PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada dasarnya manusia diciptakan di
dunia ini adalah untuk berpikir, berpikir di sini dalam artian berpikir secara
mendalam untuk mencari kebenaran yang bersifat hakiki. Di dalam Al-Qur’an Allah
memerintahkan bahwa di dalam penciptaan bumi ini adalah untuk orang yang
berpikir, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 190:
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal”.
Kandungan ayat di atas memerintahkan
kepada semua manusia secara keseluruhan untuk berpikir. Jadi manusia diciptakan
di dunia ini bukan hanya untuk hidup, tetapi juga untuk memikirkan penciptaan
alam semesta ini. Ayat ini memerintahkan manusia berpikir agar menambah wawasan
dan pengetahuan.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan mengatakan
bahwa manusia yang dianggap pertama menggunakan akalnya secara serius adalah
Thales, ketika ia membuat sebuah pertanyaan “Apakah sebenarnya bahan alam
semesta ini”, kemudian ia menjawab sendiri pertanyaannya dengan mengatakan
bahwa bahan alam semesta ini adalah air. Oleh karenanya ia dikatakan sebagai
Bapak Filsafat. Dari pertanyaan yang dimunculkan oleh Thales tersebut, maka
muncul pemikiran-pemikiran lain yang lebih luas dan rumit pemecahan masalahnya,
sehingga pengetahuan yang mereka miliki juga berkembang.
Ilmu pengetahuan itu ada karena buah
pikir manusia. Berpikir adalah sebagai
pembeda yang memisahkan antara manusia dengan hewan. Manusia pada dasarnya sama
dengan hewan, namun yang membedakan manusia dengan hewan adalah dari
pengetahuan yang
dimilikinya, oleh karenanya dalam filsafat manusia dikatakan sebagai حيوان الناطق (hewan yang berpikir).
Kemajuan manusia dewasa ini tidak
lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Dalam upaya mencari dan memperluas
pemahamannya tentang pengetahuan, timbul beberapa pertanyaan seperti, apa yang
telah dan ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa
yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang
diketahui itu benar? Dan apa yang menjadi tolak ukur kebenaran? Bagaimana
kebenaran itu diaplikasikan?
Sederetan pertanyaan-pertanyaan di
atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan ini sudah terjawab dengan
sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika
masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu, maka akan ada
aturan yang harus diperhatiakan dalam mengkajinya melalui dimensi-dimensi
kajian ilmu, yaitu dimensi ontologi, dimensi epistemologi, dan dimensi
aksiologi. Dengan demikian dapat memberikan pemahaman tentang suatu kerangka
pendekatan pencarian kebenaran, proses yang ditempuh dalam pencarian kebenaran
tersebut dan sejauhmana kebenaran itu dapat dikatakan bermanfaat bagi kehidupan
manusia.
Berdasarkan permasalahan di atas,
maka penulis ingin menguraikan dan memberikan pemahaman tentang ke tiga dimensi
kajian filsafat tersebut dalam sebuah makalah dengan judul: “DIMENSI KAJIAN
FILSAFAT ILMU: ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI”.
Harapan penulis, makalah yang
sederhana ini dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar
pengembangan ilmu pengetahuan. Dan mudahan makalah ini dapat memberikan
kontribusi dan khazanah ilmu pengetahuan terhadap mahasiswa yang ingin memahami
tentang dimensi kajian filsafat teresbut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang
telah dipaparkan sebelumnya, maka makalah ini disusun dengan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan dimensi
Ontologi?
2. Apa yang dimaksud dengan dimensi
Epistemologi?
3. Apa yang dimaksud dengan dimensi
Aksiologi?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini ialah
untuk mengetahui dan memahami:
1. Dimensi Ontologi.
2. Dimensi Epistemologi.
3. Dimensi Aksiologi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Dimensi
Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang
membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Istilah ontologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu taonta berarti ‘yang ada’, dan logos berarti ‘ilmu
pengetahuan atau ajaran’. Dengan demikian ontologi berarti ilmu pengetahuan
atau ajaran tentang yang berada.1
Ontologi merupakan salah satu di
antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam
pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam
persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan
hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua
macam kenyataan, yaitu kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kenyataan
yang berupa rohani (kejiwaan).2
Pembahasan tentang hakikat sangatlah luas
sekali, yaitu segala yang ada dan mungkin ada, yang boleh juga mencakup peng]atahuan
dan nilai (yang dicari ialah hakikat pengetahuan dan hakikat nilai). Hakikat ialah kenyataan yang sebenarnya bukan keadaan yang bersifat
sementara atau keadaan yang menipu.3
Pembahasan tentang ontologi sebagai
dasar suatu ilmu ialah berusaha untuk menjawab “apa”, yang menurut Aristoteles
merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda.
Secara etimologi, kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On =
Ada, dan Logos = Ilmu pengetahuan, jadi ontologi adalah ilmu yang mempelajari
1 A. Susnto. Filsafat
ilmu. Jakarta: Bumi Aksara. 2011. Hal.90
2 Amsal Bakhtiar.. filsafat ilmu. Jakarta: Raja Grapindo Persada. 2004.
Hal.131
3 Ahmad Tafsir. filsafat umum. Bandung : Remaja Persada Karya. 2001.
Hal.28
tentang segala yang ada.4
Sedangkan pengertian ontologi secara
terminologi sebagaiman yang dikemukakan oleh A. Dardiri dalam bukunya
Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki
sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana
entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis,
hal universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional
ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada,
sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai
teori mengenai apa yang ada.5
Term ontologi pertama kali
diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M, untuk menamai teori
tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya
Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika
umum dan metafisika khusus.
Metrafisika umum dimaksudkan sebagai
istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.6
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.6
Di dalam pemahaman ontologi dapat
ditemukan beberapa pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:7
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh
kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang
4 Amsal Bakhtiar.. filsafat ilmu. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
2004. Hal. 134
5 http// sukses
pend. Blog sport.com/2009/06/makalah-landasan-ontologi-epistemologi.html.
15/05/2015
6 Amsal Bakhtiar.. filsafat ilmu. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
2004. Hal. 135
7 Ibid. Hal. 135
asal berupa materi ataupun berupa rohani. Paham ini kemudian
terbagi ke dalam dua aliran:
a.
Materialisme
Aliran ini menganggap hakikat benda
adalah materi, benda itu sendiri. Rohani, jiwa, spirit dan sejenisnya itu
muncul karena adanya benda. Bagi paham ini, rohani, roh, Tuhan, spirit itu
bukan hakikat, akan tetapi mereka muncul dari adanya benda. Jadi bendalah yang
menyebabkan mereka ada.8
Ada beberapa alasan mengapa aliran
ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:9
1)
Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba,
biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
2)
Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang
abstrak.
3)
Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat
benda adalah benda itu sendiri, bukan rohani. Rohani, jiwa, Tuhan ada itu
karena adanya benda. Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda
seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu
memperkuat dugaan bahwa yang merupakan haklekat adalah benda.
b. Idealisme
Aliran ini berpendapat sebaliknya,
hakikat benda adalah rohani, spirit atau sejenisnya. Aliran ini juga sering
disebut dengan spiritualisme. Alasan mereka ialah sebagai berikut:10
1)
Nilai roh lebih tinggi dari pada badan.
2)
Manusia
lebih dapat memahami dirinya dari pada dunia luarnya.
8 Ahmad Tafsir. filsafat umum. Bandung :
Remaja Persada Karya. 2001. Hal. 29
9 Amsal Bakhtiar.. filsafat ilmu. Jakarta: Raja Grapindo Persada. 2004.
Hal. 137
10 Ahmad Tafsir. filsafat umum. Bandung : Remaja Persada Karya. 2001. Hal.
30
3)
Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada,
yang ada energi itu saja.
2. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba
memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan
idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan
hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan
karena materi.11
Aliran dualisme berpendapat bahwa
benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat
materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat.
Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama
azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh
yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri
manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai
bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia
kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).12
3. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy
and Religion dikataka sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam
ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran
ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa
substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air,
api, dan udara.13
11 Amsal Bakhtiar.. filsafat ilmu. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
2004. Hal. 142
12 Ibid. Hal. 142
13 http// sukses pend. Blog sport.com/2009/06/makalah-landasan-ontologi-epistemologi.html.
15/05/2015
Tokoh modern aliran ini adalah
William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang
psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James
mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat
tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.14
4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin
yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah doktrin yang tidak mengakui
validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Fredrich
Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari keluarga pendeta.
Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani dengan segala
perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka
untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya moral di Eropa
sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani. Tetapi tidak dapat
dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan demikian ia sendiri harus
mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan transvaluasi
semua nilai.15
5. Agnostisisme
Agnostisisme adalah paham yang
mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat benda, baik hakikat
materi maupun hakikat rohani. Manusia tidak mungkin mengetahui hakikat batu,
air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat
terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh
inderanya maupun oleh pikirannya.16
Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan
mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan
dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu
kenyataan mutlak yang
14 http// sukses pend. Blog
sport.com/2009/06/makalah-landasan-ontologi-epistemologi.html. 15/05/2015
15 Amsal Bakhtiar.. filsafat ilmu. Jakarta: Raja
Grapindo Persada. 2004. Hal. 142
16 Ibid. Hal. 146
bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam
filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger,
Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan
sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup
sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan
tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.17
Jadi agnostisisme adalah paham
pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat
benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang
berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat bahkan
menyerah sama sekali.18
B.
Dimensi
Epistemologi
Epistemologi juga disebut dengan
teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etomologi, istilah
etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos
= teori.19
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai
cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan
syahnya (validitas) pengetahuan.
Pengetahuan yang diperoleh oleh
manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam
teori pengetahuan, di antaranya adalah:20
1. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan
hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang
bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan
universal.
17 Amsal Bakhtiar.. filsafat ilmu. Jakarta: Raja
Grapindo Persada. 2004. Hal. 147
18 Ibid. Hal. 148
19 Rizal Mustansyir dan Misna Munir. filsafat ilmu,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2008. cet VII. Hal. 16
20 Amsal Bakhtiar.. filsafat ilmu. Jakarta: Raja
Grapindo Persada. 2004. Hal. 152
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan,
maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau
logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa
logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut
memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.21
2. Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang
menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem
pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah
adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada
penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut
mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain
dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris
kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August
Comte (1798-1857) yang dilahirkan di Montpellier pada tahun 1798 dari keluarga
pegawai negeri yang beragama Katolik. Positivisme berasalah dari kata “positif”
yang memiliki arti sama dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta.22
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual,
yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada
sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui
secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian
metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang
gejala-gejala saja.
21 Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di
indonesia suatu kajian dalam dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Jakarta:
Bumi Aksara. 2011. Hal. 125
22 Juhaya S. Praja. aliran – aliran filsafat dan
etika. Jakarta : Prenada Belia. 2003. Hal. 133
4. Metode
Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan
indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang
dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan sutu kemampuan akal yang
disebut dengan intuisi. Pengetahuan
yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi
seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula
berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini
diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini
dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan
metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk
mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.23
C.
Dimensi
Aksiologi
Pengertian aksiologi berasal dari
perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi
aksiologi adalah “Teori tentang nilai”. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika.24
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika
merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai
untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek
formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah
laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang
pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap
23 Amsal Bakhtiar.. filsafat ilmu. Jakarta: Raja
Grapindo Persada. 2004. Hal. 165
24 http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/dasar-dasar ilmu.html#sthash.MXozNSxX.dpuf. 15/05/2015
lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.25
Nilai itu objektif ataukah subjektif
adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai
akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal,
kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya
dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai
subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimilki akal budi
manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu
akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak
tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul
karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini
beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang
memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Nilai dalam ilmu pengetahuan.
Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas
melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat
mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya
tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan
baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat
dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama, adat istiadat.
Tetapi perlu disadari setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa
berdampak positif dan negatif. Dalam hal ini ilmuwan terbagi dua golongan
pendapat. Golongan pertama berpendapat mengenai kenetralan ilmu. Ilmuwan
hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
menggunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral, sebagai ukuran
kepatutannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat ilmu merupakan kajian yang
dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan
dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal
sebagai berikut:
1. Dimensi ontologi, yaitu ilmu yang
mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat pertama kali dikemukakan oleh tokoh
filsafat Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu itu adalah air.
Kemudian dalam perkembangannya, muncul paham-paham tentang ontologi meliputi
monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme.
2. Dimensi epistemologi, yaitu cabang
filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya
(validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu terdapat
beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan
dialektis.
3. Dimensi aksiologi, yaitu teori
tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk
kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk
meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan
pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang
diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.
Ke tiga landasan di atas merupakan
dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami dalam mendalami dasar-dasar
segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling berkaitan erat satu sama lain
sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat kebenaran ilmu.
Selayaknya
pencetus karya adalah mengharapkan karya tersebut dapat menjadi manfaat bagi
orang lain dan dirinya sendiri, seperti itu pula harapan yang ada ketika
penyusunan makalah sederhana ini. Adapun bentuk kekurangan dan kesalahan tentu
tidak akan terlepas karena merupakan sisi kemanusiaan yang mendasar dari
kejiwaan manusia, sehingga dengan bersikap bijak adalah mengharapkan motivasi
yang membangun dalam bentuk kritik dan saran.
Pada
akhirnya ucapan terima kasih yang tidak terhingga dengan kesempatan dan
perhatian yang diberikan, setidaknya permohonan maaf atas segala kesalahan dan
kelalaian dalam makalah ini atau di dalam proses pembuatan makalah sederhana
ini, baik dari paragraf, kalimat, kata, atau sikap selama proses pembuatan
makalah ini. Selanjutnya tidak etis rasanya jika tidak sama-sama mendoakan,
semoga segala bentuk pekerjaan yang disertai dengan ketulusan niat membuahkan
keridhaan dari Allah yang Maha Rahman.
DAFTAR PUSTAKA
A. Susnto. Filsafat ilmu. Jakarta: Bumi Aksara. 2011.
Ahmad Tafsir. filsafat umum. Bandung : Remaja
Persada Karya. 2001.
Amsal Bakhtiar.. filsafat ilmu. Jakarta:
Raja Grapindo Persada. 2004
http// sukses pend. Blog
sport.com/2009/06/makalah-landasan-ontologi-epistemologi.html. 15/05/2015
http://ponda-samarkand.blogspot.com/2013/01/dasar-dasar ilmu.html#sthash.MXozNSxX.dpuf. 15/05/2015
Juhaya S. Praja. aliran – aliran filsafat
dan etika. Jakarta : Prenada Belia. 2003.
Rizal Mustansyir dan Misna Munir. filsafat
ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2008. cet VII.
Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya
di indonesia suatu kajian dalam dimensi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 2011.
0 komentar:
Posting Komentar