Titian Hijrah
mari berhijrah ....... |
“nak!
Bila kamu sudah berusaha, jadikan dirimu bagaikan air yang mengalir di sungai
takdirnya Allah. Tetapkan hatimu, cobaan memang selalu menemani setiap insan
yang hidup di dunia ini”. Kata-kata yang tetap ku ingat di manapun kaki ini
berpijak, mata ini memandang. Sebuah pesangon terbaik yang di berikan kepada ku
saat bersilaturrohmi ke rumah guru ku, dia memang tak memberikan aku sepeser
uang menjadi bekal ku melanjutkan menuntut ilmu tapi tak ku sangka kata- kata
ini selalu terngiang-ngiang di telingaku. Menjadi sebuah kebiasaan bagi kami pelajar dari tanah
utara bila berangkat melanjutkan study ke tingkat lebih tinggi harus
bersilaturrohmi kepada semua keluarga, guru-guru beserta tokoh agama di
kampungku, dengan satu alasan agar mendapat do`a dari mereka semuanya.
Pagi itu setelah pengumuman ujian
nasional , semua siswa membicarakan
kemana mereka akan melanjutkan sekolah, ada yang ke perguruan tinggi ada yang
mencari nafkah ke negri seberang, ada yang ingin menikah dll.
“san ! kamu mau melanjutkan kemana”? Tanya toni
“Eh toni gak tau ni, masih dengar keputusan orang
tua apa di kasih melanjutkan atau ndak”, jawab ku, “lanjut aja..... kamu tu
pintar ndak kan sia-sia kok kalau kamu di sekolahkan, banyak kan juga guru yang
tawarin beasiswa ke kamu” lanjut toni. “ya ntar aja kita liat”jawab ku. “Kalau
kamu mau lanjutkan kemana?” tanya ku. “kalau aku udah capek sekolah san mau nya
kerja aja dulu ke malaysia, cari duit dulu baru sekolah. Ku juga gak
pinter-pinter amat” jawab toni. “ntar jangan nyesel, banyak kok yang bilang
gitu tapi ujung-ujung nya nggak sekolah”tanggap ku.
Asyik berbincang-bincang, pengumuman
dari dalam kantor terdengar di telinga siswa siswanya.” Di umumkan bagi siswa
yang telah menerima kelulusan supaya menghadiri acara perpisahannya nanti, dan
sekarang semua siswa bisa pulang ke rumah masing masing .....trimakasih!!”.
Setelah
pengumuman, aku berkeliling ke rumah keluarga menginformasikan bahwa aku lulus
dalam ujian, sampai di rumah ibu dan ayah menyambut dengan mata berbinar-binar
dan aku lansung bersalaman, memeluk kedua orang tua ku denga penuh kesyukuran,
mereka sangat berbahagia dengan hal itu.
Saat
malam ketika lentera menyala dalam heningnya kegelapan malam ibu dan ayah
memanggilku dari beranda rumah,
Ibu: san lagi apa ?, sini ada yang mau ibu dan ayah
bicarakan.
Ya bu, ku menjawab dan segera pergi menemui mereka
di beranda rumah. Ada apa bu, tanya aku saat di hadapan mereka.
Ibu: di mana kamu mau melajutkan sekolah mu nak?
Hasan : di mana pendapat ibu dan ayah saja kalau
toni nurut aja.
Ayah: gak bisa gitu, kami siap membiyai mu kemana
kamu mau melajutkan pelajaranmu.
Hasan : ya yah nanti hasan mau ke guru-guru toni
dulu mau cari pendapat kemana toni mau melanjutkan.
Ibu: gimana..hasan ikut aja beasiswa yang di sekolah
hasan lewat pak guru ilham, kemarin kan hasan sempat di tawari beasiswa?
Hasan : ya sih bu, hasan mau tapi banyak
persyaratannya,
Ayah: mana-mana hasan aja, ayah siap biayai hasan
kemanapun toni mau melanjutkan sekolah yang penting toni sekolah biar jangan
seperti ayah yang hanya bisa di sawah, kerja di bawah terik matahari, dengan
penghasilan pas-pasan.
hasan: ya yah.
Keluarga
ku adalah keluarga sederhana hidup dari 5 sawah yang di berikan oleh nenek
untuk bercocok tanam, dengan menanam padi, jagung, kacang dll, yang bisa untuk
memenuhi kebutuhan kita setiap harinya. Semua kebutuhan untuk sekolah ku bisa
di lunasi dari hasil sawah itu, tapi ku gak tau kebutuhan untuk melajutkan ke
sekolah tinggi akan bisa cukup atau tidak dengan hasil sawah itu.
Ke esokan harinya ku menuju rumah salah
satu guru di sekolah ku . Saat berada di depan rumahnya terlihat agak sepi itu
ku coba mengucapkan salam.
Assalamualaikum... (tak ada jawaban)
Assalamualaikum (tak ada jawaban) sempatku berjalan
mundur mencari pak guru di belakang rumahnya tapi ibu guru membuka pintu.
Ibu guru: waalaikumussalam.. ehhh hasan masuk san,,,,
Hasan ; yak bu, bapak kemana?
Ibu guru: bapak lagi manjat pohon cengkih di
belakang rumah, ada apa?
Hasan : gak ada bu, cuman minta nasihat dari bapak
tentang kelanjutan sekolah toni.
Ibu guru: ya
udah ibu paggilkan bapak dulu ya.
Hasan : ya bu maksih.
Dalam
gubuk kecil sederhana itu tampak poster yang agak lama dan sudah lusuh sebuah
kumpulan poto-poto seseorang yamg menggunakan imamah tampak mereka begitu suci
dan alim dengan berpakaian putih yang berderet rapi terbaground masjid dan di
atas nya tertulis “MA`HAD DARUQUR`AN WALHADITS AL MAJIDIYAH AS`SYAFI`IYAH NW “
lama ku memandangi wajah satu persatu yang ada di poster itu yang ku kenali
hanya satu foto yang berada di atas kepala mereka yaitu foto bapak maulana
syaikh,
“itu para guru di sekolah tinggi dengan pelajaran
agama saja” suara pak guru yang yang melihatku memandangi poster itu dan
membuatku agak kaget dengannya.
Bapak: ada apa nak pagi gini udah datang ke sini
tumbennya?
Hasan : ya pak, saya kesini minta pendapat bapak ,saya
melanjutkan kemana karna yang paling tahu masalah pendidikan murid-muridnya itukan
hanya bapak guru.
Bapak guru: ya nak tapi semua terserah nak saja,
yang sekolah kan nak hasan sendiri. Bapak kasih pandangan saja nak
Hasan : ya pak, di mana sekolah ini pak? Sambil
menujuk poster tadi.
Pak guru: di lombok timur nak, pakaian serba putih
seperti orang solat, pakai peci warna putih, baju koko putih, dan sarung warna putih
itu seragam yang di gunakan di sana nak. Bapak dulu sekolah di sana nak. Pada
masa ini kita butuh bekal agama yang kuat agar kita tidak salah jalan dalam
kehidupan ini,
Hasan : ada besiswa gak pak kalau sekolah di sana?
Bapak guru:
nak, kita tetap membutuhkan biaya di mana kita melanjukan sekolah, ingat kan
kata-kata pak guru kemarin di depan kelas setelah berdo`a, “ syarat menuntut
ilmu cerdas, tamak, sabar, biaya, adanya guru dan waktu yang lama”.
Hasan : ya pak.
Pak guru: menurut bapak kamu bisa melanjutkan di
sekolah ini demi nak hasan juga, memperkuat ilmu agama dan nanti bisa
memperbaiki masyarakat yang semakin jauh dari pandangan agama.
Hasan : ya pak, nanti saya kasih tau bapak dan ibu
yang ada di rumah. Trimaksih pak kalau begitu saya pamit dulu ada yang mau kami
rencanakan terkait perpisahan dengan teman-teman.
Pak guru: ya sudah hati-hati ya nak, sukses selalu
di manapun kamu melanjutkan sekolah, tetaplah semagat.
Hasan: ya pak maksih, assalamualaikum
Setelah
berlalu di gubuk sederhana itu, ku melanjutkan bertemu degan teman-teman untuk
merancang acara perpisahan tapi hatiku terus mengingat poster itu, sepertinya
ku sangat tertarik untuk bisa bersekolah di sana, seperti adanya magnet yang
selalu menarik hatiku untuk mengingatnya, ma`had, ma`had, ma`had, bagai desiran
tasbih yang ada di dalam hatiku yang makin lama bagai derasan aliran hujan yang
turun dari langit menerpa tandusnya bumi.
Setibanya
di rumah aku lansung menemui ibu dan ayah bermaksud mceritakan hajatku yang
ingin berlanjut sekolah di ma`had, “ ayah ibu aku ingin sekolah di peruruan
tinggi ma`had namanya” kataku kepada mereka.
ayah: ya nak di mana itu?
Hasan : di lombok timur yah.
Ibu: yakin mau ke sana melanjutkanya, kenapa ndak di
mataram aja tempat misan mu sekolah yang ada besiswanya, kalau di ma`had itu
ijazahnya seperti di sma yang tidak ada gunanya di mata pemerintah, tidk bisa
di gunakan mengajar di sekolah ataupun menjadi PNS.
Bapak: itu kata-kata orang nak tapi kalau bapak
terserah hasan aja.
Sempatku
memikirkan kata-kata ibu yang mengatakan hal itu kepadaku, tampaknya ibu tidak
setuju melihatku melanjutkan sekolah di sana, sedih bila ku mengingat kata-kata
ibuku dan kata-kata ibu terus mengiang di benak ku, membuatku gelisah. Ku
berpikir ibu bilang seperi itu karena takut akan biaya yang kurang bila ku
sekolah di sana. Perasaan ini ndak tenang akan kata-kata itu, sempat ku
mendengar kata-kata tetagga mengenai keputusanku dan tampak ibu bersama mereka
saat menceritakan tentang keputusanku karna anak-anak tetangga ku bersekolah di
bidang kedokteran, akademik, dan tempat kuliahnya di kampus-kampus ternama dan
bergengsi tapi aku hanya sekolah di ma`had. Setiap malam ku memikirkan
kata-kata ibu itu, dengan perasaan tdak tenang ku mengambil air wuduk dan
melaksanaka solat isya dan ku lanjutkan dengan solat hajat meminta petunjuk
kepada Allah akan masalah yang ku hadapi ini.
Ku
berjalan di tengah lapangan yang penuh rerumputan hijau, bersinar terang dan
menyilaukan setelah memperhatikan dengan seksama ku melihat jejak-jejak kaki
yangi tampak di tanah, perjalanan orang-orang yang banyak sekali menggunakan
pakaian serba putih dan mereka berkumpul membentuk saf-saf dalam solat, ku
mendekati mereka dengan hati takut dan penuh rasa penasaran, saat ku sudah
dekat dengan mereka ku bangun dari tidur ku dengan perasaan mantap bahwa ku
melanjutkan sekolah di ma`had, aku anggap mimpi itu sebagai petunjuk dari Allah
untukku.
Keesokan
harinya ku menceritakan semuanya kepada orang tuaku tentang mimpi itu kepada
ibu dan bapakku tapi masih saja wajah ibu seperti tidak mengizinkan aku untuk
melanjutkan ke ma`had yang membiatku semakin tertegun dan tidak berani
meninggung masalah sekolah di hadapan ibu. Perkataaan-perkataan para keluarga
dan tetangga mulai terdengar di telinga ku bagai cemoohan dan kadng-kadang
terdengar seperti cacian dan olokan,” bodohnya anak ini tidak mau mengambil
beasiswa yang sudah di tawarkan, bodoh sekali jauh-jauh pergi sekolah padahal
di dekatnya ada sekolah lebih terkenal” dan lain-lain kata-kata itu
bergelinciran dengan berlimpah di pikiran ku. Walaupun begitu, ku tetap kokohkan
kaki melangkah menjauhi mereka, ku fokuskan pandangan menghadap ke depan tanpa
memperdulikan kata-kata mereka, ku kukuhkan hatiku menyapu bayang-bayang
mereka.
Hari
demi hari berlalu begitu saja bagaikan hembusan angin, tekad yang sudah bulat
tak bisa di ganggu gugat biarkan ibu dan mereka yang tak suka akan keputusan ku
akan menyadari semuanya teriring dengan waktu. Tibalah hari di mana aku ke
anjani untuk pertama kalinya dengan niat berdaftar dan mencari pemondokan,aku
di bantu salah seorang teman lama yang sudah mondok dan belajar di ma`had dan
di samping pndoknya aku akan mondok.
Siang
itu, Jalan yang lurus sepi berubah menjadi jalan yang di banjiri santri dari ruas
jalan sebelah kanan dan ruas jalan sebelah kiri pemandangan yang membuatku
heran dan ta`jub, “anjani lautan satri” dengan pakaian serba putih beriringan begitu ramai dan lama,
sempat ku melihat kebanyakan di antara mereka memegang tasbih di tangan kanan
mereka dan beberapa kitab besar di tangan kirinya, langkah nya anggun tertunduk
dan cepat tanpa melirik maupun menoleh ke kanan kekiri, sungguh langkahnya
tetesan malu dan wajah polos mereka di hiasi gerakan kecil bibir bibir mereka
di sertai butiran tasbih yang bergelinciran terus tanpa henti di tangan mereka
entah apa yang mereka baca aku tak tahu. Dan sosok perempuan yang kulihat
berpakaian putih dengan batik halus yang terikat begitu kuat dan rapi
beriringan dengan jalan pelan danpa menengadahkan pandangannya, merek tertunduk
malu bila laki-laki hendak melewatinya dia berhenti sejenak di pinggiran jalan
hingga laki-laki yang melewatinya berlalu di hadapan mereka. Lama ku tertegun atas pemandangan pertama saat ku
menapaki langkah kecil di anjani terasa inilah kekaguman yang menggelegar di
hati, sesuatu yang tak terbayangkan baru saja baru saja menampar imajinasiku,
logikaku luluh, rasio ku melepuh, dan akal pikiranku kukuh “ini nyata dan ini nyata ”. tak ada sesal
hinggap di benakku yang ada hanya keinginan ingin segera bersama mereka di
tengah-tengah mereka menimba ilmu agama, hari aku daftar itu sudah mencapai
ribuan dan ku tullab ke dua ribu sekian yang mendaftar di ma`had.
Sampailah
hari di mana ku mempersiapkan semua barang-barang yang sudah ku siapkan di
rumah dan itu yang ku bawa mondok. Namun sebelum selesai mempersiapkan, aku di
suruh untuk bapak pergi berkeliling meminta do`a kepada semua guru dan
keluarga, lama ku berkeliling dari desa ke desa dari dusun ke dusun hingga
akhirnya ke rumah guruku, setelah ku bersalamn dengan bapak guru, ia tidak
melepaskan tangan ku kemudian ia memberikan bekal bagi mentalku ini dengan dia
berpesan kepadaku “nak! Bila kamu sudah
berusaha, jadikan dirimu bagaikan air yang mengalir di sungai takdirnya Allah.
Tetapkan hatimu, cobaan memang selalu menemani setiap insan yang hidup di dunia
ini” tanganku masih tertegun di tangannya, bersalaman dengan erat yang ku
rasakan bagai sebuah energi baru saja menyirami kepalaku ini, ku cium tangannya
dan ku ucapkan “ do`akanku pak guru”
pintaku, “ya nak” balasnya.
Dan
tibalah hijrah itu ku lakukan, teriring do`a yang di panjatkan untuk
keberhasilanku dan serpihan kutu-kutu cacian yang tak ku pedulikan. Ku coba
tegar menjalani semua ini tapi hati tak bisa ku bohongi tetesan-tetesan air
mata mulai megalir dari celah-celah mata ini, baru ku rasakan jauh dari orang
tua.
Di tanah anjani aku labuhkan hijrahku,
berharap ilmu yang ku dapatkan bisa bermamfaat bagi masyarakat tempat ku
berasal, mengais sedikit ilmu dan keberkahan dari para masyaikh, dari para
ustaz. Malam pertama ku sengaja mengurug diri dalam kamar di pondok sederhana
itu ku merenungkan semua yang ku lakukan ini, memikirkan apa yang akan aku
lakukan setelahnya.
Keesokan harinya, Aku awali hariku
menuntut ilmu dengan berbaju putih, bersarung putih, dan bertopi putih, bernuansa
jelas terasa, suasana seperti mengikuti solat idul fitri, nuansa begitu suci
dan begitu damai, ntah apa yang merasuki
hatiku hingga setenang ini. Pujian dan kesyukuran ku kepada Allah tak
henti-hentinya, berada di tengah-tengah ribuan tullab ma’had adalah sebuah
anugrah yang luar biasa , Hati ini semakin kokoh, tak ada perasaan menyesal
sedikitpun hinggap di kepala ku, tak ada sedikitpun tersisa kata-kata mereka
yang meremehkanku, mencemoohkaku, bahkan mencaci semua keputusan ku. ku
berharap akan ada terlintas keberkahan dalam hidupku yang akan membungkam
setiap cacian yang ia lontarkan kepadaku, kata-kata mereka tetap terngiang di kepalaku
mengingatkan aku akan kesungguhan dan mejawab semua kata-kata mereka.
Sekian tahun lamanya hasan mengais ilmu
dan keberkahan dalam hijrahnya, tanpa mengeluh ia tetap mengais ilmu dan
keberkahan itu pada semua gurunya. Setiap pagi ia terlihat duduk bersimpuh di
hadapan gurunya dan kadang-kadang ia menjadi khadam guru-gurunya dan tak asing
juga terlihat ia membersihkan toilet gurunya menimbakan gurur-gurunya air dan
lain sebagainya, semuanya dia lakukan.
Dia menjadi sosok yang bijaksana,
kata-katanya halus penuh hikmah, tampak kearifan budi pekertinya dalam
berkalam, ilmunya ia bagikan dalam kampungnya untuk masyarakatnya, dialah sosok
yang di rindukan masyarakat, semua permasalahan selalu di ambil dari
pendapatnya. Cacian yang dahulu berubah jadi pujian hingga mereka menyesal
telah menghina hasan.
Trimakasihh.....
0 komentar:
Posting Komentar