengkristalisasikan ”behaviorisme radikal” menjadi gerakan sadar diri. McLeish (1986) mendeskripsikan prinsip-prinsip fundamental pandangan ini sebagai berikut:
b) Hukum Latihan (Law of exercises)
Hukum ini menunjukkan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Bila S (stimulus) diberikan akan terjadi R (respon). Lebih sering asosiasi S dan R digunakan akan membuat hubungan yang terjadi semakin kuat. Sebaliknya makin jarang asosiasi S dan R digunakan, akan membuat hubungan tersebut semakin lemah. Thorndike juga mengemukakan bahwa latihan yang berupa pengulangan tanpa ganjaran tidak efektif. Asosiasi antara S dan R hanya akan menjadi kuat jika diberikan ganjaran.
c) Hukum Pengaruh (Law of effect)
Menurut hukum ini, dalam suatu lingkungan, jika suatu tindakan (perilaku) menghasilkan perubahan yang memuaskan, maka terdapat kemungkinan tindakan tersebut akan diulangi lagi dalam situasi serupa dan akan semakin meningkat intensitasnya. Tetapi jika tindakan (perilaku) tersebut menghasilkan perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan tersebut kemungkinan tidak akan diulangi lagi.
Ganjaran dan hukuman berkaitan dengan hukum pengaruh ini. Ganjaran merupakan sesuatu yang diperoleh siswa atas keberhasilan atau usaha yang dilakukannya. Misalnya, nilai balik (tinggi) yang diperoleh pada hasil tesnya. Sedangkan, hukuman berkaitan dengan sesuatu yang diperoleh siswa sebagai akibat dari kegagalan atau pelanggaran yang dilakukan. Misalnya, nilai jelek atau teguran kepada siswa atas hasil tesnya. Menurut Thorndike, hukuman tidak selalu melemahkan hubungan S-R dan juga tidak mempunyai akibat yang berlawanan dengan ganjaran.
3. Teori Pengkondisian Operan (Operant Conditioning Theory)
Burhus Frederic Skinner (1904-1990) memulai karyanya dengan menerima asumsi-asumsi metode almiah sebagai pedoman berpikir mengenai perilaku manusia. Hal ini mengkristalisasikan ”behaviorisme radikal” menjadi gerakan sadar diri. McLeish (1986) mendeskripsikan prinsip-prinsip fundamental pandangan ini sebagai berikut:
a.
Perilaku harus
dipandang berketeraturan dan ditentukan oleh hukum kausalitas. Objek pengkajian
ilmiah ialah memahami sebab dan akibat sehingga perilaku dapat diramalkan dan
diubah jika perubahan itu diperlukan.
- Perilaku tidak mempunyai hakikat khusus atau tersendiri yang menuntut penggunaan metode unik atau pengetahuan khusus berbeda dari prosedur-prosedur ilmiah yang telah diterima untuk memahaminya. Kita harus menganggap bahwa hubungan-hubungan kausal yang telah ditemukan dalam ilmu-ilmu lain dapat diterapkan untuk mengkaji manusia, kecuali terdapat bukti yang bertentangan.
- Variabel-variabel yang dipilih untuk pengkajian haruslah dapat diamati. Variabel-variabel itu haruslah berkedudukan seperti metode dan teknik-teknik yang dipakai dalam sains (eksperimen dan observasi). Variabel-variabel tersebut tersedia untuk analisis ilmiah dan terdapat di luar organisme. Variabel-variabel berada di lingkungan terdekat atau dalam lingkungan historis organisme.
- Keadaan internal harus dipandang di bawah kontrol kekuatan-kekuatan yang mengontrol perilaku yang tampak. Keadaan internal tidak menerangkan perilaku dan harus dinyatakan tidak relevan sampai keadaan internal tersebut berada di bawah kontrol metode ilmiah.
Skinner
memperkenalkan konsep ”Pengkondisian Operan (Operant Conditioning)” untuk
menyebut prosedur tingkah laku yang dikembangkannya. Menurut Skinner, tingkah
laku organisme itu dapat dikontrol melalui pemberian penguatan (reinforcement)
yang tepat dalam lingkungan yang relative baru.
Skinner melakukan eksperimen dengan menggunakan seekor tikus lapar yang diletakkan dalam kotak yang disebut ”kotak Skinner (Skinner Box)”. Di dalam kotak tersebut, hanya terdapat sebuah jeruji yang menonjol di mana di bawahnya terdapat piring makanan dan di atasnya terdapat lampu kecil.
Tikus yang dibiarkan sendiri di dalam kotak berjalan ke sana ke mari. Kadang-kadang tikus melihat jeruji tersebut dan menekannya. Setiap kali tikus menekan jeruji, butir-butir makanan meluncur jatuh ke piring makanan. Tikus memakannya dan segera menekan jeruji kembali. Makanan ”menguatkan (reinforce)” terhadap penekanan jeruji dan kecepatan penekanan jeruji meningkat drastis. Bila tempat makanan tidak dihubungkan dengan jeruji sehingga penekanan jeruji tidak lagi mengeluarkan makanan, maka kecepatan penekanan jeruji akan berkurang.Pada percobaan dengan tikus di atas, jika setiap kali tikus menekan jeruji akan diikuti dengan jatuhnya makanan, maka tikus akan semakin cepat menekan jeruji. Kondisi ini disebut sebagai ”penguatan berkesinambungan (continuous reinforcement)”. Akan tetapi, bila makanan tidak lagi jatuh (pemberian makanan dihentikan) ketika jeruji ditekan, maka kecepatan penekanan jeruji akan semakin berkurang, bahkan mungkin tidak lagi terjadi. Respon yang sebelumnya diperkuat kini telah dihapuskan.
Apabila tempat makanan dihubungkan dengan jeruji hanya pada interval waktu tertentu misalnya setiap lima menit, sehingga makanan baru jatuh ketika jeruji ditekan setelah interval waktu lima menit. Maka penguatan yang dilakukan disebut sebagai ”penguatan interval (interval reinforcement)”. Jika interval waktu tersebut bersifat tetap, maka kita menghadapi suatu ”jadwal penguatan interval tetap (fixed interval reinforcement schedule)”.
Skinner melakukan eksperimen dengan menggunakan seekor tikus lapar yang diletakkan dalam kotak yang disebut ”kotak Skinner (Skinner Box)”. Di dalam kotak tersebut, hanya terdapat sebuah jeruji yang menonjol di mana di bawahnya terdapat piring makanan dan di atasnya terdapat lampu kecil.
Tikus yang dibiarkan sendiri di dalam kotak berjalan ke sana ke mari. Kadang-kadang tikus melihat jeruji tersebut dan menekannya. Setiap kali tikus menekan jeruji, butir-butir makanan meluncur jatuh ke piring makanan. Tikus memakannya dan segera menekan jeruji kembali. Makanan ”menguatkan (reinforce)” terhadap penekanan jeruji dan kecepatan penekanan jeruji meningkat drastis. Bila tempat makanan tidak dihubungkan dengan jeruji sehingga penekanan jeruji tidak lagi mengeluarkan makanan, maka kecepatan penekanan jeruji akan berkurang.Pada percobaan dengan tikus di atas, jika setiap kali tikus menekan jeruji akan diikuti dengan jatuhnya makanan, maka tikus akan semakin cepat menekan jeruji. Kondisi ini disebut sebagai ”penguatan berkesinambungan (continuous reinforcement)”. Akan tetapi, bila makanan tidak lagi jatuh (pemberian makanan dihentikan) ketika jeruji ditekan, maka kecepatan penekanan jeruji akan semakin berkurang, bahkan mungkin tidak lagi terjadi. Respon yang sebelumnya diperkuat kini telah dihapuskan.
Apabila tempat makanan dihubungkan dengan jeruji hanya pada interval waktu tertentu misalnya setiap lima menit, sehingga makanan baru jatuh ketika jeruji ditekan setelah interval waktu lima menit. Maka penguatan yang dilakukan disebut sebagai ”penguatan interval (interval reinforcement)”. Jika interval waktu tersebut bersifat tetap, maka kita menghadapi suatu ”jadwal penguatan interval tetap (fixed interval reinforcement schedule)”.
C.
Implementasi Dari Teori-Teori Yang Terkandung Di Dalam Teori Belajar Perilaku (Behavioristik)
1. Teori Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning Theory) dari Pavlov
Dalam lingkup pemerolehan bahasa pertama, classical conditioning ini dapat menjelaskan bagaimana kita belajar makna kata. Seperti diketahui dalam lingkungan banyak rangsangan yang dapat menimbulkan emosi positif atau negatif. Jika rangsangan-rangsangan bahasa, misalnya kata, frasa, atau kalimat, sering terjadi bersamaan dengan rangsangan-rangsangan lingkungan, maka ada akhirnya rangsangan bahasa tersebut dapat menimbulkan respon emosional walaupun tidak ada rangsangan lingkungan.
Contohnya, Yudi yang berumur sekitar 15 bulan akan menarik taplak meja makan. Ibunya segera mengatakan, “Tidak! Tidak!” sambil menepis tangannya dengan harapan Yudi akan menghubungkan sakit di tangannya dengan kata “Tidak! Tidak!” akan menimbulkan respon makna yang tidak menyenangkan bagi Yudi. Jika hal ini terjadi berulang kali dan respon emosional sudah ditransferkan dari hukuman fisik ke ujaran “Tidak! Tidak!”, maka pembiasaan telah berhasil. Jadi, kata “Tidak” menghasilkan respon emosional, sama halnya dengan bunyi bel menimbulkan respon air liur. Dengan demikian, ibu tersebut telah berhasil mengajarkan makna “Tidak”. Dengan kata lain, Yudi memahami makna “Tidak” yang berarti suatu larangan.
2. Teori Koneksionisme (Connectionism Theory) dari Thorndike
Menurut Thorndike, perubahan tingkah laku dapat berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati). Di dalam belajar praktik misalnya, perubahan tingkah laku seseorang dapat dilihat secara konkret atau dapat diamati. Pengamatan ini dapat diwujudkan dalam bentuk gerakan yang dilakukan terhadap suatu objek yang dikerjaakannya. Seorang guru memberikan perintah kepada siswa untuk melakukan kegiatan praktik merupakan ”stimulus” dan siswa dengan menggunakan pemikirannya, melakukan kegiatan praktik merupakan ”respon” yang hasilnya langsung dapat diamati. Dengan demikian, kegiatan belajar yang tampak dalam teori belajar tingkah laku dalam pandangan Thorndike mengarah pada hasil langsung belajar, atau tingkah laku yang ditampilkan.
3. Teori Pengkondisian Operan (Operant Conditioning Theory) dari B.F. Skinner
Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun.Guru dapat menyusun program pembelajaran berdasarkan pandangan Skinner. Dalam menerapkan teori Skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang penting, yaitu pemilihan stimulus yang diskriminatif dan penggunaan penguatan.
Langkah-langkah
pembelajaran berdasarkan teori pengkondisian operan sebagai berikut:
a.
Kesatu,
mempelajari keadaan kelas. Guru mencari dan menemukan perilaku siswa yang
positif atau negatif. Perilaku positif akan diperkuat dan perilaku negatif
diperlemah atau dikurangi.
- Kedua, membuat daftar penguat positif. Guru mencari perilaku yang lebih disukai oleh siswa, perilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang dapat jadi penguat.
- Ketiga, memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis penguatnya.
- Keempat, membuat program pembelajaran. Program pembelajaran ini berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku dan penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidakberhasilan tersebut menjadi catatan penting bagi modifikasi perilaku selanjutny.
DAFTAR PUSTAKA
Dahar,
Ratna Wilis.1989. Teori-Teori Belajar.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dimyati
& Mudjiono.2006. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ratumanan,
Tanwey Gerson.2002. Belajar dan Pembelajaran. Ambon: Unesa University
Press.
Slameto.2003.
Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Uno, Hamzah B.2008. Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di
Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
0 komentar:
Posting Komentar