Dalam
kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah
diatur oleh Alloh.Dia-lah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh
mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi
(seperti:wajib,sunnah,haram,makruh,mubah,maupun yang terkait) dengan hukum
wad’i (seperti:sebab,syarat,halangan,sah,batal,fazid,azimah dan rukhsoh).untuk
menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum
fih,karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum
haram.atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan
perintah syari’ itu adalah mahkum fih,sedangkan seseorang yang di kenai khitob
itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) berikut penjelasan masing-masing.
Yang
melatar belakangi masalah ini adalah bagaimana kita menyikapi definisi tentang ma’na hukum yang sebenarnya. Di
sini diungkapkan oleh beberapa ulama ushul fiqh yang dengan pendapatnya
masing-masing, di sana kita dapat menyimpulkan arti dari kata hukum tersebut.
Karena Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih, karena berkaitan
dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at Islam”; “siapakah
yang menentukan hukum syara”, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa
bagi pelanggarnya selain wahyu. Dalam ilmu ushul fiqh, hakim juga
disebut dengan syar’i.
Pembahasan
yang paling penting yang berkaitan dengan hukum, yang pertama, yang paling
mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan tentang siapa yang menjadi rujukan
sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu, karena pengetahuan atas hukum dan
kategorisasinya tergantung pada pengetahuan tentang al-hakim tersebut. Dan yang
dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah pemegang kekuasaan yang menerapkan
semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas hal tersebut, tapi yang dimaksud
dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum
atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja yang ada yang bersifat indrawi tidak
akan keluar dari kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak
termasuk perbuatan manusia. Ketika manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang
hidup di dalam alam semesta ini menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum
adalah karena manusia dan berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan
keharusan adanya hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan
perbuatan manusia tersebut.
Definisi
dari Syar’i adalah “titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku orang
mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan untuk berbuat dan ketentuan-ketentuan.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa “pembuat hukum” dalam pengertian Islam
adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia dan yang menetapkan aturan-aturan
bagi kehidupan manusia, baik hubungannya dengan kepentingan hidup dunia maupun
untuk kepentingan hidup di akhirat. Baik aturan yang menyangkut hubungan
manusia dengan Allah serta manusia dengan manusia dan alam sekitarnya. Serta
dapa diambil kesimpulan bahwa pembuat hukum dalam Islam adalah Allah SWT.
Hakim
termasuk persoalan yang sangat penting dalam Ushul Fiqh, sebab berkaitan dengan
pembuat hukum dalam syariat Islam, atau pembuat hukum syara’ yang mendatangkan
pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul Fiqh, hakim
juga disebut dengan Syar’i.
Didalam Makalah ini
akan di rumuskan beberapa masalah,
diantaranya adalah sebagai berikut:
- Apa Definisi Hukum itu ?
- Apa Definisi Hakim itu ?
PEMBAHASAN
Secara
etimlogi, hukum berarti man’u yang berarati mencegah, disamping itu juga hukum
berarti Qodha’ yang memiliki arti putusan. Sedangkan Ulama Usul Fiqh mengatakan
bahwa apabila disebut hukum, maka artinya adalah:
1. Menetapkan sesuatu atas sesuatu meniadakannya,
seperti menetapkan terbitnya bulan dan meniadakan pengelapan dengan terbitnya
matahari.
2. Khitab allah seperti, Aqimus Al-Shalata (Mendirikan Sholat).
Secara
terminologi, Hukum ialah: Khitab Allah yang menyebutkan segala perbuatan
mukallaf baik khitab itu mengandung perintah untuk dikerjakan atau larangan
untuk ditinggalkan atau menjelaskan kebolehan, atau menjadikan sebab atau
pengahalang bagi suatu hukum.
Pada
dasarnya para Ahli Usul Fiqih menjadikan hukum itu, nama bagi segala titah
Allah/ Nabi. Baik titah itu mengandung makna peritah, larangan ataupun yang
bersifat takhyir yangg berarti kebolehan bagi mukallaf untuk memilih untuk
dikerjakan dan ditinggalkan maupun titah itu menyatakan suatu sebab, syarat,
dan mani’ atau mencegah/menghlangi suatu pekerjaan atau perbuatan yang sah atau
rusak. Seperti firman Allah yang artinya:
“Janganlah kamu mendekati zina”
Menurut
para ahli Usul Fiqh Hukum ialah : Akibat dari khitab Allah itu pada perbuatan
mukallaf seperti wajib, haram, dan mubah mungkin timbul perkiraan sementara
orang menggap bahwa hukum syara’ itu terbatas pada yang tercamtum aka nash
saja. Karena itu, ijma, qiyas, dan sumber-sumber yang lain seperti yang serupa
dengan ijma, qiyas, dan sebagainya.
Penjelasan
Definisi al-Hukum Yang dimaksud Khithabullah adalah semua bentuk dalil-dalil
hukum, baik Quran, Sunnah, maupun Ijma’ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil
hanya Quran dan Sunnah, adapun ijma dan qiyas sebagai metode menyingkapkan
hukum dari Quran dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam Allah secara
langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena
Rasulullah Saw tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan
wahyu.
Demikian
pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah. Yang
dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia
dewasa, berakal sehat, termasuk perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan
ucapan (seperti ghibah).
Adapun
pembagian Hukum yaitu ada dua macam menurut Abdul
wahab khalaf, dalam kitabnya ilmu
usul al-fiqih.
Hukum
Taklifi ialah : Khitab atau Firman Allah yang berhubungan dengan segala
perbuatan para mukallaf baik atas dasar iqtidha atau atas dasar-dasar takhyir
(Yaitu titah Allah yang berbebtuk tuntutan atau pilihan).
Dengan
demikian Hukum Taklifi ialah; yang dituntut melakuakannya atau tidak
melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara melakukan dan tidak
melakukan. Khitab Allah yang mengandung tuntutan seprti dalam firman Allah yang
artinya:
“Hai orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”
Ayat
ini mengandung tuntutan untuk memenuhi janji, disamping itu ada lagi tututan
untuk tidak melakukan suatu perbuatan, seperti dalam firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah kalian mendekati zina”
Adapun
pembagian Hukum Taklifi yaitu ada lima, yaitu:
- Ijab(Mewajibkan), yaitu ayat atau hadis dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan.misalnya ayat yang memerintahkan untuk melakukan sholat.
- Nadbu(Anjuran untuk melakukan), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.
- Tahrim(Melarang) yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu perbuatan.
- Karahah,(Membenci), yaitu ayat atau hadis yang menganjurkan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
- Ibahah(Membolehkan), yaitu ayat atau hadis yang memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Seperti
dikemukakan Abdul-Wahhab khallaf,terbagi kepada 5 macam yaitu: wajib,
mandub,haram,makruh dan mubah.
1. Wajib
a. Pengertian Wajib
Secara etimologi kata wajib
berarti tetap atau pasti.secara terminology, sperti dikemukakan Abd. Al-karim
zaidan,ahli hukum islam berkebangsaan irak,wajib berarti:
Sesuatu yang diperintahkan
(diharuskan) oleh Allah dan rosul nya untuk dilaksanakan oleh orang
mukallaf,dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya
apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Contoh: makan atau
minum dengan menggunakan tangan kanan adalah wajib hukumnya, jika seorang
Muslim memakai tangan kiri untuk makan atau minum, maka berdosalah dia.
Contoh lain, Shalat subuh
hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yaharus dikerjakan,,jika tidak
berdosalah ia.Alasan yang dipakai untuk menetapkan pengertian diatas adalah
atas dasar firman Allah swt:
(فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (النور:63
“Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”(An-nur;63).
Dari ayat diatas
telah jelas bahwa setiap orang yang melanggar perintah agama maka akan ditimpa
musibah atau adzab, dan orang yang ditimpa adzab itu tidak lain melainkan
mereka yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan.
b. Pembagian Wajib
Bila dilihat dari segi orang yang di bebani kewajiban hukum wajib dapat
dibagi kepada dua macam yaitu:
1.
Wajib Aini
Yaitu kewajiban yang di bebankan kepada setiap orang yang sudah baliqh
berakal(mukallaf), tanpa kecuali.
2.
Wajib kifa’i(wajib kifayah)
Yaitu kewajiban yang di bebankan kepada seluruh mukallaf, namun
bilamanatelah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah
dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak
lagi diwajibkan mengerjakannya.
Bila dilihat dari segi kandungan
perintah,hukum wajib dapat dibagi kepada 2 macam:
1. Wajib mu”ayyan
Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi obyeknya adalah tertentu tanpa
ada pilihan lain.
2. Wajib mukhayyar
Yaitu suatu kewajiban dimana yang mejadi obyeknya boleh dipilih antara
beberapa alternative.
Bila dilihat dari waktu
pelaksanaanya,hukum wajib terbagi kepada dua macam.
1.
Wajib mutlaq
Yaitu kewajiban yang pelaksanaanya tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
2.
Wajib muaqqat
Yaitu kewajiban yang pelaksanaanya dibatasi dengan waktu tertentu.
2.
Mandub
a. Pengertian Mandub
Kata mandub dari segi bahasa berarti”sesuatu yang dianjurkan”.sedangkan
menurut istilah,seperti dikemukakan abdul
karim zaidan,adalah suatu
perbuatan yangdianjurkan oleh Allah dan rosulnya, dimana akan diberi pahala
orang yang melaksanakannya,namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya.
Contoh nabi Muhammad SAW bersabda:
-صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا. -رواه البخاري و
مسلم
Artinya: “Shaumlah sehari dan berbukalah sehari“. Hadits riwayat
Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Dalam hadits ini ada
perintah -صُمْ- “shaumlah”, jika perintah ini dianggap wajib, maka
menyalahi sabda Nabi saw yang berkenaan dengan orang Arab gunung, bahwa
kewajiban shaum itu hanya ada di bulan Ramadhan.
..مَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ؟
فَقَالَ شَهْرَ رَمَضَانَ إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا….
“….apa yang Allah wajibkan
kepadaku dari shaum? Beliau bersabda: (shaum) bulan ramadhan, kecuali engkau
mau bertathauwu’ (melakukan yang sunnah)….” Hadits riwayat Imam Bukhari.
Dari riwayat ini
jelas bahwa shaum itu yang wajib hanyalah shaum di bulan ramadhan sedangkan
lainnya bukan. Jika lafadz perintah dalam hadits yang pertama “shaumlah” itu
bukan wajib, maka ada 2 kemungkian hukum yang bisa diambil:
1. Sunnah
2. Mubah
b. Pembagian Mandub
Seperti dikemukakan abdul karim zaidan, mandub terbagi kepada beberapa
tingkatan:
1)
Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan),
yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh rosululloh dan jarang ditinggalkannya.
Misalnya,sholat sunnah 2 rokaat sebelum fajar.
2)
Sunnah Ghair Al-Muakkadah(sunnah biasa), yaitu
sesuatu yang dilakukan rosuulloh,namun bukan menjadi kebiasaan.misalnya
melakukan sholat sunnah dua kali dua rokaat sebelum sholat dzuhur
3)
Sunnah Al-Zawaid, yaitu mengikuti kebiasaan
sehari-hari rosuulloh sebagai manusia.misanya sopan santunnya dalam
makan,minum,dan tidur.
3. Haram
a.
Pengertian Haram
kata haram secara
etimologi berarti “sesuatu yang dilarang mengerjakannya”.secara terminology
ushul fiqih kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan rosul-Nya,
dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan dianggap dengan dosa.
Contoh: Nabi saw bersabda:
-لاَتَاْتُوا الكُهَّانَ. –رواه الطبراني
“Janganlah kamu datangi tukang-tukang ramal/dukun“.
Hadits riwayat Imam Thabrani.
Mendatangi tukang-tukang
ramal/dukun dengan tujuan menyakan sesuatu hal ghaib lalu dipercayainya itu
tidak boleh. Kalau orang melakukan hal itu, berdosalah ia.
Alasan untuk
pengertian haram ini, diantaranya sama dengan alasan yang dipakai untuk
menetapkan pengertian wajib, yaitu Al-Qur’an S.An-Nur: 63.
b. Pembagian
Haram
- al-muharram li Dzatihi, yaitu suatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudratan bagi kehidupan manusia,dan kemudratan itu tidak bisa terpisah dari dzatnya.misalnya larangan berzina.
- al-Muharram li ghairihi,yaitu suatu yang dilarang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudratan,namun dalam kondisi tertentu,sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial.misalnya larangan melakukan jual beli pada waktu adzan shalat jum”at.
4.
Makruh
a.
Pengertian Makruh
secara bahasa kata
makruh berarti “sesuatu yang dibenci”dalam istilah ushul fiqih kata makruh,
menurut mayoritas ulama ushul fiqih,berarti sesuatu yang dianjurkan syriat
untuk meninggalkannya,dimana bilamana ditinggalkan akan mendapat pujian dan
apabila dilanggar tidak akan berdosa.
Sebagai contoh: Makan
binatang buas. Dalam hadits-hadits memang ada larangannya, dan kita memberi
hukum (tentang makan binatang buas) itu makruh.
Begini penjelasannya:
binatang yang diharamkan untuk dimakan hanya ada satu saja, lihat Al-Qur’an
Al-Baqarah: 173 yang berbunyi:
-إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ… –البقرة: 173
“Tidak lain melainkan
yang Allah haramkan adalah bangkai ,darah, daging babi dan binatang yang
disembelih bukan karena Allah….”
b. pembagian
makruh
- Makruh tahrim,yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang melarang itu bersifat zhanni al-wurud (kebenaran datangnya dari rosululloh hanya sampai ke dugaan keras)
- Makruh tanzih,yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya.
5.
Mubah
a. pengertian mubah
Secara bahasa kata
mubah berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan.”menurut istilah ushul
fiqih ,seperti dikemukakan oleh abdul karim zaidan berarti: yaitu sesuatu yang
diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukallaf akan melakukannya atau tidak
melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Contoh: dalam Al-Qur’an ada perintah makan, yaitu:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا
زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ
لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan” Al-A’raf: 31
b. pembagian mubah
- Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan.
- Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu.
- Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.
Hukum Wadh’i adalah hukuman yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf yang mengandung persyaratan sebab atau mani’.
Para ulama’ usul fiqh menyatakan bahwa hukum wad’I
itu ada lima macam:
1.
Sebab
Sebab yaitu sifat yang nyata dan dapat di ukur yang
dijelaskan leh nash al-qur’an atau sunnah bahwa keberadaannya menjadi petunjuk
bagi hukuman syara’ artinya, keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan
suatu hukum. Misalnya: tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat
dzuhur.
2.
Syarat
Syarat ialah suatu yang menyebabkan adanya hukum
dengann adanya syarat dan bila tidak ada syarat maka hukum pun tidak ada.
Seperti pembunuhan yang dapat diajatuhi hukuman Qishas.
3. Mani’
Mani’ yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya
menyebabkna tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Seperti hubungan suami istri
dan hubungan kekerabatan menyebabkan terjadinya hubungan kewarisan.
4.
Syah
Pengertian syah yang pertama yang dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu
mempunyai pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan itu
mempunyai arti secara hukum.
Misalnya:ibadah itu dikatakan shah,dalam arti perbuatan itu dianggaptelah
memadai dan telah melepaskan orang yang melakukan nya dari tanggung jawabnya
terhadap Allah SWT dan telah menggugurkannya dari kewajiban qadha dalam hal-hal
yang dapat di -qadha.
Yang kedua dimaksud dengan shah
bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh
atau arti untuk kehidupan akhirat.Seperti berhaknya atas pahala dari Allah SWT.
5.
Bathal
Yang pertama yang dimaksud dengan bathal ialah untuk arti tidak berbekasnya
perbuatan bagi si pelaku dalam kehidupan di dunia,arti ini berbeda dalam arti
muamalat dan akad.arti bathal dalam ibadah adalah bahwa ibadah itu tidak
memadai dan belum melepaskan tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban
qadha.
Yang kedua bathal digunakan untuk tidak berbekasnya perbuatan itu bagi si
pelaku di akhirat,yaitu tidak menerima pahala.
6.
Fasid
Terdapat kesama”an dalam hal penamaan batal dengan fasid dalam ibadah
yaitu:suatu perbuatanyang dilakukan
tidak memenuhi rukun dan syarat,atau belum berlaku sebab atau terdapat
mani(penghalang).
Kata
Hakim secara etimologi berarti “Orang Yang Memutuskan Hukum”. Dalam istilah
fikih kata hakim juga sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang
sama hal ini dengan Qadhi.
Ulama
Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum
syariat adalah Allah SWT. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-An’am ayat
57:
إ ن الحكم إلا لله يقص الحق وهو خير الفا صلين (
ا لأ نعام:576)
Artinya:
“...menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia yang menerangkan sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am/ 6:57)
Meskipun
para ulama ushul sepakat bahwa yang membuat hukum adalah Allah SWT, tapi mereka
berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah SWT hanya
dapat diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah saw atau akal
secara independen bisa juga mengetahuinya.
Adapun
sebelum datangnya wahyu, ulama berselisih peranan akal dalam menentukan baik
buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang
berbuat buruk dikenakan sanksi. Dalam Islam tidak ada syariat kecuali dari
Allah SWT. baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunnah,
haram, makruh dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi
(sebab, syarta, halangan, sah, batal, fasid, azimah dan rukhsah). Menurut
kesepakatan para ulama’ hukum diatas itu semuanya bersumber dari Allah SWT.
Melalui Nabi Muhammad saw maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai
teori Istinbath, seperti qisas, ijma’ dan metode istinbath lainnya untuk
menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. dalam hal ini para Ulama Fiqh
menetapkan kaidah :
لاحكم الالله
Artinya
“tidak
ada hukum kecuali bersumber dari Allah SWT.”
Dari
kaidah diatas, ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai titah Allah SWT
yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pemilihan
maupun wadhi’.
Diantara
alasan para ulama Ushul Fiqh untuk mendukung pernyataan diatas adalah, sebagai
berikut:
1. QS. Al-Maidah: 44
ومن
لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
Artinya:
“barang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka
adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah:44)
2. QS. Al-Maidah: 49
واحكم
بينهم بما أنزل الله...
Artinya:
“dan
hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang ditunkan
Allah,...” (QS. Al-Maidah:49)
3. Diakhir ayat 45 surat al-maidah
ومن
لم يحكم بما أنزل الله فأو لئك هم الظالمون
Artinya:
“barang
siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Allah, mak
mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (QS. Al-Maidah:45).
4. Keharusan
untuk merujuk kepada al-Qur’an dan sunah apabila terjadi perbedaan pendapat
...فان تنا زعتم فى شيئ فردوه
الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون باالله و اليوم الأ خر...
Artinya:
“...apabila
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kiamat”
(QS. An-Nisa’: 59)
PENUTUP
1.
Hukum ialah Khitab Allah yang menyebutkan segala perbuatan Mukallaf, baik
Khitab itu mengandung perintah untuk dikerjakan atau larangan untuk
ditinggalkan atau menjelaskan kebolehan, atau menjadikan sebab,atau penghalang
bagi suatu Hukum.
Hukum terbagi kedalam
dua bagian, yaitu:
a.
Hukum Taklifi, yang meliputi: Ijab,Nadbu,Tahrim,Karohah,dan Ibahah.
b.
Hukum Wadh’i, yang meliputi: Sabab,Syarat,Mani,Syah,dan Fasid.
2. Al-Hakim adalah pihak yang menjatuhkan
Hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan diantara para Ulama bahwa hakikat
Hukum Syar’i itu ialah Khithab Allah yang berhubungan dengan amal perbuatan
Mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai Sebab,Syarat
atau Mani’ bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan diantara mereka
bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah SWT.
Sebagai Manusia yang tidak lepas dari kesalahan dan
kekurangan, penulis sadar akan kekurangan dalam pembuatan Makalah ini, untuk
itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan Makalah selanjutnya, untuk kritik dan sarannya diucapkan terima
kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus. Ushul
Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif. 2004,
Jakarta: Zikrul Hakim,
Khalaf, Abdul
Wahab, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy,
Bandung: Gema Risalah Press
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh Jilid 1,1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
0 komentar:
Posting Komentar