Rabu, 25 Mei 2016

Titian Hijrah



Titian Hijrah
mari berhijrah .......
 “nak! Bila kamu sudah berusaha, jadikan dirimu bagaikan air yang mengalir di sungai takdirnya Allah. Tetapkan hatimu, cobaan memang selalu menemani setiap insan yang hidup di dunia ini”. Kata-kata yang tetap ku ingat di manapun kaki ini berpijak, mata ini memandang. Sebuah pesangon terbaik yang di berikan kepada ku saat bersilaturrohmi ke rumah guru ku, dia memang tak memberikan aku sepeser uang menjadi bekal ku melanjutkan menuntut ilmu tapi tak ku sangka kata- kata ini selalu terngiang-ngiang di telingaku. Menjadi  sebuah kebiasaan bagi kami pelajar dari tanah utara bila berangkat melanjutkan study ke tingkat lebih tinggi harus bersilaturrohmi kepada semua keluarga, guru-guru beserta tokoh agama di kampungku, dengan satu alasan agar mendapat do`a dari mereka semuanya.
Pagi itu setelah pengumuman ujian nasional , semua siswa  membicarakan kemana mereka akan melanjutkan sekolah, ada yang ke perguruan tinggi ada yang mencari nafkah ke negri seberang, ada yang ingin menikah dll.
“san ! kamu mau melanjutkan kemana”? Tanya toni
“Eh toni gak tau ni, masih dengar keputusan orang tua apa di kasih melanjutkan atau ndak”, jawab ku, “lanjut aja..... kamu tu pintar ndak kan sia-sia kok kalau kamu di sekolahkan, banyak kan juga guru yang tawarin beasiswa ke kamu” lanjut toni. “ya ntar aja kita liat”jawab ku. “Kalau kamu mau lanjutkan kemana?” tanya ku. “kalau aku udah capek sekolah san mau nya kerja aja dulu ke malaysia, cari duit dulu baru sekolah. Ku juga gak pinter-pinter amat” jawab toni. “ntar jangan nyesel, banyak kok yang bilang gitu tapi ujung-ujung nya nggak sekolah”tanggap ku.
Asyik berbincang-bincang, pengumuman dari dalam kantor terdengar di telinga siswa siswanya.” Di umumkan bagi siswa yang telah menerima kelulusan supaya menghadiri acara perpisahannya nanti, dan sekarang semua siswa bisa pulang ke rumah masing masing .....trimakasih!!”.
            Setelah pengumuman, aku berkeliling ke rumah keluarga menginformasikan bahwa aku lulus dalam ujian, sampai di rumah ibu dan ayah menyambut dengan mata berbinar-binar dan aku lansung bersalaman, memeluk kedua orang tua ku denga penuh kesyukuran, mereka sangat berbahagia dengan hal itu.
            Saat malam ketika lentera menyala dalam heningnya kegelapan malam ibu dan ayah memanggilku dari beranda rumah,
Ibu: san lagi apa ?, sini ada yang mau ibu dan ayah bicarakan.
Ya bu, ku menjawab dan segera pergi menemui mereka di beranda rumah. Ada apa bu, tanya aku saat di hadapan mereka.
Ibu: di mana kamu mau melajutkan sekolah mu nak?
Hasan : di mana pendapat ibu dan ayah saja kalau toni nurut aja.
Ayah: gak bisa gitu, kami siap membiyai mu kemana kamu mau melajutkan pelajaranmu.
Hasan : ya yah nanti hasan mau ke guru-guru toni dulu mau cari pendapat kemana toni mau melanjutkan.
Ibu: gimana..hasan ikut aja beasiswa yang di sekolah hasan lewat pak guru ilham, kemarin kan hasan sempat di tawari beasiswa?
Hasan : ya sih bu, hasan mau tapi banyak persyaratannya,
Ayah: mana-mana hasan aja, ayah siap biayai hasan kemanapun toni mau melanjutkan sekolah yang penting toni sekolah biar jangan seperti ayah yang hanya bisa di sawah, kerja di bawah terik matahari, dengan penghasilan pas-pasan.
hasan: ya yah.
            Keluarga ku adalah keluarga sederhana hidup dari 5 sawah yang di berikan oleh nenek untuk bercocok tanam, dengan menanam padi, jagung, kacang dll, yang bisa untuk memenuhi kebutuhan kita setiap harinya. Semua kebutuhan untuk sekolah ku bisa di lunasi dari hasil sawah itu, tapi ku gak tau kebutuhan untuk melajutkan ke sekolah tinggi akan bisa cukup atau tidak dengan hasil sawah itu.
Ke esokan harinya ku menuju rumah salah satu guru di sekolah ku . Saat berada di depan rumahnya terlihat agak sepi itu ku coba mengucapkan salam.
Assalamualaikum... (tak ada jawaban)
Assalamualaikum (tak ada jawaban) sempatku berjalan mundur mencari pak guru di belakang rumahnya tapi ibu guru membuka pintu.
Ibu guru: waalaikumussalam.. ehhh hasan masuk san,,,,
Hasan ; yak bu, bapak kemana?
Ibu guru: bapak lagi manjat pohon cengkih di belakang rumah, ada apa?
Hasan : gak ada bu, cuman minta nasihat dari bapak tentang kelanjutan sekolah toni.
Ibu guru:  ya udah ibu paggilkan bapak dulu ya.
Hasan : ya bu maksih.
            Dalam gubuk kecil sederhana itu tampak poster yang agak lama dan sudah lusuh sebuah kumpulan poto-poto seseorang yamg menggunakan imamah tampak mereka begitu suci dan alim dengan berpakaian putih yang berderet rapi terbaground masjid dan di atas nya tertulis “MA`HAD DARUQUR`AN WALHADITS AL MAJIDIYAH AS`SYAFI`IYAH NW “ lama ku memandangi wajah satu persatu yang ada di poster itu yang ku kenali hanya satu foto yang berada di atas kepala mereka yaitu foto bapak maulana syaikh,
“itu para guru di sekolah tinggi dengan pelajaran agama saja” suara pak guru yang yang melihatku memandangi poster itu dan membuatku agak kaget dengannya.
Bapak: ada apa nak pagi gini udah datang ke sini tumbennya?
Hasan : ya pak, saya kesini minta pendapat bapak ,saya melanjutkan kemana karna yang paling tahu masalah pendidikan murid-muridnya itukan hanya bapak guru.
Bapak guru: ya nak tapi semua terserah nak saja, yang sekolah kan nak hasan sendiri. Bapak kasih pandangan saja nak
Hasan : ya pak, di mana sekolah ini pak? Sambil menujuk poster tadi.
Pak guru: di lombok timur nak, pakaian serba putih seperti orang solat, pakai peci warna putih, baju koko putih, dan sarung warna putih itu seragam yang di gunakan di sana nak. Bapak dulu sekolah di sana nak. Pada masa ini kita butuh bekal agama yang kuat agar kita tidak salah jalan dalam kehidupan ini,
Hasan : ada besiswa gak pak kalau sekolah di sana?
 Bapak guru: nak, kita tetap membutuhkan biaya di mana kita melanjukan sekolah, ingat kan kata-kata pak guru kemarin di depan kelas setelah berdo`a, “ syarat menuntut ilmu cerdas, tamak, sabar, biaya, adanya guru dan waktu yang lama”.
Hasan : ya pak.
Pak guru: menurut bapak kamu bisa melanjutkan di sekolah ini demi nak hasan juga, memperkuat ilmu agama dan nanti bisa memperbaiki masyarakat yang semakin jauh dari pandangan agama.
Hasan : ya pak, nanti saya kasih tau bapak dan ibu yang ada di rumah. Trimaksih pak kalau begitu saya pamit dulu ada yang mau kami rencanakan terkait perpisahan dengan teman-teman.
Pak guru: ya sudah hati-hati ya nak, sukses selalu di manapun kamu melanjutkan sekolah, tetaplah semagat.
Hasan: ya pak maksih, assalamualaikum
            Setelah berlalu di gubuk sederhana itu, ku melanjutkan bertemu degan teman-teman untuk merancang acara perpisahan tapi hatiku terus mengingat poster itu, sepertinya ku sangat tertarik untuk bisa bersekolah di sana, seperti adanya magnet yang selalu menarik hatiku untuk mengingatnya, ma`had, ma`had, ma`had, bagai desiran tasbih yang ada di dalam hatiku yang makin lama bagai derasan aliran hujan yang turun dari langit menerpa tandusnya bumi.
            Setibanya di rumah aku lansung menemui ibu dan ayah bermaksud mceritakan hajatku yang ingin berlanjut sekolah di ma`had, “ ayah ibu aku ingin sekolah di peruruan tinggi ma`had namanya” kataku kepada mereka.
ayah: ya nak di mana itu?
Hasan : di lombok timur yah.
Ibu: yakin mau ke sana melanjutkanya, kenapa ndak di mataram aja tempat misan mu sekolah yang ada besiswanya, kalau di ma`had itu ijazahnya seperti di sma yang tidak ada gunanya di mata pemerintah, tidk bisa di gunakan mengajar di sekolah ataupun menjadi PNS.
Bapak: itu kata-kata orang nak tapi kalau bapak terserah hasan aja.
            Sempatku memikirkan kata-kata ibu yang mengatakan hal itu kepadaku, tampaknya ibu tidak setuju melihatku melanjutkan sekolah di sana, sedih bila ku mengingat kata-kata ibuku dan kata-kata ibu terus mengiang di benak ku, membuatku gelisah. Ku berpikir ibu bilang seperi itu karena takut akan biaya yang kurang bila ku sekolah di sana. Perasaan ini ndak tenang akan kata-kata itu, sempat ku mendengar kata-kata tetagga mengenai keputusanku dan tampak ibu bersama mereka saat menceritakan tentang keputusanku karna anak-anak tetangga ku bersekolah di bidang kedokteran, akademik, dan tempat kuliahnya di kampus-kampus ternama dan bergengsi tapi aku hanya sekolah di ma`had. Setiap malam ku memikirkan kata-kata ibu itu, dengan perasaan tdak tenang ku mengambil air wuduk dan melaksanaka solat isya dan ku lanjutkan dengan solat hajat meminta petunjuk kepada Allah akan masalah yang ku hadapi ini.
            Ku berjalan di tengah lapangan yang penuh rerumputan hijau, bersinar terang dan menyilaukan setelah memperhatikan dengan seksama ku melihat jejak-jejak kaki yangi tampak di tanah, perjalanan orang-orang yang banyak sekali menggunakan pakaian serba putih dan mereka berkumpul membentuk saf-saf dalam solat, ku mendekati mereka dengan hati takut dan penuh rasa penasaran, saat ku sudah dekat dengan mereka ku bangun dari tidur ku dengan perasaan mantap bahwa ku melanjutkan sekolah di ma`had, aku anggap mimpi itu sebagai petunjuk dari Allah untukku.
            Keesokan harinya ku menceritakan semuanya kepada orang tuaku tentang mimpi itu kepada ibu dan bapakku tapi masih saja wajah ibu seperti tidak mengizinkan aku untuk melanjutkan ke ma`had yang membiatku semakin tertegun dan tidak berani meninggung masalah sekolah di hadapan ibu. Perkataaan-perkataan para keluarga dan tetangga mulai terdengar di telinga ku bagai cemoohan dan kadng-kadang terdengar seperti cacian dan olokan,” bodohnya anak ini tidak mau mengambil beasiswa yang sudah di tawarkan, bodoh sekali jauh-jauh pergi sekolah padahal di dekatnya ada sekolah lebih terkenal” dan lain-lain kata-kata itu bergelinciran dengan berlimpah di pikiran ku. Walaupun begitu, ku tetap kokohkan kaki melangkah menjauhi mereka, ku fokuskan pandangan menghadap ke depan tanpa memperdulikan kata-kata mereka, ku kukuhkan hatiku menyapu bayang-bayang mereka.
            Hari demi hari berlalu begitu saja bagaikan hembusan angin, tekad yang sudah bulat tak bisa di ganggu gugat biarkan ibu dan mereka yang tak suka akan keputusan ku akan menyadari semuanya teriring dengan waktu. Tibalah hari di mana aku ke anjani untuk pertama kalinya dengan niat berdaftar dan mencari pemondokan,aku di bantu salah seorang teman lama yang sudah mondok dan belajar di ma`had dan di samping pndoknya aku akan mondok.
            Siang itu, Jalan yang lurus sepi berubah menjadi jalan yang di banjiri santri dari ruas jalan sebelah kanan dan ruas jalan sebelah kiri pemandangan yang membuatku heran dan ta`jub, “anjani lautan satri” dengan pakaian  serba putih beriringan begitu ramai dan lama, sempat ku melihat kebanyakan di antara mereka memegang tasbih di tangan kanan mereka dan beberapa kitab besar di tangan kirinya, langkah nya anggun tertunduk dan cepat tanpa melirik maupun menoleh ke kanan kekiri, sungguh langkahnya tetesan malu dan wajah polos mereka di hiasi gerakan kecil bibir bibir mereka di sertai butiran tasbih yang bergelinciran terus tanpa henti di tangan mereka entah apa yang  mereka baca aku tak  tahu. Dan sosok perempuan yang kulihat berpakaian putih dengan batik halus yang terikat begitu kuat dan rapi beriringan dengan jalan pelan danpa menengadahkan pandangannya, merek tertunduk malu bila laki-laki hendak melewatinya dia berhenti sejenak di pinggiran jalan hingga laki-laki yang melewatinya berlalu di hadapan mereka. Lama  ku tertegun atas pemandangan pertama saat ku menapaki langkah kecil di anjani terasa inilah kekaguman yang menggelegar di hati, sesuatu yang tak terbayangkan baru saja baru saja menampar imajinasiku, logikaku luluh, rasio ku melepuh, dan akal pikiranku kukuh “ini nyata dan ini nyata ”. tak ada sesal hinggap di benakku yang ada hanya keinginan ingin segera bersama mereka di tengah-tengah mereka menimba ilmu agama, hari aku daftar itu sudah mencapai ribuan dan ku tullab ke dua ribu sekian yang mendaftar di ma`had.
            Sampailah hari di mana ku mempersiapkan semua barang-barang yang sudah ku siapkan di rumah dan itu yang ku bawa mondok. Namun sebelum selesai mempersiapkan, aku di suruh untuk bapak pergi berkeliling meminta do`a kepada semua guru dan keluarga, lama ku berkeliling dari desa ke desa dari dusun ke dusun hingga akhirnya ke rumah guruku, setelah ku bersalamn dengan bapak guru, ia tidak melepaskan tangan ku kemudian ia memberikan bekal bagi mentalku ini dengan dia berpesan kepadaku “nak! Bila kamu sudah berusaha, jadikan dirimu bagaikan air yang mengalir di sungai takdirnya Allah. Tetapkan hatimu, cobaan memang selalu menemani setiap insan yang hidup di dunia ini” tanganku masih tertegun di tangannya, bersalaman dengan erat yang ku rasakan bagai sebuah energi baru saja menyirami kepalaku ini, ku cium tangannya dan ku ucapkan “ do`akanku pak guru” pintaku, “ya nak” balasnya.
            Dan tibalah hijrah itu ku lakukan, teriring do`a yang di panjatkan untuk keberhasilanku dan serpihan kutu-kutu cacian yang tak ku pedulikan. Ku coba tegar menjalani semua ini tapi hati tak bisa ku bohongi tetesan-tetesan air mata mulai megalir dari celah-celah mata ini, baru ku rasakan jauh dari orang tua.
Di tanah anjani aku labuhkan hijrahku, berharap ilmu yang ku dapatkan bisa bermamfaat bagi masyarakat tempat ku berasal, mengais sedikit ilmu dan keberkahan dari para masyaikh, dari para ustaz. Malam pertama ku sengaja mengurug diri dalam kamar di pondok sederhana itu ku merenungkan semua yang ku lakukan ini, memikirkan apa yang akan aku lakukan setelahnya.
Keesokan harinya, Aku awali hariku menuntut ilmu dengan berbaju putih, bersarung putih, dan bertopi putih, bernuansa jelas terasa, suasana seperti mengikuti solat idul fitri, nuansa begitu suci dan begitu damai,  ntah apa yang merasuki hatiku hingga setenang ini. Pujian dan kesyukuran ku kepada Allah tak henti-hentinya, berada di tengah-tengah ribuan tullab ma’had adalah sebuah anugrah yang luar biasa , Hati ini semakin kokoh, tak ada perasaan menyesal sedikitpun hinggap di kepala ku, tak ada sedikitpun tersisa kata-kata mereka yang meremehkanku, mencemoohkaku, bahkan mencaci semua keputusan ku. ku berharap akan ada terlintas keberkahan dalam hidupku yang akan membungkam setiap cacian yang ia lontarkan kepadaku, kata-kata  mereka tetap terngiang di kepalaku mengingatkan aku akan kesungguhan dan mejawab semua kata-kata mereka.
Sekian tahun lamanya hasan mengais ilmu dan keberkahan dalam hijrahnya, tanpa mengeluh ia tetap mengais ilmu dan keberkahan itu pada semua gurunya. Setiap pagi ia terlihat duduk bersimpuh di hadapan gurunya dan kadang-kadang ia menjadi khadam guru-gurunya dan tak asing juga terlihat ia membersihkan toilet gurunya menimbakan gurur-gurunya air dan lain sebagainya, semuanya dia lakukan.
Dia menjadi sosok yang bijaksana, kata-katanya halus penuh hikmah, tampak kearifan budi pekertinya dalam berkalam, ilmunya ia bagikan dalam kampungnya untuk masyarakatnya, dialah sosok yang di rindukan masyarakat, semua permasalahan selalu di ambil dari pendapatnya. Cacian yang dahulu berubah jadi pujian hingga mereka menyesal telah menghina hasan.
Trimakasihh.....

0 komentar:

Posting Komentar